Kurun 6 Agustus hingga 9 September 2023, dua peristiwa gempa bumi mengguncang dua daerah di Sulawesi Tengah.
Pada 6 Agustus 2023, gempa bumi berkekuatan 5,3 Magnitudo mengguncang Sigi. Sebulan berselang, tepatnya 9 September 2023, gempa bumi 6,3 Magnitudo kembali mengguncang Donggala.
Tempo yang tak lama lagi, warga Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong akan memperingati lima tahun bencana katastrofe, merujuk peristiwa lindu, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi pada 28 September 2018.
Bencana alam dahsyat yang dipicu pergerakan sesar Palu-Koro itu menghasilkan gempa bumi berkekuatan 7,7 Magnitudo.
Lazim kita temukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggunakan satuan Magnitudo (M) untuk mengukur kekuatan gempa bumi.
Pun demikian, tak jarang masih ada orang yang kukuh memakai istilah Skala Richter (SR) ketika menyebut ukuran kekuatan lindu.
Ingatan publik soal ukuran kekuatan gempa bumi tak sepenuhnya keliru, mengingat sebelum petaka 28 September 2018, istilah SR masih sering digunakan.
Sebut saja gempa bumi 6,2 SR yang pernah terjadi di Sigi pada 24 Januari 2005. Atau, Dataran Napu, Kabupaten Poso, yang pernah diguncang gempa bumi berkekuatan 6,6 SR pada 29 Mei 2017.
Selain Skala Richter dan Magnitudo, BMKG kerap menggunakan satu istilah lagi yang sebenarnya masih asing di telinga khalayak, yakni Modified Mercalli Intensity (MMI). Istilah MMI juga sering muncul dalam notifikasi gempa bumi yang dirilis BMKG.
Lantas, apakah ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan? Sejak kapan satuan kekuatan gempa bumi beralih dari SR ke M? Dan bagaimana pemakaian istilah lain seperti MMI?
Tutura.Id coba mendeskripsikan secara sederhana bagaimana memahami satuan kekuatan gempa bumi tersebut.
Skala Richter (SR)
Melansir laman Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Skala Richter (SR) digunakan untuk memperlihatkan besarnya kekuatan gempa bumi.
Sementara Kartono Tjandra dalam bukunya yang berjudul 4 Bencana Geologi Yang Paling Mematikan (2017) menyebut, SR merupakan satuan untuk mengukur kekuatan gempa berdasarkan energi yang dilepaskan.
Dasar perhitungan SR menggunakan amplitudo alias simpangan yang paling jauh dari titik keseimbangan pada getaran.
SR pertama kali diperkenalkan oleh Charles Francis Richter, seorang seismolog dan fisikawan berkebangsaan Amerika Serikat pada tahun 1934.
Seiring waktu berjalan, muncul tipe-tipe gempa baru, seperti Magnitudo Body (MB), Magnitudo Surface (Ms), dan Magnitudo Momen (Mw), yang tak bisa lagi diukur menggunakan SR.
Alhasil BMKG sejak 2008 mengganti SR yang tak lagi relevan dengan M sebagai satuan ukur.
Melansir Kumparan.com (6/4/17), Dr. Daryono yang kala itu menjabat Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG menyebut, besaran SR hanya dapat mengukur gempa bumi jarak dekat atau kurang dari 100 kilometer.
Magnitudo (M)
Satuan kekuatan gempa bumi ini pertama kali dikembangkan oleh duo seismolog, Hiroo Kanamori (Jepang) dan Thomas C. Hanks (AS) pada tahun 1970-an.
Penggunaan Magnitudo (M) kini menggeser penggunaan Skala Richter secara global karena dianggap akurasinya lebih tinggi dalam menentukan kekuatan gempa yang luas.
Sementara untuk mengukur gempa bumi kecil yang tercatat secara lokal masih menggunakan SR. Tak mengherankan jika nama lainnya Magnitude Local.
Mengutip laman Michigan Technological University (MTU), skala Magnitudo menggambarkan besar kecilnya energi seismik yang dipancarkan oleh sumber gempa menurut pencatatan seismograf, alat pengukur gempa.
Makin besar kekuatan gempa maka kian besar pula angka Magnitudo-nya. Efek kerusakan yang ditimbulkannya juga bisa makin dahsyat. Pun sebaliknya.
Berdasarkan catatan Earth Observatory, lindu terbesar sepanjang sejarah terjadi di Valdivia, Cile, pada 22 Mei 1960. Guncangannya menembus 9,5 Magnitudo. Efek kerusakan yang ditimbulkannya sungguh mengerikan. Ribuan orang jadi korban.
Modified Mercalli Intensity (MMI)
Meski terbilang asing bagi publik, sejatinya satuan kekuatan gempa bumi Modified Mercalli Intensity (MMI) jauh lebih dahulu diperkenalkan dibanding SR dan M.
Giuseppe Mercalli, seorang vulkanolog dan seismolog berkebangsaan Italia, jadi orang yang pertama kali mencetuskannya pada tahun 1902.
Seismologi Harry Wood dan Frank Neumann lantas memodifikasi skala ini pada 1931.
Melansir situsweb Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, berbeda dengan SR dan M yang dipakai untuk mengetahui besar kekuatan gempa bumi, MMI digunakan untuk mengukur seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.
Skala MMI dalam peristiwa gempa bumi ditentukan berdasarkan hasil pengamatan dari orang yang mengalami atau melihat gempa secara langsung.
Karena dihitung berdasar pengamatan, skala MMI bisa tidak sama. Tergantung lokasi.
Lokasi yang dekat dengan episentrum (pusat gempa) harusnya memiliki skala MMI yang lebih besar musabab kerusakan struktural yang diamati lebih hebat.
Artinya, makin kecil gempa bumi yang dirasakan seseorang berarti kian rendah pula skala MMI-nya. Berlaku juga sebaliknya.
Contohnya ketika gempa berkekuatan 5,3 M terjadi pada 6 Agustus 2023. BMKG mengumumkan lokasinya 41 kilometer sebelah tenggara Palu.
Daerah Sigi dilaporkan merasakan intensitas MMI kategori ringan dan sedang (IV-V), lalu di Parigi terasa lemah dan ringan (III-IV), dan warga Palu juga hanya merasakan getaran ringan (III).
Total besaran skala MMI akibat gempa bumi terbagi menjadi XII kategori. Intensitas paling bontot ini alamat kerusakan yang ditumbulkannya sangat destruktif.
Tak ada bangunan yang tersisa. Benda-benda bahkan terlempar ke udara saking kerasnya guncangan.
gempa bumi gempa skala richter magnitudo modified mercalli intensity sr m mmi kekuatan mengguncang getaran