Selama ini sebagian besar kita mungkin hanya mengenal karapan sapi sebagai tradisi masyarakat Madura, Jawa Timur. Tradisi yang identik dengan mengadu sapi supaya berlari cepat hingga garis akhir untuk menjadi pemenang.
Di Kabupaten Sigi juga ada tradisi serupa. Dikenal dengan sebutan posilumba japi. Selain menjadi ajang hiburan untuk warga, juga sebagai ungkapan rasa syukur para petani setelah panen.
Kegiatan olahraga tradisional ini cukup rutin dilakukan oleh masyarakat Sigi. Salah satunya lomba yang berlangsung di Desa Baliase, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi (5-19/2/2023).
Arena pacuannya berlangsung di atas lapangan berlintasan lurus dan kering sepanjang 300 meter. Beda dengan pacu jawi alias balapan sapi di daerah Minangkabau yang arenanya berlangsung di lintasan sawah berlumpur.
Mengenai asal-usul budaya memacu sapi di Sigi tidak ada sumber yang bisa menjelaskan secara pasti dan jelas.
Namun, kegiatan ini berawal dari kebiasaan para petani memacu kecepatan sapi miliknya yang diikatkan pada sebuah gerobak.
Seiring waktu kegiatan tersebut menjadi semacam perlombaan yang diminati oleh masyarakat lokal. Hadiah untuk pemenang juga disediakan.
"Kegiatan masyarakat ini awalnya cuma hobi dan hiburan. Akhirnya diperlombakan. Sapi yang digunakan ini memang biasanya dipakai masyarakat untuk membajak sawah karena sebagian masyarakat Sigi, kan, juga petani," ungkap Syafrun Lagare yang menjabat ketua penyelenggara lomba saat ditemui Tutura.Id, Jumat (17/2/2023) sore.
Kabupaten Sigi merupakan daerah agraris. Tak heran bila hal itu berpengaruh pada kebiasaan masyakat sehari-hari, termasuk memanfaatkan sapi untuk membajak sawah dan keperluan lain.
Ajang posilumba japi kali ini diikuti oleh 50 pasang sapi. Para peserta tidak hanya berasal dari Kabupaten Sigi, tapi beberapa desa dan kelurahan dari Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Perlombaannya menggunakan sistem gugur.
Lomba pacuan ini menggunakan sepasang sapi untuk menarik gerobak dengan dua roda di sisi kiri dan kanannya. Joki yang terlibat juga dua orang. Masing-masing punya tugas berbeda. Satu orang menjadi pengendali arah dengan cara memegang ekor-ekor sapi. Sementara yang satunya lagi bertugas melecut sapi agar melesat kencang.
Tidak gampang bisa meraih titel juara dalam perlombaan ini. Diperlukan usaha maksimal dari pemilik sapi, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan. Untuk mendapatkan sapi yang tangguh dan siap tanding juga tidak murah. Biaya perawatannya cukup besar.
Setiap hari seekor sapi diberi pakan yang diracik khusus oleh pemiliknya. Bahkan seekor sapi dapat menghabiskan puluhan butir telur ayam untuk memperkuat tenaganya. Tak lupa diajak berjalan-jalan untuk melemaskan otot-otot sapi.
Pun sepasang joki harus menjaga fisik agar mampu mengontrol sepasang sapi yang akan berlaga.
Saat momen perlombaan tiba. Pasangan sapi-sapi melaju kencang di bawah terik matahari. Debu membumbung tinggi menghiasi udara. Tubuh kedua orang joki yang berusaha mengendalikan dan memacu sapi terlihat seolah melayang di udara.
Aplaus panjang dan sorak-sorai penonton untuk mendukung jagoannya bikin suasana bertambah meriah. “Posilumba japi sangat seru, menghibur, dan menyenangkan untuk ditonton. Kalau bisa jadi ikon daerah,” ucap Fahrul Islam, salah satu penonton.
Selain sebagai ajang hiburan yang berpotensi menarik kunjungan wisatawan, atraksi ini juga ikut mempererat silaturahmi antara sesama peserta maupun penonton. Pun termasuk khazanah budaya dan olahraga tradisional masyarakat Sigi yang perlu dilestarikan.
"Kami berharap pemerintah Kabupaten Sigi bisa mengakomodir ajang posilumba japi ini," pungkas Syafrun.
posilumba japi karapan sapi pacu jawi olahraga tradisional budaya tradisi sigi biromaru pariwisata