Selama tiga hari, suasana Desa Porame, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, terasa berbeda dari biasanya. Untuk kali kedua, hajatan Ramporame Festival berlangsung, Jumat-Minggu (21-23/7/2023).
Tujuan mengadakan festival ini bukan hanya untuk melestarikan kearifan lokal, pula ingin mendorong serta mengembangkan kreativitas masyarakat dengan pendekatan seni kreatif dan ekonomi pariwisata.
Dibandingkan penyelenggaraan serupa yang berlangsung Agustus tahun lalu, Ramporame Festival kali ini punya banyak perubahan, mulai dari bertambahnya durasi acara menjadi tiga hari, situasi jalannya acara, hingga ragam kegiatannya.
"Tahun ini juga terasa lebih respons dan dukungan dari masyarakat Porame. Begitu juga komunitas, media, dan beberapa individu," ujar Ketua Panitia Ramporame Festival Kukuh Ramadhan saat dihubungi Tutura.Id, Minggu (23/7) siang.
Gunung Gawalise yang berdiri gagah dijadikan latar, panggung yang terbuat dari bilah-bilah bambu dengan lantai kayu berdiri di tengah sawah kering. Tak ada atap. Hanya ada tambahan ornamen kain serupa tirai yang menjuntai. Bersahaja tapi juga terlihat artsy. Beragam penampil beraksi di atas panggung ini.
Melongok ke sisi berlawanan panggung, areal persawahan yang terhampar bersemuka dengan pemandangan Lembah Palu.
Stan-stan UMKM yang menyajikan kuliner tradisional dan kerajinan warga sekitar tertata di dalam lokasi hajatan. Menu uta dada yang terbuat dari olahan daging ayam yang dimasak dengan kuah santan jadi favorit di sini. Rasanya gurih dan pedas.
Tampak beberapa pengunjung asyik mengobrol dan bercengkrama saat menyinggahi stan-stan tersebut. Beberapa memilih duduk beralaskan tikar di atas tanah. Menikmati semilir angin dan asrinya pemandangan. Serasa piknik.
Menu yang tak kalah beragam juga mewarnai jalannya festival. Ada tari, musik tradisional, musikalisasi puisi, hingga penampilan band-band yang mengusung musik modern ditampilkan. Mengundang antusiasme para pengunjung datang beramai-ramai ke Porame.
Sementara untuk sesi panggung bertema “Ruang Tamu Desa”, sebuah konsep yang baru hadir tahun ini, diisi oleh penampilan Nova Ruth dan Grey Filastine. Duo ini membaurkan melodi tradisional Jawa dan musik elektronik kontemporer.
Program selain panggung musik juga tak kalah. Ada sesi “Merekam “dan “Bioskop Todea” yang memberikan pengunjung kesempatan menonton beberapa film dokumenter, film fiksi pendek, dan video dokumentasi. Selain itu, warga sekitar juga bisa mengikuti beragam diskusi bertajuk “Ruang Dialog Desa”.
Lantaran derasnya hujan yang mengguyur, beberapa agenda kegiatan hari pertama terpaksa bergeser keesokan harinya. Bahkan ada beberapa mobil terjebak lumpur sawah. Para warga kemudian bergotong royong mendorong mobil-mobil tersebut.
Kerumunan penonton yang memilih bertahan tampak guyub berteduh di bawah terpal. Sambil menikmati hidangan kopi panas.
Menurut Kukuh, hujan deras yang turun saat hari pertama sekali lagi memperlihatkan betapa pentingnya jika semangat gotong-royong sudah menjadi budaya.
"Bagaimana orang-orang tua yang memberi komando dan anak-anak muda yang mendorong (mobil). Itu semua anak-anak Desa Porame. Itulah yang membahagiakan saat hari pertama. Asyik. Walaupun kita tidak dapat menikmati penampilan," kata Kukuh.
Oleh karena realitas masyarakat Desa Porame pula, Ramporame Festival memancangkan nilai kearifan dan kebijaksanaan lokal.
Kukuh mengatakan, dengan segala hal yang apa adanya, ingin festival tahun ini bukan sekadar meriah dan sukses, akan tetapi menjadi catatan penting bagi perjalanan Desa Porame.
"Kita tidak terlalu hirau soal eksistensi. Kita melihat ada potensi yang lain dikembangkan yang bisa berdampak ke ekonomi warga," Pungkas Kukuh.