Menguji efek dukungan banyak partai dalam pilkada
Penulis: Hermawan Akil | Publikasi: 23 Desember 2024 - 19:03
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Menguji efek dukungan banyak partai dalam pilkada
Kampanye Ridwan Kamil-Suswono yang berhias konser musik di Pilkada Jakarta | Sumber: instagram.com/pak_suswono

Partai umpama mesin politik dalam setiap pemilihan berlangsung. Sokongan dari partai politik memegang peranan kunci yang diharapkan para calon, mulai dari presiden, anggota legislatif, hingga kepala daerah, untuk mendulang banyak suara.

Maka tak heran jika penyatuan visi, negosiasi, dan lobi-lobi antarpartai dalam pembentukan koalisi saat pemilu berlangsung masih jadi instrumen utama.

Selain membutuhkan kekuatan kursi di parlemen yang sudah barang tentu diisi oleh keterwakilan kader partai, ini juga jadi penanda sokongan dukungan dari para elite partai dan tokoh berpengaruh kepada setiap pasangan calon.

Tontonan seperti ini sering kita saksikan saat awal-awal pemilhan berjalan. Oleh karena itu, kerap juga timbul drama tarik ulur dukungan partai mengiringi proses ini. Parpol tampak punya posisi tawar tinggi untuk diperebutkan para pasangan calon dalam meraih rekomendasi maupun dukungan.

Pembacaan nan sederhananya; barang siapa beroleh dukungan lebih banyak partai yang otomatis berlimpah logistik pula, maka kans memenangi kontestasi jadi makin besar pula.

Namun, apa yang terjadi jika hasil akhir di lapangan justru anomali? Mendapat sokongan banyak partai, tapi justru tidak meraup suara terbanyak dalam pemilihan? Fenomena ini terjadi di beberapa daerah. Pemilihan kepala daerah di Jakarta jadi salah satu yang paling mencolok.

Pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang mendapat sokongan dari Koalisi Indonesia Maju plus—total 14 parpol—tetap saja tak mampu melewati laju perolehan suara Pramono Anung-Rano Karno.

Kubu Pramono-Rano yang mendaftar peserta Pilgub Jakarta 2024 berbekal dukungan PDI-P dan Hanura mengumpulkan total 2.183.239 suara alias 50,07%. Sedangkan paslon Ridwan-Suswono dengan 1.718.160 suara atau 39,4%.

Sejumlah analisis mengapung di balik kekalahan tersebut. Ada yang menyebut figur RK dan Suswono kurang tokcer meraih simpati warga ibu kota, hingga mesin politik partai penyokong yang bekerja tidak optimal, bahkan setengah hati alias tidak solid.

Suasana kampanye Moh. Yasin dan Syafiah Basir  di Donggala | Sumber: instagram.com/kopyamerah_

Kekalahan koalisi besar di Sulawesi Tengah

Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sulawesi Tengah juga demikian. Tercatat ada empat kabupaten yang pasangan calonnya meraih dukungan banyak partai, tapi berakhir tanpa selebrasi.

Suryani Mile-Sudirman yang maju sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati di Banggai Kepulauan, misalnya.

Duo ini menempati urutan perolehan suara terakhir dari total empat pasangan calon meski telah mendapat dukungan dari lima partai, yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA).

Peraih suara terbanyak jatuh kepada paslon Rusli Moidady-Serfi Kambey yang mendapat dukungan Golkar, Perindo, dan PBB.

Sekadar catatan, parpol yang meraih kursi terbanyak saat pemilihan anggota legislatif di daerah berjuluk “Bermuda in Central Celebes” itu adalah NasDem dan PKB.

Beringsut ke Donggala yang diikuti lima kandidat. Moh. Yasin dan Syafiah Basir yang berbekal rekomendasi dari Gerindra, NasDem, PSI, dan PPP—paslon dengan sokongan parpol terbanyak—kalah dengan paslon Vera Elena Laruni-Taufiq M. Burhan sebagai peraih suara tertinggi yang dicalonkan oleh PDI-P dan Perindo.

Merujuk keputusan KPU Donggala, lima besar parpol yang mendulang suara terbanyak saat berlangsungnya Pileg 2024 adalah NasDem, Perindo, Gerindra, Golkar, dan PKS.

Nasib serupa dialami paslon Moh. Faizal Lahadja-Nurdin Nadjamudin di Kabupaten Tolitoli yang mendapat suport PDI-P, Golkar, Gerindra, PPP, dan sejumlah partai nonkursi.

Paslon dengan akronim FAZIN in ini harus terima kenyataan bahwa pasangan petahana Amran Yahya dan Muh. Besar Bantilan yang diusung oleh PBB, PAN, dan NasDem masih terlalu tangguh.

Ketangguhan incumbent juga tersaji dalam pemilihan bupati di Kabupaten Poso. Kehadiran Sony L. Kapito-Yusuf Al Kaffi yang dijagokan PKS, Perindo, PPP, dan Hanura menempati urutan terbontot dari total empat pasangan calon.

Verna Gladies Merry Inkiriwang yang kali ini maju bersama Soeharto Kandar dengan dukungan Demokrat dan Golkar—dua partai dengan kuota kursi terbanyak di legislatif Poso—jadi pengumpul suara sah terbanyak.

Fenomena paling anomali terjadi dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah. Paslon Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri dengan sokongan delapan partai tak bisa melampaui perolehan suara Anwar Hafid-Reny Lamadjido yang dicalonkan oleh Demokrat, PBB, dan PKS.

Pasangan BERANI (Bersama Anwar-Reny) ini juga mengungguli perolehan suara Rusdy Mastura, yang notabene calon petahana.

Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Untad Dr. M. Nur Alamsyah | Sumber: Istimewa

Tanggapan akademisi

Jumat (20/12/2024), Tutura.Id mewawancarai Dr. M. Nur Alamsyah selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Untad untuk menjelaskan anomali tersebut.

Sosok yang juga menjadi Ketua Umum Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia periode 2024—2027 itu mengatakan, politik elektoral sejatinya tidak terkait dengan jumlah parpol pengusung.

“Lebih terkait bagaimana seorang kandidat merepresentasikan dirinya terhadap masyarakat pemilih. Seberapa banyak pun partai yang mengusung, tapi chemistry masyarakat dengan calon yang akan diajukan sangat menentukan,” ujarnya.

Diakuinya bahwa dukungan parpol sebagai alat pengorientasi memang cukup penting. Namun, sambung Nur Alamsyah, dalam kontestasi pilkada kekuatan partai politik lebih tidak terkelola.

Apalagi melihat kontestasi di era digital yang penuh disrupsi ini menuntut calon untuk bisa memanipulasi pemilih dengan citra yang bersifat bayangan dan preferensinya dekat dengan masyarakat.

Ia juga memberi catatan terkait fenomena pilkada di Sulteng sebagai arena kontestasi politik dengan cara kampanye yang lebih metropolis dengan penggunaan artis dalam jumlah dan intensitas tinggi.

Akibatnya kampanye terlihat lebih mirip pesta ketimbang transformasi visi dan misi untuk politik kepemimpinan daerah. "Biasanya hiburan atau artis itu selingan. Namun, era ini nampaknya menjadi utama," pungkasnya.

Andi Baso Djaya turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Ridha Saleh: Dari gelanggang aktivis bersiasat menuju kursi wali kota Palu
Ridha Saleh: Dari gelanggang aktivis bersiasat menuju kursi wali kota Palu
Tiga dekade bergiat di dunia aktivisme, Ridha Saleh pernah jadi EN WALHI, dan bertugas sebagai…
TUTURA.ID - Pasang surut relasi Ahmad Ali dan Rusdy Mastura
Pasang surut relasi Ahmad Ali dan Rusdy Mastura
Ahmad Ali membantah isu ketegangan politik antara dirinya dengan Rusdy Mastura. Katanya, isu ini diembuskan…
TUTURA.ID - Ajakan Reny Lamadjido untuk melakukan kampanye sehat dan jujur
Ajakan Reny Lamadjido untuk melakukan kampanye sehat dan jujur
Setiap berkampanye, dr. Reny selalu menjunjung tinggi etika sebagai politisi santun. Ajakan untuk tidak mencederai…
TUTURA.ID - Harapan-harapan penyandang disabilitas Kota Palu untuk Pemilu 2024
Harapan-harapan penyandang disabilitas Kota Palu untuk Pemilu 2024
Sejumlah harapan  penyandang disabilitas di Kota Palu untuk pelaksanaan Pemilu 2024. Setali tiga uang dengan…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng