Indonesia gagal tampil di cabang olahraga sepak bola Olimpiade 2024 di Paris setelah kalah 0-1 dari Guinea dalam gim playoff. Pertandingan berlangsung di Stadion Pierre Pibarot, Clairefontaine, Paris, Kamis (9/5/2024) malam waktu Tanah Air.
Gol semata wayang Guinea lahir dari titik penalti setelah Witan melanggar Algassime Bah pada menit ke-28. Sebuah keputusan yang cukup memancing perdebatan.
Ilaix Moriba, pemain jebolan tim muda Barcelona, yang maju sebagai eksekutor berhasil menjebol gawang kawalan Ernando Ari.
Laga yang berlangsung alot ini bahkan membuat Witan Sulaeman mendapatkan perawatan dari tim medis karena insiden berbenturan kepala dengan pemain Guinea, Issiaga Camara.
Kendati gagal, ini sejarah besar bagi sepak bola Indonesia. Pasalnya sudah 48 tahun Indonesia tak berada di posisi seperti ini. Terakhir kali Indonesia nyaris ke Olimpiade pada 1976.
Dalam video yang diunggah Ketua Umum PSSI Erick Thohir melalui akun Instagram pribadinya, Jumat (10/5) pagi, terlihat para pemain Timnas U-23 tertunduk lesu di ruang ganti tim. Bahkan sebagian pemain menangis usai gagal membawa Indonesia lolos ke Olimpiade 2024.
Erick menghampiri satu-satu pemain Timnas U-23. Dirinya juga memberi semangat kepada seluruh pemain Indonesia.
"Kalian sudah kasih yang terbaik, jadi jangan menangis! Tegakin kepala kalian! Pelajaran yang kalian lakukan selama AFC ini, kalian bawa ke Kualifikasi Piala Dunia. Kita patriot, kita fight lagi, dan saya apresiasi. Saya tunduk kepala, terima kasih,” kata Erick dalam unggahan tersebut.
View this post on Instagram
Perjalanan Garuda Muda sebelum mencapai babak playoff Olimpiade 2024 sungguh tak mudah. Pertama, Indonesia lolos ke Piala Asia U-23 untuk pertama kalinya pada edisi 2024.
Kedua, Indonesia sebagai pendatang baru di Piala Asia U-23 berhasil tampil mengejutkan dengan menembus babak delapan besar. Bahkan, tim asuhan Shin Tae Yong itu melaju hingga babak semifinal.
Pun lawan yang ditumbangkan punya nama mentereng. Setelah kalah dari Qatar, Indonesia menumpas Australia dan Yordania pada laga lanjutan fase grup A. Pada babak 16 besar Korea Selatan berhasil dikalahkan lewat drama adu titik putih.
Setelahnya anak asuh Shin Tae-yong ini gagal menang atas Uzbekistan di babak semifinal dan kalah dari Irak dalam perebutan tempat ketiga, yang membuat Indonesia wajib tampil di playoff Olimpiade melawan Guinea–peringkat empat Piala Afrika U-23 2024.
Sebelumnya, tak ada yang menyangka Indonesia bisa sampai pada titik ini. Bahkan target resmi PSSI di Piala Asia U-23 2024 hanya lolos babak grup, bukan meraih tiket Olimpiade.
Pencapaian Indonesia U-23 ini sejalan dengan torehan timnas senior Indonesia di Piala Asia 2023. Pada Januari lalu Indonesia menembus babak 16 besar untuk pertama kalinya.
Bisa dibilang, selama 2024 ini wajah buram timnas selama dua dekade terakhir perlahan memudar. Kini aura positif yang terpancar.
Asa regenerasi yang terjaga
Regenerasi menjadi perhatian Shin Tae-yong dalam membangun timnas Indonesia untuk masa depan. Bersama timnas, STY meraih gelar runner-up Piala AFF 2020, medali perunggu SEA Games 2021 di Hanoi, Vietnam, ikut punya andil menghantar anak asuh pelatih Indra Sjafri merebut medali emas SEA Games 2023 di Phnom Penh, Kamboja, runner-up Piala AFF U-23 2023, serta mengukir sejarah baru dengan meloloskan Indonesia untuk pertama kalinya ke babak 16 besar Piala Asia Qatar 2023 dan meloloskan timnas U-23 hingga babak semifinal Piala Asia U-23 2024.
Pola pembinaan PSSI di bawah racikan Shin Tae-yong banyak memberikan kesempatan pemain muda untuk tampil bersama timnas senior. Di timnas U-23, ada 10 pemain U-23 yang pernah membela timnas senior. Mereka adalah Pratama Arhan, Witan Sulaeman, Rizki Ridho, Marselino Ferdinan, Ramadhan Sananta, Ernando Ari, Hokky Caraka, Arkhan Fikri, Nathan Tjoe-A-On, dan Muhammad Ferarri.
Dengan usia para pemain yang masih di bawah 23 tahun, sepak bola Indonesia menatap masa depan berbekal generasi emas para pemainnya. Usia muda dengan pengalaman bertanding melimpah jadi bekal sangat berharga untuk menorehkan prestasi masa depan.
Kombinasi pemain senior dan pemain muda sering diterapkan pelatih-pelatih dunia. Tujuannya tak lain untuk menjaga regenerasi pemain tim. Pada Piala Dunia 2014, misalnya, pelatih timnas Jerman Joachim Loew membawa sembilan pemain muda yang berusia 20-24 tahun. Sebut saja nama-nama seperti Thomas Muller, Julian Draxler, Toni Kroos, atau Mario Gotze.
Pada level Asia Tenggara, Vietnam sebagai perbandingan, pernah berada di fase yang hampir sama dengan timnas. Tim Naga Emas menjadi runner-up Piala Asia U-23 2018 dan tim seniornya melaju ke fase ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2022.
Syamsuddin Umar, mantan asisten pelatih timnas Indonesia di Piala Asia 2007 yang pernah menukangi PSM Makassar, menyanjung performa para pemain muda timnas.
"Saya melihat tim Indonesia saat ini menyajikan penampilan terbaik yang pernah saya saksikan. Mental mereka sudah bagus karena tidak gentar menghadapi siapa pun. Secara permainan, mereka tampil menyerang dan serupa tim-tim modern saat ini," tutur Syamsuddin dilansir Kompas.Id (10/5).
Kompetisi berjenjang
Tentu saja fondasi itu bernama kompetisi. Tanpa ada kompetisi dari level bawah yang baik dan terukur, asa menjadi jawara Asia dan tampil di Olimpiade berikutnya hanya halusinasi.
Timnas U-23 telah menunjukkan potensi yang menjanjikan sejak berlaga di Piala Asia U-23 hingga playoff Olimpiade 2024. Modal tersebut dijadikan sebagai pondasi membangun target berikutnya tampil di Olimpiade 2028.
"Kita memang belum berhasil menginjak Olimpiade kali ini. Namun, perjalanan panjang dan pencapaian yang ditorehkan para pemain, pelatih, dan ofisial timnas sejak Piala Asia hingga playoff menunjukkan sepakbola kita punya kualitas untuk tampil di Olimpiade. Saya salut dan kita targetkan Olimpiade berikutnya. Terima kasih untuk perjuangan kalian," kata Ketua PSSI Erick Thohir dilansir dari laman PSSI.
Jangan sampai nasib timnas bakal sama seperti saat Park Hang Seo (pelatih Veitnam) pergi pada 2022, performa mereka ikut rontok. Tim senior mereka mulai masuk angin dan generasi penerusnya belum bisa berada di level yang sama.
Apabila timnas Indonesia tak ingin senasib dengan Vietnam, jawabannya hanya satu; benahi kompetisi.
Saat ini, regulasi yang mewajibkan klub-klub di Liga Indonesia untuk memainkan pemain dengan usia dibawah 23 tahun minimal 45 menit. Bila pemain klub tersebut dipanggil timnas, maka klub dapat menarik pemain dari level usia 16 tahun, 18 tahun, atau 20 tahun.
Namun, kompetisi usia muda juga harus menjadi pondasi. Elite Pro Academy, yang menyasar tiga kelompok umur yakni U-16, U-18, dan U-20; juga program akselerasi seperti Garuda Select, sepantasnya digencarkan.
Pada saat yang sama, kompetisi kasta tertinggi juga harus jadi tulang punggung. Sudah saatnya PSSI menetapkan target, klub-klub Liga 1 minimal dapat berbicara banyak pada level Asia.
Itu akan terwujud bila gerak cepat pembenahan juga dilakukan untuk kompetisi. Pasalnya jika hanya sibuk merias timnas tanpa serius memperbaiki jalannya liga hanya akan percuma saja.
Oleh karena itu, tak perlu lama meratapi kekalahan dari Guinea dan gagal tampil di Olimpiade 2024. Langkah Garuda Muda untuk mengukir berbagai pencapaian dengan tinta emas masih terbuka lebar.
sepak bola tim nasional Indonesia timnas Indonesia U-23 Piala Asia Olimpiade Paris kualifikasi Piala Dunia PSSI Liga 1 Indonesia