Kemasan plastik banyak digunakan karena ringan, tahan lama, dan murah. Plastik juga tahan terhadap air dan kelembapan, yang menjadikannya efektif untuk melindungi produk--terutama makanan dan minuman.
Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), pada 2019, konsumsi plastik di Indonesia mencapai 5,76 juta ton per tahun. Bila diambil rerata, konsumsi plastik itu menjadi 19,8 kilogram per kapita dalam setahun.
Masalahnya, plastik bak pisau bermata dua. Di satu sisi, ia murah dan efektif, tetapi juga menyisakan problem bagi lingkungan. Bila tak dikelola dengan benar, plastik bisa jadi polusi serius.
Pembakaran plastik menghasilkan emisi gas beracun seperti CO2, HCl, HF, SO2 dan dioxin yang bisa membahayakan kesehatan. Program daur ulang (recycling) juga masih kurang efektif, karena pada banyak kasus ada kesulitan dalam pengumpulan, sortasi, dan purifikasinya.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEP) menyebut bahwa polusi plastik bisa mengubah habitat dan proses alami, serta mengurangi kemampuan ekosistem untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Pasalnya, plastik berbahan dasar polipropilena atau polipropena (PP), yang dihasilkan lewat proses kimia buatan manusia. Sebagai hasil kimia buatan manusia, plastik sulit dimengerti oleh alam. Ringkasnya, alam kesulitan mengurai plastik.
Sebagai gambaran, berikut ini taksiran durasi penguraian dari beberapa benda berbahan dasar plastik: kantong plastik (20 tahun), botol plastik (450 tahun), gelas kopi (30 tahun), dan sedotan (200 tahun).
Alhasil, saat ini, banyak negara berupaya mengurangi ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai. Banyak ilmuwan berusaha mencari bahan yang lebih alami untuk membuat plastik yang mudah diurai oleh alam dan ramah lingkungan.
Potensi bioplastik di Sulteng
Beberapa penelitian telah menemukan teknologi pembuatan plastik dari bahan alami yang dapat terdegradasi alias diurai dalam waktu singkat. Jenis ini kerap disebut sebagai plastik biodegradable atau bioplastik.
Bioplastik terbuat dari bahan yang dapat terurai secara hayati, seperti pati tumbuhan, selulosa, dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).
Pati tumbuhan relatif mudah ditemukan di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati di antaranya jagung, sagu, ubi kayu, beras, ubi jalar, sorgum, talas, dan garut.
Beberapa dari komoditas tersebut merupakan hasil bumi unggulan di Sulawesi Tengah. Hal itu terlihat dalam dukumen "Statistik Tanaman Pangan Sulteng 2015/2016" dari Badan Pusat Statistik Sulteng. Pada 2015 saja, merujuk dokumen tersebut, produksi ubi jalar mencapai 16.650 ton, ubi kayu 47.295 ton, jagung 131.123 ton, dan beras 544.357 ton.
Pati memiliki karakterisik fungsional yang unik dan memungkinkannya digunakan untuk berbagai keperluan, baik sebagai bahan pangan maupun nonpagan. Oleh karena itu, dengan tersedianya bahan baku yang melimpah, muncul peluang bagi pelaku usaha di Sulteng untuk mengembangkan industri kemasan biodegradable ini.
Teknologi pembuatan plastik biodegradable berbahan dasar pati sudah mulai dikembangkan di Indonesia sejak beberapa waktu yang lalu. Bahkan sudah ada yang melakukan penelitian bioplastik dengan bahan baku pati aren termodifikasi yang berasal dari Sulteng.
Hasil riset itu sudah dalam artikel “Karakteristik Fisikimia dan Sensoris Bioplastik Pati Aren Hasil Modifikasi Ganda,” di jurnal Agrotekbis (Desember 2021) yang ditulis oleh Darwis dan kawan-kawan, serta diterbitkan Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Tadulako.
Meski begitu, secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan yang rendah. Di Indonesia, plastik biodegradable sebagai bahan pengemas mulai digunakan oleh beberapa industri waralaba jasa boga, tetapi belum terjadi di industri makanan skala kecil.
Menurut laporan BPS Sulteng, pada 2020, industri makanan dengan jumlah usaha sebanyak 63.345 unit menjadi usaha mikro dan kecil terbanyak di Sulteng.
Dengan dukungan pemerintah setempat, bisa saja dilakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha makanan tentang manfaat penggunaan plastik biodegradable. Dengan demikian, industri kemasan biodegradable nantinya dapat memenuhi kebutuhan kemasan pangan di Sulteng.
*) Penulis: Esti Tantosi, mahasiswa program Magister Ilmu Pangan, IPB Univesity.
Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sepanjang 500-800 kata. Tulisan pada rubrik "Opini" merupakan pandangan pribadi dari penulis.
plastik lingkungan alam bumi sampah plastik plastik ramah lingkungan bioplastik biodegradable