
Pernah ada sebuah masa di lingkungan warga Kaili yang mendiami Lembah Palu begitu akrab dengan istilah “bantiluku”. Konteks penggunaannya biasa untuk mengomentari kelambanan seseorang. Lantaran lamban itulah kemudian melekat julukan bantiluku yang merujuk pada kura-kura darat endemik di Sulawesi.
Makna lain penggunaan lema "bantiluku" bisa merujuk pada seseorang yang diam-diam ternyata punya maksud tersembunyi.
Reptil dengan nama latin Indotestudo forstenii alias baning Sulawesi itu punya ukuran tubuh mungil. Saat berusia dewasa, bobot tubuhnya sekira 2,5 kilogram dengan ukuran 18-25 sentimeter. Cangkangnya memiliki kombinasi warna hitam dengan garis tebal kekuningan atau campuran karamel dengan bercak hitam.
Tersebabkan habitat aslinya, spesies ini termasuk golongan pemakan tumbuhan dan daging alias omnivora. Makanannya antara lain buah-buahan yang telah berguguran di tanah, dedaunan, kaktus, rumput, cacing, dan siput.
Jenis kura-kura endemik lainnya yang cuma hidup di alam Sulawesi adalah kura-kura gunung alias Leucocephalon yuwonoi. Tambahan penamaan yuwonoi merujuk pada Frank Yuwono, seorang peneliti yang kali pertama menemukan spesimen ini di sebuah pasar di Gorontalo.
Sebagian menyebutnya kura-kura paruh betet lantaran bentuk moncongnya yang runcing mirip paruh burung betet. Ukuran karapasnya sekitar 28–31 cm (jantan) dan 20–25 cm (betina).
Hewan yang banyak menghabiskan waktunya di hutan ini juga pemakan segala, mulai dari tumbuhan, daging, atau gabungan keduanya (omnivora).
Dua spesies kura-kura endemik Sulawesi tadi menjadi fokus pembicaraan Progres Sulawesi, sebuah organisasi pelestari lingkungan yang berfokus memprakarsai gerakan masyarakat melindungi alam Sulawesi.
Bertempat di Perpustakaan Mini Nemu Buku, Jalan Tururuka, Palu, Kamis (21/9/2022) malam, mereka coba memetakan jumlah populasi tersisa bantiluku dan kura-kura paruh betet yang belakangan statusnya makin langka.
Uni Internasional untuk Konservasi Alam alias IUCN telah memasukkan dua spesies kura-kura endemik tadi dalam daftar hewan terancam punah. Populasinya juga makin menurun.
Bahkan The Turtle Conservation Coalition yang merupakan koalisi berbagai lembaga konservasi hewan memasukkan kura-kura hutan sulawesi dalam lis “25 Kura-Kura Paling Langka dan Terancam Punah di Dunia”.
Hasil survei yang dilakukan Progres Sulawesi sejauh ini menemukan bahwa bantiluku hidup di bukit-bukit curam di Lembah Palu, tepatnya di area sekitar aliran sungai kecil dengan vegetasi rapat dan juga pada area kering seperti vegetasi semak belukar.
Sementara itu kura-kura gunung hidup di area sungai dengan kadar oksigen tinggi. Kedalaman sungai juga tidak lebih dari 50 sentimeter atau seukuran mata kaki orang dewasa.
Perihal jumlah populasi tersisa kedua jenis kura-kura ini masih belum dapat dipastikan. Progres Sulawesi masih terus melakukan deteksi.
Hasil tahapan survei sebelumnya yang dilakukan Juli 2020 dengan transek 44 kilometer meliputi wilayah Kawatuna, Bora, Watunonju, Oloboju, Pombewe, dan Lore berhasil menemukan enam ekor bantiluku.
Saat dilakukan survei lanjutan pada April 2021 dengan transek—keterdapatan makhluk sepanjang suatu daerah atau percobaan dan pengamatan lain—sejauh 42,4 km di wilayah Lore, Pombewe, Sidondo, tiada menemukan hasil. Proses pencarian kala itu turut mewawancarai warga sekitar. Menurut kesaksian warga, makin sulit menyingkap jejak keberadaan baning sulawesi alias bantiluku.
Faktor utama yang jadi penyebab lantaran hewan ini makin kehilangan habitat aslinya untuk bertahan hidup. Selain itu, bantiluku masih jadi komoditas perburuan ilegal untuk keperluan dipelihara atau dikonsumsi.
Ancaman serupa juga membayangi eksistensi kura-kura hutan Sulawesi yang kerap menjadi incaran untuk diperdagangkan secara ilegal sebagai bahan makanan dan hewan peliharaan. Melansir Yayasan Kehati, pada awal tahun 1990-an, ribuan ekor spesies diperkirakan diperdagangkan ke Cina sebagai bahan makanan. Selain itu banyak pula yang diekspor ke Eropa dan Amerika sebagai hewan peliharaan.
Dengan statusnya yang hingga kini belum tergolong satwa dilindungi, maka kerja-kerja konservasi otomatis makin sulit dilakukan. Kesadaran warga untuk menjaga kelestariannya menjadi penting demi memutus mata rantai perdangan ilegal kedua jenis satwa langka ini.
Upaya lainnya pernah dilakukan oleh Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) Sulawesi Tengah, yakni melayangkan usulan kepada LIPI agar bantiluku dimasukkan dalam daftar hewan yang dilindungi.


