Menguak rahasia kebangkitan 'emas hijau' di Sigi
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 8 Juli 2023 - 23:47
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Menguak rahasia kebangkitan 'emas hijau' di Sigi
Theo (baju biru muda berkerah) bersama beberapa petani vanili sekaligus pengurus Koperasi Tani Pemasaran Vanili Simpotove di kebun percontohan budidaya vanili | Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.id

“Sekitar tahun 2000-an, harga vanili basah berkisar Rp900 ribuan hingga Rp1,2 juta per kilogram. Bisa mencapai harga Rp8 juta per kilogram kalau so kering. Karena nilai jualnya tinggi, makanya vanili dibilang emas berwarna hijau,” ungkap Ketua Koperasi Tani Pemasaran Vanili Simpotove, Theo kala membuka percakapan dengan Tutura.Id, Rabu (5/7/2023)

Pada siang hari nan mendung itu, Tutura.Id bercengkerama dengan sejumlah petani vanili di Desa Bobo, Kecamatan Palolo demi menguak rahasia kebangkitan bisnis vanili alias 'emas hijau' di Sigi.

Julukan 'emas hijau' ini tidak hanya terlontar dari pria berusia 65 tahun itu. Di kalangan pemerintah dan pebisnis komoditas dengan nama latin Vanilla planifolia ini, julukan itu bukanlah hal baru apalagi asing.

Menurut Theo, sebelum era sekarang ini, komoditas 'emas hijau' di Sulteng sempat merasakan kejayaan antara tahun 1970-2002. Setelah masa itu, komoditas vanili asal Sulteng ditolak oleh pasar.

“Masalahnya ada pada tengkulak. Karena harga lagi naik, sementara bobot vanili kurang, mereka akali dengan curang. Setelah diperiksa oleh laboratorium pabrik, ditemukan ada logam bendrat (semacam kawat ikat/beton), ada kandungan air raksa, dan banyak macam,” tutur pensiunan pegawai negeri ini.

Alhasil, ekosistem bisnis vanili di Sulteng perlahan hilang. Bahkan, harga jual vanili yang sebelumnya bernilai fantastis, merosot tajam hingga ke titik nadir.

“Pokoknya petani vanili, tengkulak, dan pembelinya hilang dari peredaran. Waktu itu seingat saya, vanili banting harga Rp6-10 ribu per kilogram,” imbuhnya.

Lantaran praktik culas para tengkulak itu, lanjut Theo, petani menjadi kecewa. Ada yang membiarkan tanaman vanili tumbuh sekadarnya, tak sedikit pula yang membabat habis tanaman vanilinya.  

Campur tangan perusahaan dan pemerintah

Selama 16 tahun sesudah penolakan produk vanili dari Sulteng, boleh dibilang tak ada budidaya vanili secara masif, termasuk di Sigi. Hingga tahun 2019, akhirnya pemerintah pusat turun tangan membangkitkan ulang budidaya vanili di Sulteng.

“Salah satu rekan saya di Kementerian PPN/Bappenas bilang kalau pihak kementerian akan menurunkan pilot project budidaya vanili di Sulteng. Ini setelah direkomendasikan oleh mitra, yakni PT Agri Spice Indonesia (PT ASI). PT ASI inilah yang pernah membeli vanili dari Sigi antara tahun 2000-2002 lalu,” ungkap Zaitun, salah seorang pengurus koperasi yang juga bekerja sebagai petugas penyuluh lapangan (PPL).

Zaitun menambahkan, tidak butuh lama untuk mendampingi para petani untuk kembali membudidayakan vanili, mengingat para petani merupakan 'pemain lama' vanili di era kejayaannya.

“Setelah budidaya dan pemeliharaan vanili, muncul pertanyaan petani; Bagaimana dengan pemasaran dan harganya nanti? Saya bilang, kali ini petani vanili tidak sendiri. Ada pemerintah siap dukung, offtaker/perusahaan ambil langsung. Tidak lagi melalui tengkulak seperti peristiwa belasan tahun lalu,” terangnya.

Di sinilah para pengurus dan anggota koperasi membahas pelbagai hal terkait vanili, berfungsi sebagai gudang penyimpanan vanili siap jual, dan juga lokasi kebun percontohan budidaya vanili | Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id

Hadirnya koperasi, adaptasi teknologi informasi

Demi menjaga kualitas vanili siap jual dan stabilitas harga di tingkat tapak, Kementerian PPN/Bappenas kemudian merekomedasikan agar mendirikan unit usaha keuangan yang dikelola langsung oleh para petani vanili.

“Makanya lahirlah Koperasi Tani Pemasaran Vanili Simpotove ini. Awalnya ada enam desa, kemudian tinggal lah satu kelompok tani di Desa Bobo ini. Beberapa tahun terakhir jumlah anggota koperasi mencapai 1000 orang, dari Desa Bakubakulu sampai Desa Ampera,” ujar Theo.

Menurut Theo, keberadaan koperasi ini sangat membantu para petani, bila berkaitan dengan pemasaran, dan pergerakan harga jual vanili di pasar global yang tidak menentu.

“Sebelumnya petani tidak punya suara, karena semuanya dimainkan tengkulak. Kalo sekarang kan ada koperasi yang bisa tahan untuk tidak dikirimkan kalo memang harganya tidak menentu,” jelas Theo.

Selain berfokus di sektor pemasaran vanili, para anggota koperasi yang telah mendapatkan peningkatan kapasitas dari perusahaan maupun pemerintah, sering kali turun memberi edukasi kepada masyarakat terkait kualitas vanili yang laik di pasaran.

“Kadang ada petani yang so petik buah muda, karena dengar harganya tinggi. Padahal bukan begitu. Koperasi akan melakukan screening dibantu petugas pabrik pengolahan vanili. Cukup kirimkan video komoditas vanili, nanti mereka yang akan putuskan, apakah sudah boleh dipetik atau masih harus menunda,” ujarnya.

Theo bilang, perkembangan zaman turut menyertai kebangkitan bisnis “emas hijau” di Sulteng, secara khusus di Sigi.

“Dulu itu kan, hanya tengkulak yang tahu harga, mekanisme dan distribusi vanili ke pasaran, termasuk kriteria buah vanili siap jual. Sekarang, hampir semua petani punya handphone, bisa tahu banyak hal. Para petani bisa langsung berkomunikasi dengan pembeli, termasuk mengirimkan langsung vanilinya ke mereka, tidak lagi melalui permainan tengkulak,” pungkasnya.  

Lima macam buah vanili basah yang beredar di pasaran | Foto: Robert Dwiantoro/Tutura.Id

Beraroma khas, punya habitat laik, mendapat pelanggan tetap

I Ketut Maliawan, pendiri sekaligus chief executive officer (CEO) Conservana Spices – salah satu korporasi asal Denpasar yang mengolah komoditas rempah-rempah -- menuturkan bahwa kualitas vanili asal Sigi, memiliki perbedaan aroma dengan vanili dari daerah lain.

“Conservana Spices sejak 2021 sudah membeli vanili dari Palu, Sigi, Donggala, Parigi Moutong, dan Poso. Setelah kami olah, ternyata banyak perusahaan kesengsem dengan aroma vanili dari Sigi. Potensi vanili dari Sigi juga sangat besar, vanili asal Sigi boleh dibilang sudah mendapat ruang yang tetap dan tepat,” kata Ketut ketika dihubungi Tutura.Id, Kamis (6/7/2023).

Ketut mengungkapkan, sebenarnya komoditas vanili dari Sulteng memiliki kualitas sama baiknya, dari sisi ukuran maupun aroma.

“Tak ada perbedaan bila dilihat kasat mata, bahkan ketika dicium aromanya. Tetapi, setelah beberapa kali kami ekstraksi, sejumlah perusahaan menemukan aroma spesifik dari vanili asal Sigi, yang berbeda dengan vanili dari daerah lainnya,” ungkapnya.

Kualitas aroma vanili asal Sigi itu, lanjut Ketut, sedikit dipengaruhi dengan lokasi pembudidayaan vanili yang berada di dataran tinggi, yaitu Taman Nasional Lore Lindu.

“Kalau di Desa Bobo itu ketinggiannya sekitar 700 mdpl, habitatnya sebenarnya sangat bagus untuk budidaya vanili. Di daerah yang lebih rendah dari itu, juga sebenarnya bisa budidaya, tetapi pembedanya tergantung bagaimana petaninya,” jelasnya.

Pernyataan Ketut selaras dengan kondisi agroklimat ideal bagi tanaman vanili seperti dilansir situs Vanili Indonesia.

Vanili sangat ideal ditanami dengan kategori sebagai berikut: Ketinggian 400-700 mdpl, suhu udara 20-25 derajat celcius, kelembaban 70-80%, intensitas cahaya berkisar 30-50%, curah hujan berkisar 1500-200 milimeter per tahun, tanah subur/gembur kaya humus, kemiringan tanah antara 3-7%, serta kadar asam basa tanah 5,5-7.

Merujuk data Kecamatan Palolo Dalam Angka Tahun 2021, tercatat ada tiga desa dari 22 desa di Kecamatan Palolo yang berada di ketinggian di atas 700, yakni Desa Lembantongoa, Desa Karunia, dan Desa Bobo. Kontur Desa Bobo didominasi dataran (60%), perbukitan (25%), dan pegunungan (15%).

