Dua tiang besi kembar berwarna kuning mirip bambu raksasa, berdiri tegak mengapit jembatan di seputaran Jalan Anoa 1. Kebedaraan tiang ini menjadi pembeda nyata dari jembatan lainnya di Kota Palu.
Jembatan yang menghubungkan Kelurahan Tatura Utara dan Kelurahan Nunu ini cukup mencuri perhatian bagi pengendara yang melewari Jembatan Palu V. Di masa pemerintahan Drs. Hidayat sebagai walikota Palu, jembatan ini dinamai dengan nama Jembatan Lalove.
Nah, nama lalove ini berkaitan erat dengan keberadaan dua tiang pengapit tadi. Dua tiang itu adalah replika raksasa dari alat musik tiup Suku Kaili yang bernama lalove. Sejak peresmian jembatan pada 26 Agustus 2020, lalove resmi menjadi salah satu landmark Kota Palu.
Ilyas Abdul Hamid, seniman peniup lalove, menyebut bahwa alat musik yang sepintas mirip seruling ini berasal dari kata laa sebagai penerang kata love yang berarti burung elang atau bisa juga disebut bunyi siulan. Dalam Bahasa Kaili, jika digabungkan lalove berarti siulan elang dari kejauhan.
Pria yang lebih akrab disapa dengan nama Smiet ini memang dikenal luas sebagai penggiat lalove. Bukan hanya memainkannya, namun juga melakukan upaya pengenalan dan pelestarian lalove. Dirinya secara konsisten melakukan promosi lalove di pelbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara.
Ditemui di Sekretariat Forum Masyarakat Di Kaili Saja (DKS), Jalan Karanja Lembah, Smiet mengungkapkan dengan terangkatnya nama lalove sebagai nama jembatan, maka diharapkan alat musik ini bisa tetap lestari hidup di tengah-tengah masyarakat.
"Lalove ini satu-satunya nama jembatan yang diambil dari nama alat musik tradisional," ungkap Smiet yang pernah memainkan dan memamerkan lalove di Kota Baku, Azerbaijan.
Peran yang sakral
Meski sepintas mirip seperti seruling yang terbuat dari batang bambu dan pengikat rotan, lalove dalam kehidupan masyarakat Kaili memiliki peran yang sakral. Alat musik ini digunakan dalam upacara adat Tanah Kaili, salah satunya adat Balia yang berkenaan dengan prosesi ritual untuk meminta penyembuhan orang sakit.
Hikayat tentang kesakralan lalove ini dimulai hingga sejak pembuatanya yang tidak sembarangan. Smiet menerangkan orang-orang masyarakat Kaili dahulu membuat lalove harus dengan tujuan maksud tertentu. Misalnya dengan tujuan menyembuhkan penyakit atau untuk kepentingan ritual adat.
Pengambilan bambu dari dalam hutan atau gunung harus melewati proses ritual tabe (permisi) untuk meminta izin kepada Sang Penguasa. Isyarat izin itu dapat dilihat dengan cara mengambil bambu untuk lalove.
Smiet menerangkan bila bambu sekali ditebas jatuh ke tanah dan berdiri tegak, maka artinya pertanda alam telah merelakan bambu tersebut untuk dibuatkan lalove. Setelah itu, tiap ruas bambu dipotong lalu dialirkan ke sungai. Seperti lomba berlayar, bambu utama yang berada di posisi pertama adalah sang pemenang dan pantas dibuat menjadi lalove.
“Sebenarnya itu cara orang dulu untuk memilih bambu mana yang paling ringan, berat, dan kelembapan bisa mempengaruhi suara keindahan yang dihasilkan,” ungkap Smiet.
Belum ada catatan sejarah yang jelas kapan kemunculan alat musik lalove ini bermula. Kebanyakan masyarakat mengaitkannya dengan legenda Sawerigading.
Smiet menceritakan Sawerigading berlayar bersama prajuritnya menuju Lembah Palu dengan maksud ingin meminang Ngilinayo, seorang putri raja wanita dari Kerajaan Sigi. Ngilinayo pun mengajukan satu syarat, yakni mengadakan adu antara kedua ayam milik mereka.
Untuk memeriahkan suasana, adu ayam tersebut diiringi alat-alat musik yang dibawa oleh Sawerigading di dalam kapalnya. Ia membawa seorang peniup seriung bernama Suligadi.
Konon, bunyi tiupan lalove oleh Suligadi dari jauh mampu membuat seluruh masyarakat berkumpul. Bahkan mereka yang tengah menderita sakit mampu berdiri menyaksikan pertunjukan.
Kesembuhan yang dirasakan setelah mendengar tiupan lalove itu boleh jadi bisa dihubungkan dengan hasil penelitian Budy Setiawan, seorang peneliti sekaligus dosen Elektro Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Budi menyebutkan fenomena suara dapat menyembuhkan ini telah ada sejak zaman dahulu dikenal dengan kekuatan “Prana”. Hal ini dapat diilmiahkan karena frekuensi suara dengan gelombang tertentu mampu melemahkan atau membunuh bakteri dalam tubuh, menaikkan imun tubuh, bahkan bisa mengurangi stress
"Jika seseorang sedang sakit, bisa dipastikan sistem frekuensi dalam molekul tubuhnya tidak sinkron. Untuk mendorong agar frekuensi ini bisa stabil kembali, kita menggunakan elektro therapy. Tidak memasukkan sesuatu secara fisik dalam tubuh, namun menggunakan resonansi frekuensi suara," kata Budi melansir dari laman resmi Unika.ac.id.
Tiupan Lalove dan penerus
Meski lalove modern telah mengalami sedikit perubahan, makna terkandung setiap bentuknya masih terlihat. Perbedaan ini lantaran kondisi geografis Lembah Palu yang terbagi atas gunung, lembah, dan pesisir.
Menurut Simet, setiap wilayah mempunyai tradisi berbeda yang dipengaruhi lingkungannya. Di samping itu, tidak ada aturan baku dalam memainkannya.
“Tidak ada yang baku dalam peniupan lalove. Melodi yang lahir di tiap wilayah mengikuti isi hati di dalam diri setiap peniupnya, ” ujar pria yang menyumbang instrumen musik lalove mewakili Sulteng dalam perayaan Indonesia Culture Festival (ICF) 2018 ini.
Secara anatomi, dalam situs resmi Kemendikbud Riset, diterangkan bahwa lalove dibuat enam lubang dengan masing-masing tiga lubang dalam satu kelompok. Ketiga lubang ini memiliki jarak sekitar dua sentimeter. Sementara jarak kelompok lubang lainya berjarak sekitar lima sentimeter. Ujung besar disebut Solonga. Solonga inilah yang membuat suara lalove terdengar lebih nyaring.
Karena lalove alat musik tiup dengan teknik pernafasan circular breathing. Panjang ukuran Lalove diukur sejajar setengah badan "Sang Bule" saat duduk bersila. Bule adalah sebutan orang khusus yang memainkan lalove.
Agar pas membentuk sudut dudukan sila peniup, dahulu lalove diukur sesuai setangah depa lengan harus tepat menyentuh payudara Sang Bule. Payudara sendiri bermakna sumber kehidupan manusia. Posisi ini juga membuat sang peniup secara tegak lurus dapat memainkan lalove dengan terknik pernafasan hingga berjam-jam.
Lalove telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2019 oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Riset) RI.
Nilai budaya yang dianggap sakral dalam lalove membuat seorang mahasiswa Universitas Tadulako , Moh. Rifaldi (24), tertarik meneruskan seni ini. Rifaldi ingin mengambil peran dalam upaya pelestarian.
Terisnpirasi dari lalove, Ia mendirikan UMKM bernama “Lalove Palu” yang menyediakan alat-alat musik tradisional Suku Kaili. Sumber pembuatannya berasal dari perajin yang kian sedikit.
“Awalnya saya kenal hanya untuk membantu perajin yang sudah tua di Dolo. Beliau menjual lalove untuk kebutuhan orang-orang di Sanggar Seni. Tapi, belakangan pemesanan mulai bertambah justru dari luar daerah,” ungkapnya
Kecintaanya pada alat musik ini tak hanya pada sisi nilai jualnya, tetapi pangalamannya dalam melihat lalove yang dapat membuat orang kerasukan. Ia bercerita lalove yang dimainkan dapat membuat orang menari dengan sendirinya. Hal ini bisa diselaraskan dalam prosesi ritual balia yang kerap membuat penonton kerasukan.
“Jika di daerah lain, orang bisa membius orang dengan tarian, maka Palu punya laLove yang siulannya bisa bikin orang kerasukan," katanya.
Lalove Jembatan Lalove Jembatan Palu V alat musik tradisonal Suku Kaili Kaili Kota Palu Palu bambu