Langkah berliku Mutmainah Korona memperjuangkan hak perempuan dan anak
Penulis: Grefi Marchella | Publikasi: 24 November 2022 - 21:38
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Langkah berliku Mutmainah Korona memperjuangkan hak perempuan dan anak
Mutmainah Korona teguh memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak dalam berbagai platform (Sumber: instagram.com/mutmainahkorona)

Perempuan satu ini dikenal cergas, perhatian, pula blak-blakan menyuarakan tentang ketimpangan, terutama menyangkut perempuan dan anak.

Namun, ia bisa juga menjadi sosok murah senyum dan kawan mengobrol atau diskusi yang menyenangkan.

Mutmainah Korona adalah sosok yang dimaksudkan. Kini menjabat Ketua Komisi A DPRD Kota Palu dari fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Posisi atau amanah yang diembannya sejak 2019 itu tidak semudah menjentikkan jari. Penuh riwayat berliku.

Saat menceritakan kisah masa kecilnya kepada Tutura.Id, Neng—demikian sapaan akrabnya—mengaku terlahir sebagai anak sulung dari enam bersaudara.

Ekonomi keluarga hanya bertumpu pada gaji sang ayah yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) golongan dua di Dinas Transmigrasi. Sangat sederhana, kalau tidak mau disebut pas-pasan.

Untuk membantu perekonomian keluarga, saban sore Neng kecil mondar-mandir berjualan kue dari rumah ke rumah di Kelurahan Nunu, sebuah mintakat di Kecamatan Tatanga yang jadi tempat tinggalnya kala itu hingga kelas tiga SD.

“Sejak kecil orang tua saya mengajarkan untuk hidup mandiri. Kalau sore-sore ibu saya bikin kue, terus saya dan adik-adik saya keliling jualan di daerah Nunu. Tumbuh bergeraknya saya dari keluarga yang sederhana sekali,” ungkap perempuan kelahiran 3 Juli 1979 ini.

Perihal nama belakang Korona yang disandangnya, Neng pernah menjelaskan dalam sebuah video bahwa nama tersebut berasal dari buyut alias kakek dari pihak ayah. Marga yang terus mereka gunakan hingga sekarang.

Meskipun berasal dari keluarga sederhana, orang tua Neng berserius mengupayakan pemenuhan pendidikan keenam anak. Termasuk ketika sang ibu harus lebih giat berjualan demi membiayai ongkos pendidikan Neng di Pondok Pesantren Puteri Ummul Mukminin, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, yang setaraf dengan SMA.

***

Mutmainah Korona (tengah) saat menghadiri Jambore Kepemimpinan Perempuan Sulteng di Museum Provinsi Sulawesi Tengah (Sumber: instagram.com/mutmainahkorona)

Masa kuliah

Lulus dari Ponpes Ummul Mukminin, Neng pulang ke Palu dan melanjutkan kuliah sebagai mahasiswi fakultas ekonomi di Universitas Alkhairaat. Harapan ayahnya, kelak Si Sulung bisa jadi ASN agar bisa bantu membiayai adik-adiknya.

Neng mafhum dengan keinginan tersebut. Walhasil selain berkuliah ia juga mengikuti berbagai tes seleksi ASN.

Suatu hari pada 2000, ada satu momen yang mengubah titik kehidupan Neng. Ia bertemu seorang teman yang mengajaknya bergabung dalam sebuah organisasi eksternal kampus bernama Forum Mahasiswa Sulawesi Tengah (FMST).

Ketika menjadi anggota organisasi tersebut, Neng terkagum-kagum melihat seorang sekretaris perempuan yang lantang mengemukakan pendapat di depan umum.

Neng terinspirasi. Ia makin sadar bahwa perempuan tak perlu segan berpendapat. Kesempatan mereka untuk menduduki posisi strategis juga setara dengan kaum Adam.

Hari-hari bersama FMST membuat Neng jarang pulang. Waktunya banyak tersita untuk mengorganisir aksi-aksi demonstrasi dan turun ke jalan melakukan unjuk rasa. Tak jarang, ia ikut mengamen untuk menghidupi organisasi. Semua dilakukan dengan senang hati.

Periode sebagai anggota FMST juga membuat Neng banyak berkontemplasi mencari tahu posisinya di tengah masyarakat. Kesimpulan dari perenungan tadi membuatnya bulat tak bisa mewujudkan mimpi ayahnya menjadi ASN.

“Di dalam Al-Quran maupun kitab suci agama lain tidak ada ditulis carilah rezeki sebagai ASN. Yang ada hanya carilah rezeki halal di muka bumi ini,” ujarnya sambil mengepalkan kedua tangan. Meski sempat kecewa, sang ayah menghargai kebulatan tekad putri sulungnya.

***

Neng, berdiri di tengah, saat mengisi masa reses (Sumber: instagram.com/mutmainahkorona)

Aktivisme bersama organisasi nonpemerintah

Pada awal 2001, Neng bergabung dengan Yayasan Pendidikan Rakyat, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus mendukung gerakan hak-hak asasi petani. Neng ditugaskan melakukan asesmen di Desa Salena, Kecamatan Ulujadi.

Melihat masih banyak masyarakat adat di daerah tersebut yang belum tersentuh akses pendidikan, Neng memutuskan menetap selama tiga bulan menjadi tenaga pengajar.

“Di sana saya banyak belajar, berinteraksi dengan masyarakat adat, melihat bagian-bagian yang belum tersentuh oleh pemerintah. Pengalaman tersebut banyak membentuk saya,” kenang Direktur Yayasan Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Sulawesi Tengah, periode 2001–2015.

Bersama KPPA yang ia dirikan bersama kawan-kawannya, Neng bergerilya membuat regulasi tentang partisipasi perempuan pada sembilan desa di Kabupaten Donggala.

Ikhtiar dimulaikan dengan mendatangi dan mengorganisir lewat kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD).

Perjuangan tersebut akhirnya mewujud dalam sembilan Peraturan Desa (Perdes) tentang partisipasi keterwakilan perempuan di desa yang tersusun berdasarkan pengalaman, masalah, fakta lapangan, dan harapan perempuan desa.

“Selama proses pendampingan itu saya menemui orang-orang di pemerintahan, seperti kepala desa, yang punya visi sama. Bahwa penting menggelorakan isu partisipasi dan kepemimpinan perempuan di desa,” tutur Neng yang selama kurun 2003–2017 menjadi anggota Solidaritas Perempuan (Women of Solidarity for Human Rights).

Walaupun turut membidani lahirnya sembilan Perdes tadi, belum ada cantolan peraturan di tingkat daerah (Perda) sebagai penguat kala itu.

Neng dan kawan-kawan akhirnya kembali merapatkan barisan dan memperjuangkan hak perempuan desa.

Kali ini dengan menggunakan Metode Roccipi. Sebuah metode yang dikembangkan oleh Ann Seidman, Robert Siedman, dan Nalin Abeysekere untuk mencari solusi permasalahan dalam masyarakat.

Caranya dengan menjelaskan permasalahan yang berulang untuk memahami permasalahan tersebut.

Usaha tersebut berbuah manis seturut diterbitkannya Perda Kabupaten Donggala Nomor 12 Tahun 2006 tentang Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan dalam Pemerintahan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Proses Pembangunan Desa.

Para pemangku kepentingan di desa harus melibatkan minimal 30% perempuan untuk berpartisipasi. Misalnya pada saat pemilihan kepala desa terdapat tiga orang calon, maka salah satu dari ketiga calon harus seorang perempuan.

Terbitnya perda tersebut diakui Neng sebagai embrio berdirinya Sikola Mombine yang bergerak pada isu advokasi, perlindungan, dan pemberdayaan perempuan dan anak di Sulteng.

“Kami merasa harus melakukan sesuatu untuk mendukung implementasi perda tersebut. Maka kami mendirikan sekolah politik untuk perempuan. Lantaran saya orangnya lebih suka kearifan lokal, makanya sekolah politik itu dinamakan Sikola Mombine,” tambah Neng.

***

Mutmainah Korona juga menjabat Wakil Ketua Bidang Perempuan Partai Nasdem Sulteng (Sumber: instagram.com/mutmainahkorona)

Terjun ke politik praktis

Ihwal keputusannya terjun dalam dunia politik, Neng menyebut keterlibatannya mengurusi Sikola Mombine punya pengaruh besar.

Kerap membuat kelas politik khusus perempuan yang ingin mencalonkan diri sebagai calon legislatif di Kota Palu, Tawaeli, dan Kabupaten Poso membuatnya tertarik mengulik lebih dalam soal dunia politik.

Ia mulai belajar tentang filosofi anggaran, pemasukan, pengeluaran daerah, dan batang tubuh APBD. Padahal sebagai mantan aktivis, Neng mengaku kala itu masih alergi dengan partai politik.

Sempat gagal saat maju dalam pemilihan calon bupati Donggala 2008 melalui jalur independen bersama Aristan tidak membuatnya patah arang.

“Walaupun kami gagal, itu urusan lain. Bagi saya, bisa berinteraksi dengan rakyat tanpa beban dari partai politik dan melihat ormas-ormas bersatu untuk mewujudkan sesuatu lewat politik adalah hal yang sangat menarik,” katanya.

Anggota Lembaga Bantuan Hukum Sulteng periode 2009-2011 ini sempat menerima tawaran bergabung dalam Partai Golkar pada 2012.

Andi Mulhanan Tombolotutu yang kala itu menjadi Ketua DPD Partai Golkar Kota Palu berhasil meyakinkannya bahwa iklim politik telah banyak berubah. Tak melulu buruk seperti bayangannya selama ini.

Hanya dua tahun bersama partai berlambang pohon beringin, Neng ambil keputusan mundur. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ia pilih sebagai pelabuhan selanjutnya dalam mengarungi arena politik praktis.

Bersama Nasdem dan beriring banyak dukungan dari kaum perempuan, satu kursi di Gedung DPRD Kota Palu selama periode 2019-2024 menjadi jatahnya.

Pun demikian, tidak lantas membuat langkah perjuangannya membela hak perempuan menjadi lebih mudah. Dalam kenyataan tidak semua orang menaruh perhatian pada isu perempuan dan anak.

Sejauh ini Neng dan kawan-kawan telah berhasil melahirkan produk hukum berupa Peraturan Daerah Kota Palu No. 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak.

Hal lain yang menjadi fokus perhatiannya adalah mengawasi penganggaran pada tiap-tiap organisasi perangkat daerah demi memastikan jalannya program-program pemerintah yang pro dan berkeadilan terhadap perempuan.

“Harapan saya untuk Kota Palu sebenarnya sederhana. Misalnya ada toilet yang memadai bagi ibu hamil dan lansia di pasar. Karena lebih banyak kaum perempuan yang berdagang di pasar," ujar penerima anugerah Saparinah Sadli Award untuk perjuangannya dalam advokasi perda yang peka gender.

Neng bilang lapangan legislatif juga kadang terbatas, sebab perlu menyatukan persepsi seluruh forum untuk merealisasikan gagasan.

Untuk itu Neng tak ragu menyatakan kesiapannya berkontestasi di level eksekutif alias kepala daerah. Berbeda dengan anggota legislatif, menjadi kepala daerah bisa lebih leluasa mengeksekusi ide dan gagasan.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
11
Jatuh cinta
3
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Perppu pemilu beri keuntungan buat politisi di Sulteng
Perppu pemilu beri keuntungan buat politisi di Sulteng
Ada penambahan 10 kursi di DPRD Sulteng. Pemilu 2024 nanti akan memperebutkan 55 kursi. Penambahan…
TUTURA.ID - Empat kandidat cawapres terkuat berpotensi jadi penentu
Empat kandidat cawapres terkuat berpotensi jadi penentu
Selain Ganjar, Prabowo, dan Anies--yang juga menonjol dalam survei capres--ada empat nama yang paling dijagokan…
TUTURA.ID - Aroma dinasti politik jelang Pemilu 2024 di Sulteng
Aroma dinasti politik jelang Pemilu 2024 di Sulteng
Partai peserta pemilu telah mendaftarkan bacaleg ke KPU. Di Sulteng aroma dinasti politik pun menguat.…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng