Sese taripa jangki
(Mangga jangki yang berbunga sebelum berbuah)
Oo ho, no se’semo, barano sese
(Oo ho, sudah berbunga, pasti bakal berbuah)
Mo eva mo vunja samaya
(Ayo kita buat vunja dan makan bersama)
Ya nasesenta haaaa mbu eeeee
(Ya, berbunga eeeee)
OOOHHHUUUU!
Demikian sepenggal lirik kayori dari Suku Tajio yang dipersembahkan untuk para penghuni yang mendiami gunung, langit, dan berbagai tempat yang dikeramatkan.
Pasalnya jauh sebelum agama masuk ke seluruh penjuru Sulawesi Tengah, orang-orang Tajio menganut kepercayaan animisme. Mereka percaya dengan keberadaan roh atau jin yang bersemayam di berbagai tempat di sekitar mereka.
Setelah penyebaran agama samawi tumbuh berkembang dan punya banyak penganut di Sulteng, kayori tetap diadakan sebagai acara tradisi yang sifatnya bukan lagi ritual.
Kayori alias syair merupakan bentuk sastra lisan yang berkembang di Sulawesi Tengah. Ada yang bentuknya berisi pantun, nasihat, pengingat (bencana), dan aneka ekspresi lisan lainnya. Beberapa daerah kerap mengawinkan kayori dengan penggunaan alat musik tradisional pula.
Lirik kayori yang dilantunkan Suku Tajio kebanyakan berisi pujian sebagai ungkapan rasa syukur atas panen hasil bumi.
Suku ini mendiami pegunungan di antara Kecamatan Sindue Tobata, Kabupaten Donggala, dan Kecamatan Toribulu, Kabupaten Parigi Moutong.
Daerah ini dahulu lebih terkenal dengan sebutan Kayuou Tobata. Mulanya suku ini bersifat nomaden alias hidup berpindah-pindah.
Kebiasaan tersebut masih diteruskan sebagian kecil orang Tajio. Sementara sebagian besar lainnya memutuskan untuk hidup menetap dalam satu wilayah.
Berdasarkan penuturan Masliana (60), kayori orang Tajio terdiri dari beberapa jenis dan dilantunkan dalam acara yang berbeda pula.
“Ada nokayori ada ntana, nokayori pariama, dan nokayori posiduta,” ujar Masliana saat Tutura.Id bertandang ke rumahnya di BTN Bumi Roviga, Palu Timur (9/5/2023).
Berdasarkan penuturannya pula, kayori ada ntana dilantunkan saat masa panen padi tiba. Dalam prosesnya melibatkan banyak orang dengan berbagai keperluan dalam pelaksanaannya.
Mirip seperti kayori ada ntana, kayori pariama dilaksanakan saat panen hasil kebun atau ladang.
Pelaksanaan kayori ada ntana dan kayori pariama harus melibatkan salah seorang turunan bangsawan Suku Tajio yang dikenal dengan sebutan olongian tajio atau to mo oge tajio.
Sosok ini duduk di tiang utama vunja (sebuah bangunan yang mirip lumbung) yang ditegakkan, lalu turun setelah vunja tersebut telah berdiri tegak.
Menurut kepercayaan mereka, bila orang yang duduk di tiang utama vunja bukan dari kalangan bangsawan, bisa mendatangkan bencana bagi masyarakat sekitar. Warga harus membawa semua hasil panen dari kebun atau sawah mereka untuk digantung di atas vunja.
Paling beda adalah kayori posiduta yang hadir saat proses lamaran. Bentuknya saling melempar pertanyaan antara pihak keluarga mempelai perempuan dan keluarga mempelai pria agar lebih saling mengenal. Jadinya seperti berbalas pantun.
Berdasarkan tutura para tetua yang diteruskan kepada Masliana, isi syair kayori di Kayuou Tobata tak hanya berisi pujian dan ungkapan rasa syukur masyarakat Tajio.
“Menceritakan juga kejadian di sawah, ladang, dan kebun yang sudah berhasil panen. Tidak ada musibah dalam panennya. Selain itu juga rasa terima kasih sama pue nu bulu (jin di gunung), pue pangalembongo (jin di hutan yang belum dijamah), pue nu salu (jin di sungai di antara dua bukit). Terima kasih sudah tidak mengganggu. Kan tidak ada tuhannya dorang itu,” jelas Masliana.
Dalam praktiknya, kayori melibatkan seorang pelantun alias to posura kayori dan penyampai pesan (jogugu). Tugas jogugu menyampaikan bait per bait kayori dari yang dilantunkan kepada orang-orang yang mengelilingi vunja agar melantunkannya bersama-sama.
kayori suku tajio tradisi ritual adat tradisional kearifan lokal Kayuou Tobata pesta panen vunja