Kabar duka datang dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) 07 Kelurahan Palupi, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sugeng Wibowo yang menjadi Ketua KPPS di lokasi tersebut meninggal dunia.
Pria yang akrab disapa Windu itu berpulang pada Jumat (16/2/2024). Almarhum dilaporkan sempat minum obat dan dilarikan ke rumah sakit.
“Memang saya dengan dia itu sudah sama-sama ada firasat. Bahkan tiga hari sebelumnya sudah ada firasat dia juga begitu. Cuma masing-masing tidak mau bilang. Masing-masing hanya mata saja yang dapat berbicara,” kata sang istri kepada Tutura.Id, pada Sabtu (17/2).
Cerita seputar kematian Windu banyak diungkapkan oleh Muhtar, salah satu Linmas TPS 07 Palupi. Sebagai rekan kerja Windu, Muhtar mengaku tahu betul kerja keras almarhum dalam menyukseskan Pemilu 2024 di TPS mereka.
Muhtar bersaksi Windu bekerja bersama Linmas untuk menjaga logistik yang masuk TPS hingga perhitungan selesai. Logistik masuk pukul 4 sore pada 13 Februari 2024. Windu ikut menjaga logistik di TPS hingga tengah malam.
Hanya tidur beberapa jam, Windu berangkat menuju TPS pagi hari bersiap untuk memulai pemungutan suara. Sejak Rabu pagi hingga Kamis subuh (15/2), Windu juga tidak tidur. Mereka begadang melakukan perhitungan dan rekapan suara.
Dalam kondisi yang belum tidur, Windu mengantar rekapan suara dan logistik kembali ke PPS Kelurahan. Dia pun ikut mengambil honor anggota KPPS TPS 07. Saat Muhtar ingin mengambil honornya, Windu mulai mengeluh pusing kepala.
Usat salat Jumat (16/2), Windu sempat keluar rumah bersama istrinya. Namun, setelah salat Ashar, sekitar pukul 16.00 Wita, di teras masjid Windu bertemu Muhtar dan kembali mengeluh kesakitan. Pun dia tetap meminta Muhtar menemaninya ke bengkel.
“Waktu di teras masjid sudah begini dia (sambil memang kepala dengan kedua tangan). Almarhum mengeluh pusing dan dada sebelah kiri terasa sakit,” terang Muhtar.
Dia pun meminta Windu untuk duduk sejenak di deker masjid dan mengurungkan niat ke bengkel. Windu menolak dan bersikeras tetap pergi.
Singkat cerita, di perjalanan Windu kembali bertanya ke Muhtar obat untuk sakit kepala, sakit dada, dan pusing. Lantaran mengaku tidak tahu, ia menyarankan Windu ke apotek membeli obat. Saat itu Windu sudah terlihat kepayahan dan banyak menguap.
Ketika mereka terjebak kemacetan di jalan, tiba-tiba Windu melepaskan tanganya dari kemudi. Dia kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan busa.
“Saya panik. Langsung menghentikan mobil dan keluar minta tolong dengan warga di situ. Saya panik sekali dan saat keadaan itu saya juga belum normal sekali. Masih capek,” ungkap Muhtar.
Warga di sekitar langsung menolong mengangkat Windu dan memanggil ambulans dari kantor kelurahan terdekat. Sekitar 10 menit kemudian Windu tiba di RS Alkhairaat. Dia langsung diberikan oksigen dan dipompa jantungnya.
“Pada saat dokter menangani almarhum, dokter mengatakan bahwa almarhum sudah tidak bisa ditolong, Setelah itu langsung saya telepon istri saya untuk memberitahukan kepada istrinya beliau,” tambah Muhtar.
Menurut Muhtar, KPU Sulteng akan memberikan santunan kepada keluarga almarhum. Ketua KPU Palu Idrus menyebut santunan akan diberikan dalam dua tahap.
Tahap pertama berasal dari dana pribadi seluruh pegawai KPU. Dipergunakan untuk biaya tahlilan. Sedangkan tahap kedua sejumlah Rp46 juta dari KPU Palu.
Lebih melelahkan
Kisah Windu ternyata tidak tunggal. Ada 14 petugas KPPS lainnya di Sulteng yang juga meninggal dunia. Sementara 257 petugas mengalami sakit.
Data ini merupakan akumulasi sejak 2023 saat dimulainya pembentukan penyelenggara ad hoc hingga 17 Februari 2024. Bila melihat angka ini, maka akan terbayang pelaksaan Pemilu 2019 yang juga memakan korban jiwa.
Secara nasional di Pemilu 2019, sebanyak 894 petugas di seluruh Indonesia meninggal dan 5.175 lainnya sakit saat bertugas. Kelelahan menjadi pemicu utama.
Nurfaida, salah satu anggota KPPS TPS 16 Kelurahan Birobuli Selatan, sempat bingung memikirkan faktor pemicu kelelahan yang dialaminya.
Perempuan 26 tahun ini terhitung masih dalam usia prima secara fisik. Namun, ia tidak menampik ritme kerja tanpa tidur mempengaruhi badannya.
Dia pernah menjadi anggota KPPS pada 2019 dengan honor sekitar Rp600-an ribu. Kala itu memang terasa lelah, tapi tidak membuatnya merasa sangat lelah seperti Pemilu 2024.
“Kalau lelah saat itu memang normal mungkin, ya. Soalnya semua dokumen dan salinanya harus ditulis tangan, tidak boleh difotokopi. Sekarang boleh, tapi ujung-ujungnya juga bikin lelah, bahkan lebih capek,” katanya saat ditemui Minggu (18/2).
Sama seperti kisah mendiang Windu, dia mengaku baru bisa tidur normal lebih dari 6 jam pada Kamis (15/2) malam setelah rekapan suara dan logistik dikembalikan ke PPS Kelurahan.
Sejak Rabu pagi, dia beserta lima anggota KPPS, dua orang Linmas, dan para saksi berkerja hampir 36 jam di TPS. Tidur pun harus curi-curi waktu.
Nurfaida mengatakan sebelum pencoblosan punya ekpektasi beban kerjanya lebih mudah. Pasalnya ada aplikasi siRekap Pemilu dan dokumen yang bisa difotokopi. Kenyataannya ternyata berbeda.
Aplikasi siRekap Pemilu acapkali error dengan status “system down” saban mengunggah foto dokumen secara online. Untungnya ada pilihan mengunggah secara offline.
Selain itu, meski dokumen bisa difotokopi, toh pada akhirnya semua petugas KPPS dan saksi tetap harus membubuhkan tanda tangan secara manual.
“Ada sekitar 602 dokumen yang harus ditandatangani. Sampai ada yang trauma kalo ba lihat pulpen sama spidol warna biru,” ujar Nurfaida diiringi dengan tawa.
Dia mengaku mengalami kram otot yang menyakitkan, meski tidak harus dirawat di rumah sakit. Dia memilih untuk dipijat dan menabung uang honor yang diberikan.
Ketika ditanya apakah bersedia menjadi petugas KPPS di masa mendatang? Dia mengaku tidak kapok asal jumlah honor yang diberikan meningkat.
View this post on Instagram
Cerita lain disampaikan Selin, anggota KPPS 02, Kelurahan Birobuli Selatan. Dia menyoroti kurangnya koordinasi atau pengarahan dari ketua KPPS-nya. Walhasil ia dan para anggota KPPS yang lain harus mencari tahu tupoksi kerja masing-masing.
Kurangnya pengetahuan dengan tupoksi membuat kerja tim semakin berat. Tenggat waktu yang ketat juga membuat kerja anggota KPPS di tempatnya terasa lebih berat dan melelahkan.
Selin mengaku honor yang diterimanya sebesar Rp1,1 juta ditambah Rp50 ribu sebagai honor admin siRekap Pemilu.
“Untuk honornya sebenarnya menurut saya lumayanlah buat kerja sehari dari pagi ke pagi lagi. Hanya saja saat penerimaan honornya terhitung lama karena kami menerimanya tanggal 16, bukannya tanggal 15. Tapi saya juga memaklumi karena semua pihak capek dan butuh istirahat. Ya, tidak masalah biar sedikit lama. Asal tetap dibayarkan full,” tutup Selin
Andi Alifiah, anggtota KPPS di TPS 11 Kelurahan Birobuli Selatan, mengungkapkan dirinya kerja maraton tanpa istirahat selama dua hari dan satu malam. Bukan hanya dirinya, tapi juga rekan-rekannya di TPS. Ini adalah pengalaman pertamanya menjadi anggota KPPS.
"Saya kira jadi anggota KPPS itu tidak terlalu sulit, tapi ternyata lebih berat dan sangat melelahkan. Lebih dari yang saya bayangkan," ucap Andi.
Andi mengaku TPS-nya mengalami berbagai kesulitan, termasuk masalah teknis dengan peralatan pemungutan suara dan penanganan pemilih yang kurang terampil. Beruntung semuanya bisa terlewati berkat warga sekitar yang punya respons positif.
"Ketika melihat antusiasme warga yang datang untuk memberikan suara, saya merasa tidak bisa mengecewakan mereka. Itu yang membuat saya terus bertahan," tutup Andi.
Nur Soima Ulfa dan Sindi Dian Wahyuningtias turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pemilu 2024 KPPS PPS KPSS meninggal KPU Sulteng Kota Palu Birobuli Selatan Palupi Sulteng Sulawesi Tengah