Muhammad Fakhri Fadlurrahman: Sang Pewaris Benteng Ahmad Ali
Penulis: Muammar Fikrie | Publikasi: 13 September 2023 - 09:00
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Muhammad Fakhri Fadlurrahman: Sang Pewaris Benteng Ahmad Ali
Muhammad Fakhri Fadlurrahman, Presiden Direktur Fortis Utama Group. | Foto: Istimewa

Seorang pria muda menghampiri kami pada satu sudut restoran di Plaza Senayan, Jakarta. Matanya menatap ke depan dari balik kacamata minus yang tampak pas pada wajah bulatnya. 

Sesaat sebelum tiba di meja kami, ia menggerakkan jari-jari tangannya guna merapikan poninya yang ikal. Siang itu, ia pakai setelan baju batik dan celana kain berwarna hitam. Gestur dan tampilannya memberi kesan formal sekaligus kasual pada saat bersamaan. 

Begitu tiba di hadapan kami, senyumnya mengembang, tangannya terjulur mengajak bersalaman. "Halo Kak. Sorry lambat, baru selesai ketemu dengan Mikail Baswedan," ujarnya. 

Nama yang disebut terakhir ialah anak Anies Baswedan, calon presiden yang diusung oleh Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Adapun pria muda di depan kami bernama lengkap Muhammad Fakhri Fadlurrahman, anak bungsu dari pasangan politisi Partai NasDem, Ahmad Ali dan Nilam Sari Lawira. Faiz, demikian nama kecil sekaligus sapaan karibnya.

Bapaknya punya pamor sebagai politisi nasional, wakil ketua umum Partai NasDem, dan sering disebut sebagai salah satu sosok kunci di balik pencapresan Anies. Sang Ibu merupakan orang nomor satu Partai Restorasi di Sulawesi Tengah, sekaligus ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulteng.

Beda dengan urusan para orang tua. Alih-alih soal politik, Faiz mengaku lebih banyak mengobrol ihwal bisnis dan investasi dengan Mikail. “Saya dan Mikail sepakat bahwa politik itu panggilan, dan kami belum terpanggil,” ujar pria berusia 23 tahun itu.

Faiz memang lebih fokus menata kerajaan bisnisnya. Saat ini, ia pegang posisi sebagai presiden direktur Fortis Utama Group, holding company (perusahaan induk) yang membawahi sejumlah unit bisnis pada berbagai sektor; mulai dari tambang pasir-batu, sportainment, pabrik dan distributor alat kesehatan, kuliner, serta galangan kapal.

Sarjana bidang computer science itu tampak antusias saat membicarakan bisnis yang sedang digelutinya. Anak-anak perusahaan Fortis, meminjam istilah Faiz, sebelumnya sekadar bisnis keluarga yang diurusi dengan “manajemen kios.” 

Kini, ia diminta menata dan pegang kendali pelbagai usaha tersebut. Sebagai orang muda, Faiz juga bikin inovasi dan terobosan antara lain dengan menjajal sektor bisnis baru.

Ia turun tangan langsung di Mega Karya Arena, anak usaha Fortis di bidang sportainment. Perusahaan itu membangun dan mengelola Bekasi International Soccer Field, sebuah lapangan sepak bola bersertifikat FIFA di Bekasi, Jawa Barat. 

Bisnis barunya yang lain ialah Rojo Sambel, usaha kuliner waralaba yang baru buka cabang di Palu. “Saya lagi belajar bisnis F&B (food and beverage). Rojo Sambel ini kami titip modal dan kerja sama dengan Raffi Ahmad sebagai pemegang lisensi waralaba. Tapi kami juga terlibat dalam urusan lain, mulai dari manajemen hingga distribusi,” ujarnya.

Itu juga bukan satu-satunya anak usaha Fortis yang berada di Palu. Faiz menyebut Bahtera Berkah Abadi Grup, pemegang izin usaha pertambangan (galian C) di wilayah Watusampu, Kecamatan Ulujadi, sebagai salah satu unit usaha dalam naungan Fortis.

Berkecimpung di dunia bisnis bikin Faiz tertarik bergabung dengan organisasi para pebisnis muda. Ia pun bergiat sebagai kader Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). “Di HIPMI, saya belajar berorganisasi dan mengembangkan jejaring,” ucapnya. 

Beberapa pekan terakhir, lebih-lebih usai Rapat Kerja Nasional HIPMI di Tangerang, nama Faiz mulai disebut sebagai salah satu kandidat potensial untuk memimpin HIPMI Sulteng–yang akan menggelar suksesi pada medio 2024.

“Niatku belajar berorganisasi. Kalau dengan memimpin organisasi, saya bisa lebih banyak belajar, kenapa tidak?” ujar Faiz. “Yang jelas motoku: Kalau mau patah; patah. Jangan setengah-setengah. All in or nothing.”

Pria penggemar gim ini memang terdengar menggebu-gebu selama berbincang dengan Tutura.Id, pada Jumat siang, 4 September 2023, di De Luca, Plaza Senayan, Jakarta.

Di restoran bergaya Italia itu, Faiz memesan iced americano. Italia memang kesohor dengan kultur kopinya. Namun bukan Italia yang bikin Faiz kepincut dengan sajian es kopi. “Orang Korea suka sekali 'aa' (merujuk pelafalan 'ais amerikano'). Empat tahun di sana, saya jadi terbiasa. Padahal punya mag,” ujarnya.

Sembari menikmati iced americano, selama hampir dua jam, Faiz berbagi kisah tentang hidupnya, plus dunia bisnis yang kini tengah digelutinya.

***

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Ayo Indonesia (@ayo.indonesia)

Lelaki muda berbintang Aries ini lahir, tumbuh, dan menjadi remaja di Palu. Ia merupakan alumnus SDN 3 Palu, dan SMP Al-Azhar Palu.

Faiz melukiskan dirinya sebagai seorang nerd pada masa-masa itu. Remaja bertubuh gempal, berkacamata, gemar main gim, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk sekolah plus les tambahan.

“Saya tidak terlalu suka aktivitas fisik. Olahraga cuman basket,” katanya. “Tapi bukan anak yang pintar sekali kalau di kelas. Prestasiku waktu SMP, cuman dapat medali perunggu Bahasa Inggris dalam science camp di Makassar.”

Sampai dengan masa remaja, Faiz bilang bahwa keluarganya belum mapan betul secara ekonomi. Keluarga Faiz sekadar menumpang di rumah neneknya, sebuah bangunan nan lapang di bilangan Chairil Anwar–kini jadi kantor DPW Partai NasDem Sulteng. Ketika dirinya duduk di bangku SMP, barulah keluarganya punya rumah di Jalan Swadaya.

Sosok Sang Ayah juga hanya samar-samar dikenalnya. Semasa Faiz bocah, Ahmad Ali lebih banyak di Poso (Morowali masih jadi bagian dari Poso), menekuni karier sebagai kontraktor. Adapun Nilam Sari Lawira tengah mengabdi sebagai pengajar di Universitas Tadulako. 

“Lebih-lebih pas TK, saya jarang ketemu pace. Mungkin cuma dua atau tiga kali, karena saya ikut mace yang pergi lanjut S-2 di Yogya,” kenang pria kelahiran 19 April 2000 ini.

Barulah ketika Faiz duduk di bangku sekolah menengah pertama, bisnis ayahnya semakin moncer. Ahmad Ali mulai dikenal sebagai pebisnis pertambangan, dan tokoh potensial di Sulteng. Ekonomi keluarga yang membaik, membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi Faiz.

Memasuki masa sekolah menengah atas, Faiz merantau ke Australia. Di Negeri Kanguru itu, ia terdaftar sebagai murid di Forest Hill College, satu sekolah negeri di tepian Melbourne. 

Drama besar dalam kehidupannya mulai muncul jelang kelulusan di Australia. Orang tuanya berharap Faiz bisa melanjutkan studi sarjana pada kampus negeri di Australia. Namun takdir berkata beda. Ia hanya lulus pada satu program diploma.

Tak mau mengecewakan orang tuanya, ia menutup rapat kenyataan itu dan diam-diam cari peluang studi di negara lain. Korea Selatan, Jepang, dan Hongkong jadi opsi. Dua yang terakhir menjanjikan, tetapi tak banyak informasi yang bisa didapatnya dari internet. Ia pun melirik Korea Selatan. 

Faiz memang tertarik dengan dunia komputer. Dari hobinya bermain gim, ia tahu bahwa banyak pengembang aplikasi permainan yang berasal dari Negeri Ginseng. Itu yang bikin dirinya kepincut untuk belajar computer science di Korea Selatan.

“Saya diam-diam mendaftar di Korea (lewat internet). Tiap ditanya pace-mace soal kuliah, saya cuman bilang gampang.” ujarnya bersusul tawa. “Jelang pengumuman, saya salat malam, berdoa supaya diterima.”

Doa dan usaha Faiz berbuah hasil. Ia diterima pada jurusan computer science di Korea University. KU, demikian sebutan universitas itu, tercatat dalam tiga besar kampus paling prestisius di Korea Selatan. 

Faiz bersama rekan-rekannya di Forest Hill College. | Foto: Istimewa

Empat tahun dihabiskannya di Korea Selatan. Sebelumnya, 3,5 tahun telah dilewati di Australia. Di negeri orang, kata Faiz, tiada yang tahu tentang latar belakang keluarganya. 

Kedua orang tuanya, terutama Sang Ayah, juga bukan tipe yang suka memanjakan anak. Pada satu fase, selama beberapa bulan, ayahnya bahkan sengaja membatasi uang bulanan. Alhasil Faiz hidup pas-pasan; bergantung pada kerja sampingan di laboratorium kampus.

“Kalau ada yang bilang enak jadi anaknya Ahmad Ali. Boleh dicoba. Silakan, saya kasih satu minggu saja. Pace itu keras. Karena dia mau anaknya matang,” katanya dalam nada satire.

Lantaran sering berpindah-pindah tempat tinggal, Faiz juga merasa dirinya sebagai seorang nomaden. “Saya orang Bungku-Kaili atau Morowali-Palu yang nomaden. Warga dunia,” katanya.

Di negeri orang, Faiz mengaku terbiasa hidup sebagai minoritas. “Australia itu western country, hidup sebagai orang dengan kulit berwarna tidak mudah. Di Korea, saya juga minoritas. Jarang ada orang dengan kulit cokelat gelap,” katanya.

Posisi itu membuat Faiz punya mental underdog. Kerap dipandang sebelah mata justru jadi kekuatan baginya. “Saya suka dalam posisi di-underestimate orang. Makin kau pandang enteng, tambah gampang saya ‘lipat’ kau,” katanya.

***

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Nilam Sari Lawira (@nilamsarilawira)

Faiz menghadapi satu titik balik dalam hidup jelang akhir studi di Korea Selatan. Semula, Faiz tak banyak ambil pusing soal masa depannya. Namun, beberapa hari jelang satu ujian mata kuliah terakhir, percakapan nan intens bersama Sang Ayah jadi titik balik. 

Pace telepon saya tiga hari berturut-turut. Bicara kurang lebih satu jam tiap telepon di tengah malam. Itu jadi titik balikku,” kenangnya. Pada momen itu, menurut Faiz, Ahmad Ali mendorongnya untuk melakukan reality check. Ajakan balik ke Tanah Air pun tersampaikan. 

“Papa tidak selamanya di dunia. Kau punya tanggung jawab besar. Kau punya keluarga besar,” ujar Faiz menirukan ucapan Ahmad Ali. Hal paling berat, ujar Faiz, Sang Ayah menitip harap, “Kau harus bisa melebihi Papa.” 

Sebagai orang muda berusia awal 20-an, Faiz sempat kebingungan. Pasalnya, karier Sang Ayah sedang moncer sebagai politisi papan atas di level nasional; orang nomor dua di Partai NasDem; dan pernah jadi ketua Fraksi NasDem di DPR-RI.

“Kalau diminta melebihi dia, saya harus jadi apa. Menteri, ketua partai, ketua DPR, atau presiden?” ujarnya. “Padahal saya tidak mau berpolitik. Tidak dalam near future.

Faiz banyak mencurahkan kegundahannya itu kepada Maulidya Yukarian, salah seorang tenaga ahli Ahmad Ali. “Saya tidak punya kakak perempuan. Kak Lidya (sapaan karib Maulidya) itulah yang posisinya seperti kakak,” ucapnya.

Dalam obrolan-obrolan bersama Maulidya, Faiz menjadi lebih tercerahkan. Pesan Sang Ayah tak bisa dilihat hitam putih. Tak melulu soal politik. Mimpi Sang Ayah terhadap Faiz boleh jadi lebih dekat dengan perkara bisnis. Demikian pandangan Maulidya.

Benar saja, selepas lulus dan balik ke Indonesia, Faiz diminta menakhodai holding company yang jadi sentral bagi berbagai unit bisnis di sekitar keluarga besarnya.

Terlahirlah Fortis Utama Group pada Februari 2023. Faiz sendiri yang menentukan nama itu. Fortis dipinjamnya dari bahasa latin yang menurutnya terdengar indah dan unik. Ia memang karib dengan istilah latin sejak remaja terutama saat bergaul di komunitas gim.

“Fortis berarti benteng. Saya mau buat kerajaan. Untuk bikin kerajaan, butuh benteng yang kokoh,” kata pria yang menguasasi tiga bahasa ini (Indonesia, Inggris, dan Korea).

Kini, sehari-hari Faiz memimpin Fortis dari satu lantai perkantoran di Sequis Center, bilangan SCBD, sebuah distrik bisnis nan bonafide di Jakarta.

Saat ini, Fortis fokus untuk merapikan pelbagai unit usaha di bawahnya. “Selama ini banyak yang kurang teratur. Maklum manajemen kios. Pokoknya timku jadi OB (office boy). Urusan bersih-bersih,” ujarnya. 

Ia optimistis merampungkan penataan pelbagai unit bisnis ini pada 2024. Setelahnya, ujar Faiz, Fortis bakal lebih agresif menanam investasi di pelbagai bisnis lain. Ia bahkan punya mimpi membawa Fortis menjadi perusahaan publik. Melantai di bursa saham.

Faiz juga sadar, latar belakang keilmuannya perlu dilengkapi dengan pengetahuan bisnis secara akademik. Ia pun berambisi untuk ambil studi magister bisnis di Inggris Raya dalam beberapa tahun ke depan.

“Saya ini anaknya mace juga. Memang tidak akademik sekali, tapi semangat belajarnya turunlah sedikit,” ujarnya beriring tawa.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
25
Jatuh cinta
3
Lucu
0
Sedih
2
Kaget
1
Marah
2
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Pasang surut relasi Ahmad Ali dan Rusdy Mastura
Pasang surut relasi Ahmad Ali dan Rusdy Mastura
Ahmad Ali membantah isu ketegangan politik antara dirinya dengan Rusdy Mastura. Katanya, isu ini diembuskan…
TUTURA.ID - Memanfaatkan pemasukan dari hasil penjualan merchandise band
Memanfaatkan pemasukan dari hasil penjualan merchandise band
Pemasukan band-band di Palu saat ini tak lagi semata dari hasil manggung. Ada pos lain…
TUTURA.ID - Budi Hi. Lolo: Ingin mendatangkan artis luar negeri konser di Palu
Budi Hi. Lolo: Ingin mendatangkan artis luar negeri konser di Palu
Ketua Backstagers Indonesia Sulteng membagikan pandangannya terkait iklim bisnis pertunjukan di Bumi Tadulako.
TUTURA.ID - Palu Plaza nasibmu kini
Palu Plaza nasibmu kini
Palu Plaza jadi satu pusat pebelanjaan andalan pada medio 1990-an. Fotografer Tutura.Id, Moh. Rifky merekam…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng