“Mikroplastik itu nyata teman-teman,” ucap Prigi Arisandi mengawali forum diskusi bertajuk “Hasil riset: Palu dan ancaman mikroplastik”. Diskusi berisi pemaparan hasil Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) yang diinisiasi Prigi berlangsung di Perpustakaan Mini Nemu Buku, Jalan Tanjung Tururuka No. 27, Palu Selatan, Kamis (13/10/2022) malam.
Beberapa komunitas tampak menghadiri sesi diskusi tersebut, antara lain Arkom, Sekolah Puncak Raranggonau, Mangrovers, Progres Sulawesi, Trash Volunteer, Komunal, Kompas, dan beberapa tokoh pegiat lingkungan lainnya.
Mikroplastik berasal dari remah-remah, fragmentasi, atau degradasi plastik. Wujudnya berupa potongan plastik kecil yang berukuran kurang dari 0,5 mm. Ukurannya yang tak kasat mata itu bukan hanya menebar bahaya bagi lingkungan, tapi juga mahluk hidup, termasuk manusia.
Sebelum jadi mikroplastik, plastik pecah menjadi keping-keping kecil hingga tidak terlihat. Kebanyakan masyarakat menganggapnya terurai lalu lenyap, tetapi pada kenyataannya plastik super kecil tersebut tetap ada di alam.
Lantaran ukurannya sangat kecil, mikroplastik mudah saja masuk ke tubuh hewan yang kemudian dikonsumsi oleh manusia dan meracuni tubuh. Mikroplastik bisa terkandung dalam makanan dan air yang kita konsumsi saban hari.
Potensi bahaya mikroplastik dalam paparan tingkat tinggi dapat memicu pertumbuhan sel kanker, reaksi alergi, kerusakan sel, gangguan metabolisme, dan gangguan hormon.
Menyitir The Guardian (6/4/2021), penelitian Hull York Medical School, Inggris, menemukan mikroplastik di paru-paru manusia yang masih hidup. Ini merupakan temuan pertama yang membuktikan mikroplastik bisa masuk ke tubuh manusia.
Usai membahas bahaya mikroplastik, Prigi dkk. memperagakan hitung cepat sekaligus memaparkan hasil temuan mereka di anjungan Teluk Palu sekitar patung kuda, Pantai Dupa di Kelurahan Layana Indah, dan Tanjung Karang, Donggala.
Riset yang juga melibatkan Komunitas Seangle dan Perkumpulan Telapak Sulawesi Tengah berlangsung selama dua hari (12-13 Oktober 2022).
Hasilnya ternyata ditemukan 186 partikel mikroplastik di bekas anjungan (terdiri dari jenis fiber 150 partikel, filamen 24, fragmen 12), 72 partikel di Pantai Dupa (fiber 40 partikel, filamen 24 partikel, dan fragmen 8 partikel), dan 80 partikel di Tanjung Karang (fiber 56 partikel, filamen 3 partikel, dan fragmen 14 partikel).
Mikroplastik bentuk filamen dan fragmen bersumber dari limbah aktivitas manusia seperti pembuangan plastik berupa botol, kantong, dan gelas plastik sekali pakai yang terdegradasi.
Sementara bentuk fiber asalnya dari tali atau alat tangkap seperti karung plastik yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Bisa juga berasal dari limbah pembuatan pakaian, alat pancing, dan jaring.
Hasil temuan ESN menyimpulkan Perairan Teluk Palu sudah tercemar mikroplastik rata-rata 112,6 partikel mikroplastik dalam 100 liter air.
Berbagai temuan ini sekali lagi merupakan afirmasi betapa pemerintah, dalam hal ini KLHK, harus bersegera membuat regulasi baku mutu mikroplastik dalam air sungai dan laut.
“Selama kegiatan penelitian kami mengambil 50 liter air dengan menggunakan mistic scan berupa kaleng stainless steel dengan screen plankton ukuran mess 300. Lalu diikat dengan karet di ujung lubang yang berfungsi sebagai penyaring air. Material yang tersaring dalam screen plankton kemudian diamati di bawah mikroskop portable dengan perbesaran 100 hingga 400 kali,” ungkap Prigi yang alumnus Biologi Universitas Airlangga (UNAIR).
Perairan di Palu dan Donggala hanya salah dua dari daftar ESN. Target ekspedisi ini melusuri 68 sungai yang ada di Indonesia.
Tim ESN sebenarnya turut pula menguji kualitas air Sungai Palu dan Sungai Wera di Sigi. Pemaparan hasilnya belum dapat dilakukan mengingat kondisi arus sungai yang kurang mendukung sehingga dianggap kurang memberikan gambaran situasi sebenarnya.
Diskusi yang berlangsung di Nemu Buku ini juga membahas gerakan dan respon masing-masing pemerintah daerah yang masih sering terpaku pada sistem angkut dan buang. Pun kesadaran warga yang belum tinggi. Praktik buang sampah sembarangan, termasuk di sungai dan laut, masih kerap terjadi. Gaya hidup menggunakan plastik sekali pakai juga masih langgeng, termasuk di Kota Palu.
teluk palu pantai laut mikroplastik lingkungan ekspedisi ekspedisi sungai nusantara