Saidah (43) memilih melaporkan suaminya, AS, yang notabene anggota Polri di Sulteng karena mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perlakuan kekerasan itu dialaminya sejak 2012. Saat berbicara di depan wartawan, Saidah mengaku dirinya ditinggalkan sejak Mei 2022.
KDRT yang dialami NV, perempuan asal Marawola, Sigi, akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan meski yang bersangkutan sempat melaporkan suaminya, US, ke aparat polisi.
Adapula FS (23), perempuan di Banggai yang melaporkan suaminya, MF (29), kepada polisi usai mengalami pemukulan. Ujung kasusnya berakhir damai. FS mencabut laporannya setelah dimediasi polisi.
Berpindah ke Tolitoli, seorang perempuan inisial MI menjadi korban kekerasan dari suaminya, AP (42), lantaran kesal karena ditanyai mengapa tak turun melaut. Warga Baolan itu lalu diringkus dan mendekam di balik jeruji besi sejak 12 September 2023.
Rentetan perkara KDRT di atas mewarnai pewartaan media massa di Sulteng sepanjang 2023. Bak fenomena gunung es, hanya segelintir kasus KDRT yang terkuak ke publik. Padahal masih banyak kasus lain yang belum terungkap.
Merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), rumah tangga menjadi tempat kejadian kekerasan terbanyak di Sulteng kurun lima tahun terakhir.
Sebanyak 269 kasus (2019), 232 kasus (2020), 367 kasus (2021), 421 kasus (2022), dan 404 kasus (2023) kekerasan terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Bila diambil konteks tahun 2023 saja, suami/istri menjadi pelaku kekerasan terbanyak kedua dengan 106 kasus.
Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Sulteng juga serupa. KDRT menjadi kasus paling dominan dari 97 perkara yang mereka dampingi di enam lokasi selama tahun 2023.
“Beberapa tahun terakhir LBH APIK Sulteng banyak menangani kasus perceraian akibat KDRT dengan jenis kekerasan fisik. Ada juga kasus penelantaran keluarga karena perselingkuhan, sabu-sabu, maupun judi online,” terang Koordinator Divisi Advokasi LBH APIK Sulteng, Titik Tri Wahyuningsih, kepada Tutura.Id, Rabu (10/1/2024).
Menurut Titik, berdasarkan pengalaman advokasi yang mereka jalankan sejauh ini, para korban KDRT terpaksa mengambil dua opsi nan dilematis; menyetop laporan di institusi penegak hukum atau mengakhiri pernikahan.
Pilihan menghentikan proses hukum, sambung Titik, karena korban beralasan begitu panjangnya proses yang harus mereka jalani. Sementara perceraian menjadi opsi terakhir lantaran tak ingin lagi berurusan dengan pelaku KDRT.
Sesuai data Simfoni PPA, ada empat layanan yang paling sering diberikan untuk korban kekerasan di Sulteng kurun 2023. Layanan terbanyak berupa pengaduan korban mengalami tindak kekerasan yang jumlahnya mencapai 548 pengaduan. Menyusul kemudian layanan kesehatan (201), bantuan hukum (172), dan penegakan hukum (51).
Sementara sisanya berupa rehabilitasi sosial (5), reintegrasi sosial (2), pemulangan (1), dan pendampingan tokoh agama (1). Artinya, harap-harap cemas kasus kekerasan bisa dilanjutkan atau berakhir dengan mediasi.
Meski begitu, Titik menyebut penegakkan hukum terkait KDRT di Sulteng telah mengalami banyak kemajuan dan sangat memperhatikan hak serta keadilan bagi korban. Namun, selama beberapa waktu korban harus ambil pilihan sulit seperti cabut laporan atau mengakhiri pernikahan dengan harapan bisa jadi pintu keluar KDRT.
Korban terjebak trauma bonding
Kepala Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Sulteng, Patricia Yabi, mengungkap kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan seksual kepada anak jadi yang paling dominan mereka terima sepanjang tahun lalu.
Sebanyak 26 anak mengalami kekerasan seksual dari 51 pengaduan. Sementara 15 perempuan jadi korban kekerasan dari 45 laporan.
Maraknya kasus KDRT yang terjadi di Sulteng, kata Patricia, karena beragam alasan. Ada yang terjadi karena faktor internal keluarga masih memandang sebelah mata kasus KDRT, dianggap tabu, bahkan aneh untuk dilaporkan.
Selain itu, kekerasan yang kerap dialami seseorang—terutama perempuan dan anak—dipengaruhi oleh budaya atau nilai di masyarakat yang cenderung patriarki. Kaum Adam seolah telah dinubuatkan sebagai penentu kehidupan, bahkan sebagai yang terkuat. Hal ini bikin laki-laki punya tingkat agresivitas lebih tinggi dibanding perempuan.
“Kami sering meminta bantuan dari para penyintas kekerasan agar para perempuan lain yang jadi korban untuk berani melapor karena mereka masih terjebak trauma bonding,” tutur Patricia saat dihubungi Tutura.Id, Rabu (10/1).
Trauma bonding, sambung Patricia, bikin para perempuan korban KDRT menjalani pola berulang; mengalami kekerasan dari pasangan, berbaikan, lalu mengalami kekerasan lagi.
Siklus ini memungkinkan terjadi pada anak di masa depan, di mana ketika KDRT terjadi di rumah tangga, kemudian anak melihat dan mengalami.
Perlu diketahui, trauma bonding merupakan kondisi seseorang terus menjalin hubungan yang melekat atau keterikatan emosional mendalam, sekalipun pasangannya tersebut sudah melecehkan hingga melakukan kekerasan.
Umumnya seseorang yang terjebak trauma bonding punya tanda-tanda, seperti simpati dan iba berlebihan kepada pelaku, ketergantungan dengan pelaku, memaklumi perbuatan pelaku karena rasa cinta yang dalam, anggapan hanya dirinya yang memahami pelaku, khawatir secara terus menerus dan berusaha tak membuat pelaku marah, serta ada rasa hutang budi dengan pelaku.
“Dalam kasus KDRT, para korban biasanya memikirkan demi anak-anak atau karena faktor ekonomi. Ketika cerai, saya mau hidup bagaimana? Akhirnya mereka justru mengalami kekerasan berlipat, fisik, psikis, maupun ekonomi,” terang Patricia.
Sebagai lembaga pemerintah yang menangani para penyintas, UPT PPA Sulteng berupaya agar korban mendapat keadilan, mulai dari pengaduan, pendampingan hukum, layanan kesehatan fisik dan psikologi, hingga bantuan sosial sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Sementara LBH APIK Sulteng menekankan agar para penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan lebih mengedepankan sikap dan tindakan yang lebih berperspektif korban. Tak hanya itu, mereka juga berharap agar masyarakat punya kesadaran dan berani melapor jika melihat ataupun mengalami kekerasan.
kekerasan kdrt korban penyintas perempuan Sulteng trauma bonding Simfoni PPA LBH Apik Perlindungan Perempuan dan Anak