Predikat sebagai Kota Film, Animasi, dan Video yang direkatkan Kemenparekraf untuk Palu terang membanggakan.
Terlebih melihat geliat sineas kita beberapa tahun belakangan, subsektor ini memiliki prospek yang meyakinkan untuk terus dikembangkan lantaran potensinya sangat besar. Pun demikian, ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Salah satunya ketiadaan daftar, mulai dari komunitas hingga rumah produksi, baik yang sudah punya legalitas sebagai perusahaan besar maupun atau skala independen, dengan status aktif merilis film.
Menyorot nihilnya kelengkapan data pembuat film, animasi, dan video, Farid R. Yotolembah selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palu mengaku akan memulai ikhtiar tersebut.
“Kalau komunitas film banyak, sih, tapi belum tercatat. Makanya dengan festival ini kita coba himpun datanya,” ujar Farid saat ditemui Tutura.Id di ruangannya, Rabu (14/12/2022).
Festival yang dimaksudkan Farid adalah Festival Film Palu yang menjadi salah satu janjinya ketika Palu ditetapkan sebagai Kota Film, Animasi, dan Video. Rencananya akan diselenggarakan tahun depan.
Hal serupa diakui Mohammad Ifdhal. Sineas berumur 25 tahun yang turut membidani Sinekoci, film lab yang berfokus pada pelatihan, pengembangan cerita dan pendanaan produksi film, mengakui bahwa kebanyakan insan perfilman di Palu tersita waktunya untuk berproduksi.
“Kita belum ada yang fokus ke manajemen komunitas film di Palu. Yang betul-betul fokus ke event filmnya. Di Palu sebagian besar jadi pembuat film dan kru,” tambahnya.
Padahal dari kacamata Ifdhal keberadaan data para insan perfilman, termasuk jumlah produksi karya, merupakan hal krusial. Terlebih jika ingin mendorong pengembangan kualitas dan kuantitas baik film, animasi, atau video.
“Karena database komunitas film belum lengkap jadinya susah memantau apakah (sineas) di Kota Palu sudah cukup produktif atau belum,” lanjut sutradara film “Kabar dari Amal” itu.
Menyelenggarakan festival film seperti dituturkan Farid R. Yotolembah akan jadi pintu untuk mengupayakan terbitnya basis data yang sangat dibutuhkan tadi.
Tujuan menggelar festival film bukan mau selebrasi sambil gaya-gayaan, melainkan jadi salah satu etalase distribusi. Manfaat penting lainnya untuk menumbuhkan literasi dan apresiasi terhadap sinema.
Perihal alokasi dana untuk menyelenggarakan Festival Film Palu nanti Farid belum membeberkan jumlahnya. “Anggaran tahun 2023, kan, belum ketuk palu. Kalau saya sebut, nanti tidak betul bagaimana? Yang penting kita (sudah) usul,” sambungnya.
Intinya pihak Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palu telah melakukan beberapa langkah awal, contohnya melakukan koordinasi dengan komunitas perfilman yang terlacak.
“Saya sudah dua kali ikut. Informasi yang saya terima, mereka yang punya anggaran, tapi akan melibatkan komunitas film di Palu untuk mengorganisirnya,” ungkap Ifdhal.
Perihal konsep, Ifdhal juga belum bisa menjabarkan karena masih harus melakukan sejumlah pembicaraan terlebih dahulu.
Hanya saja laiknya penyelenggaraan di daerah lain, Ifdhal mengharapkan festival tersebut nantinya berisi program kompetisi, ekshibisi, serta menghadirkan film-film dari luar Palu sebagai referensi.
Terpenting menurut hemat Ifdhal penyelenggaraan festival film di Palu harus disertai adanya program pembinaan. Pun membuka peluang pendanaan terhadap proposal film terpilih.
Muara dari program tersebut nantinya diharapkan bisa membuat napas festival jadi lebih panjang alias rutin terselenggara.
Mata rantai yang belum utuh
Penetapan Palu sebagai Kota Film, Animasi, dan Video diberikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak Juni 2022.
Alasannya karena tim Uji Petik Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I) melihat kondisi dan potensi subsektor ini mengungguli empat bidang lainnya yang turut diusulkan Pemerintah Daerah Kota Palu.
Film, animasi, dan video dibandingkan subsektor lainnya dianggap memiliki rantai nilai ekosistem ekraf paling lengkap.
Kelebihan lainnya karena bisa menciptakan kolaborasi dan mendorong antarsubsektor ekraf yang ada di Kota Palu. Dapat pula menciptakan multiplier effect alias efek ganda.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 142 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional tahun 2018-2025, bahwasanya Film, Animasi, dan Video masuk daftar usaha ekonomi kreatif bersama 15 subsektor lainnya..
Termaktub dalam Statistik Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2020, hingga 2019 tercatat sebanyak 42.062 orang pekerja dalam bidang film, animasi, dan video di Indonesia. Sementara melongok tren sepanjang 2014-2019, jumlah yang berkecimpung dalam subsektor ini rerata bertambah seribu orang setiap tahun.
Sayangnya di Sulteng belum ada satu pun pekerja subsektor film, animasi, dan video yang masuk dalam daftar penerima sertifikasi.
Beda halnya dengan Sulawesi Selatan, meski bukan kota film, animasi, dan video, di provinsi itu tercatat ada 100 orang berprofesi di bidang perfilman dan 45 orang yang menggeluti sektor animasi multimedia.
Kendati demikian, geliat produksi film di Palu nyata adanya. Beberapa film karya sineas lokal telah beberapa kali terseleksi mengikuti berbagai penyelenggaraan festival film dalam dan luar negeri. Bahkan tak jarang berhasil membawa pulang trofi kemenangan.
Ambil contoh film “Home Sweet Home” karya Ifdhal yang dinobatkan sebagai film terbaik dalam Festival Film Antikorupsi 2019. Setahun sebelumnya, karya Sarah Adilah yang bertajuk “Neraka di Telapak Kaki” jadi nomine film dokumenter pendek terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2018.
Terbaru berasal dari kiprah Vania Qanita Damayanti yang menembus 17th Jogja-NETPAC Asian Film Festival lewat film pendeknya berjudul “Telur (How to be an Egg)”. Sebelumnya film berdurasi sekitar lima menit itu meraih gelar "Film Fiksi Pendek Terbaik" dalam penyelenggaraan Festival Film Malang 2022.
Kabar baik juga datang dari Taufiqurrahman alias Kifu. Film pendek “Saya di Sini, Kau di Sana” arahannya lolos masuk ke Kompetisi Internasional di ajang International Short Film Festival Oberhausen 2023.
Para sineas muda usia tadi mengikuti jejak yang telah ditorehkan Yusuf Radjamuda. Suka atau tidak, eksistensi mereka telah pula menabalkan nama Sulteng dalam sirkuit perfilman nasional bahkan mancanegara.
Fakta-fakta tadi bagi Ifdhal tidak lantas membuat bidang perfilman di Kota Palu sudah tepat sasaran disebut sebagai industri yang mapan. Namun, kurang pas juga jika menyebutnya sekadar hobi.
Pasalnya kru film di Palu belum secara merata dapat menggantungkan mata pencahariannya dari film. Alhasil mau tidak mau pekerjanya berat jika hanya fokus menanti datangnya panggilan menggarap proyek film. Pun demikian, dengan sumber daya masih terbatas, Ifdhal mengaku kualitas kru film di Palu sudah cukup mumpuni.
Jika Ifdhal menyoroti industri perfilman di Palu yang belum mapan, Yusuf Radjamuda fokus melihat belum terbentuknya ekosistem. Mata rantainya belum utuh.
Ucup, demikian sapaan akrabnya, melihat kota ini harus memiliki pembuat film, penonton, infrastruktur, kritikus film, dan kepedulian pemerintah daerah (pemda) untuk bisa dikatakan sudah memiliki ekosistem.
“Selama ini kami yang produksi film, kami juga yang memasarkan. Contoh lain seperti kemarin waktu mau luncurkan film ‘Hidup dengan Bencana’, tidak lama lagi deadline baru ketemu gedung untuk pemutaran,” singkap Ucup.
Penerima gelar Best Scriptwriter Asian New Talent Award dari ajang Shanghai International Film Festival 2019 itu mahfum jika membentuk ekosistem tidak semudah membalik telapak tangan.
Kesadaran itu pula yang membuatnya kurang sepakat jika tugas membentuk ekosistem perfilman di kota ini semata hanya jadi tanggung jawab pemda.
Sebab terkadang pegawai atau pejabat yang diberikan amanat mengurusi tidak terikat waktu yang jelas. Sebagai contoh, tiba-tiba dipindahkan ke dinas lain. Lalu seringnya ketika terjadi pergantian pejabat dibarengi pula dengan mengerjakan hal yang sama dari fase awal.
film palu ekosistem film industri film palu kota film dinas pariwisata dan ekonomi kreatif Kemenparekraf ekraf festival film