Sementara berdasarkan data Kabupaten Sigi Dalam Angka Tahun 2023, melalui pengamatan unsur iklim di Stasiun Sigi sepanjang tahun 2022, suhu rata-rata di Sigi berkisar 26,8-28,2 derajat celcius, kelembaban rata-rata antara 71-82%, penyinaran matahari berkisar 47-76%, dan curah hujan 871 milimeter.

Sejumlah fakta di atas, sedikit menjawab bagaimana Sigi memiliki potensi yang besar berdasarkan habitat hidup vanili yang ideal, sehingga memiliki kualitas berbeda dibanding kualitas vanili dari daerah lain.

Karena hal itu, akhirnya Conservana Spices terus membeli dari Sigi selama tiga tahun terakhir, dan mengalami kenaikan permintaan.

“Kami beli vanili basah, karena punya SOP internal untuk pengeringan. Tahun 2021 itu kami beli 150 kilogram dengan harga Rp300ribu, tahun 2022 kami beli seharga Rp220ribu. Untuk tahun ini kami targetkan 5-8 ton vanili basah dikirimkan oleh Koperasi Tani Pemasaran Vanili Simpotove,” terangnya.

Ketut meyakini bahwa Koperasi Tani Pemasaran Vanili Simpotove, memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan mereka, bila dilihat dari potensi habitat tumbuh vanili maupun ketersediaan vanili siap panen. 

Itu karena di Kabupaten Sigi terdapat 131.642 batang pohon vanili yang ditanami di lahan seluas 376,6 hektare yang tersebar di Kecamatan Palolo, Nokilalaki, dan Pipikoro. Potensi ini bisa menghasilkan sekitar 39,4 ribu kilogram batang vanili basah.

Ragam produk turunan vanili

Vanili basah yang dibeli oleh Conservana Spices kemudian diolah menjadi tiga produk dari lima produk utama. Melansir situs Conservana Spices, vanili kering dijual antara Rp76ribu-3,8 juta.

Sedangkan produk turunan lainnya, dengan jenama beeswax candle dijual berkisar Rp88ribu-112ribu. Ada pula produk red diffuser yang dijual antara harga Rp127ribu-218ribu.

Sementara di salah satu situs jual beli online priceza, vanili kering dijual seharga berkisar Rp2,5-7 juta per kilogram, kemudian produk turunan vanili dijual antara Rp35ribu-750ribu.  

Menyitir United Nation (UN) Comtrade, pada tahun 2021, di antara 82 negara eksportir vanili, Indonesia berada di posisi keempat dengan nilai ekspor US$39,9 juta, berada di bawah Madagaskar (US$618,6 juta), Prancis (US$70,5 juta), dan Jerman (US$48 juta). 

Setiap tahun permintaan vanili berkisar 2500-3000 ton di pasar global, karena beberapa industri seperti kosmetik, makanan, dan farmasi membutuhkan vanili sebagai bahan pelengkap.

Pada makanan, vanili banyak ditemukan di biskuit, permen, susu, roti, dan es krim. Di industri kosmestik, ekstrak vanili memiliki manfaat bagi kecantikan kulit karena mengandung vitamin B6, antioksidan, dan antibakteri.

Ekstrak vanili juga digunakan oleh industri farmasi karena bisa menutup bau tidak sedap pada obat-obatan, hingga dijadikan bahan pengawet. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
6
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Diar Filateli: Revisi Taman Taiganja bukan terkait fasilitasnya
Diar Filateli: Revisi Taman Taiganja bukan terkait fasilitasnya
Taman Taiganja yang jadi salah satu ruang publik kebanggaan warga Sigi memasuki pembangunan tahap kedua.…
TUTURA.ID - Pemkab Sigi meneken kerja sama peningkatan infrastuktur jalan
Pemkab Sigi meneken kerja sama peningkatan infrastuktur jalan
Kerja sama ini selain untuk mendukung pengembangan ekonomi masyarakat, juga demi mempermudah jalur mitigasi bencana…
TUTURA.ID - Membaca gelagat politik di balik dukungan Iwan Lapatta untuk Samuel Yansen
Membaca gelagat politik di balik dukungan Iwan Lapatta untuk Samuel Yansen
Bupati dan wakil bupati Sigi selalu tampil kompak. Irwan bahkan mendukung Samuel untuk maju Pilkada…
TUTURA.ID - 104 kepala keluarga mengungsi akibat gempa bumi 5,3 magnitudo di Sigi
104 kepala keluarga mengungsi akibat gempa bumi 5,3 magnitudo di Sigi
104 KK di Sigi terpaksa mengungsi akibat gempa bumi berkekuatan 5,3 magnitudo. Pemkab Sigi telah…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng