Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Tengah menemukan sejumlah dugaan pelanggaran berkenaan dukungan terhadap bakal calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pelanggaran ini ditemukan saat Bawaslu Sulteng melakukan kerja-kerja pengawasan atas tahapan verfikasi faktual, yang sudah berjalan sejak 6 Februari 2023.
Perkara ini dikonfirmasi oleh Nasrun, anggota Bawaslu Sulteng. “Dari sampel verifikasi di beberapa daerah, ada temuan pelanggaran. Misalnya, warga dan penyelenggara pemilu yang namanya dicaut. Bahkan ada warga yang sudah meninggal tapi masih dicatut,” ujar Nasrun.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tutura.Id, Bawaslu Sulteng menemukan kasus pencatutan nama di lima daerah yakni Donggala, Poso, Banggai Kepulauan, Banggai Laut, dan Morowali Utara.
Misalnya, di Desa Lumbutarombo dan Tanahmea, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, ada belasan warga yang terdata memberi dukungan, tetapi mengaku tak pernah dihubungi oleh bakal calon DPD termaksud.
Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Tinangkung dan Tinangkung Utara, Kabupaten Banggai Kepulauan. Dari 27 warga yang dijadikan sampel, 11 di antaranya mengaku tak kasih dukungan. Bahkan, ada satu keluarga (lima orang) yang kebingungan lantaran tercatat sebagai pendukung salah satu calon senator. Ada pula seorang warga yang diming-imingi perahu oleh tim sukses bakal calon DPD.
Di Kabupaten Poso, situasinya malah lebih parah. Dari 500 warga yang dijadikan sampel verfikasi, Bawaslu menemukan 208 orang yang namanya dicomot tanpa izin.
Ada pula nama penyelenggara Pemilu yang dicatut sebagai pendukung, yakni ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Desa Panca Makmur, Kecamatan Soyo Jaya, Kabupaten Morowali Utara.
Di Desa Lamboko, Kecamatan Banggai, Kabupaten Banggai Laut, seorang warga yang sudah meninggal dunia turut tercatat pada form pernyataan dukungan. Padahal yang bersangkutan sudah mangkat sebelum masa pengumpulan dukungan calon perseorangan.
Atas pelbagai temuan pencatutan nama tersebut, Nasrun menyebut bahwa pihaknya secara berjenjang ke bawah—mulai dari jajaran pengawas kecamatan hingga desa dan kelurahan— akan melakukan penelusuran lebih detail.
“Setelah penelusuran dan pencermatan lebih lanjut, akan dibuat laporan hasil pengawasan disertai bukti pendukung. Apabila mengarah ke ranah pelanggaran, akan dilanjutkan ke tahap penanganan pelanggaran,” kata dia.
Nasrun pun menambahkan, bila ada warga yang merasa tak kasih dukungan pada calon DPD tetapi namanya dicatut, agar bisa melaporkan keberatannya ke penyelenggara Pemilu—pengawas level kecamatan, dan desa atau kelurahan.
Bisa pula mendatangi posko pengaduan Bawaslu di level kota atau kabupaten agar namanya bisa dihapus dari Sistem Informasi Pencalonan (SILON) yang dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sanksi administrasi hingga ancaman pidana
Supriadi, pakar hukum dari Universitas Tadulako (Untad), menyebut bahwa kasus pencatutan nama ini bisa berujung pada sanksi administrasi dan pidana.
“Baik sanksi pidana maupun administrasi ini bisa menerbitkan risiko kegagalan menjadi peserta pemilu,” kata Supriadi. “Jika sudah ada temuan; maka ada potensi pemberian sanksi administrasi bahkan pidana. Sanksi pidana juga bisa dilakukan ketika hasil temuan tidak ditindaklanjuti penyelanggara pemilu.”
Pengajar ilmu hukum tata negara itu mengatakan bahwa sanksi administrasi merujuk Pasal 11 ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Aturan itu menyebut bahwa data palsu atau aktivitas penggadaan data yang dilakukan dengan sengaja bisa berujung sanksi pengurangan jumlah dukungan sebanyak 50 kali temuan bukti.
Adapun sanksi pidana bisa menyasar siapa saja yang dengan sengaja membuat, atau menyuruh orang memakai surat atau dokumen palsu dalam urusan pencalonan di pesta demokrasi.
Hal itu termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pada Pasal 520 disebutkan hukumannya bisa mencapai 6 tahun penjara dan denda hingga Rp72 juta.
Sanksi pidana juga bisa menyasar penyelenggara pemilu, seperti diatur dalam Pasal 518 UU 7/2017. Aturan tersebut mewajibkan anggota KPU (secara berjenjang) untuk menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam pelaksanaan verifikasi administrasi.
Bila mengabaikan temuan, ada ancaman penjara paling lama tiga tahun dan denda maksimal Rp36 juta.
Sebagai tambahan catatan, bila seseorang merasa keberatan namanya dicatut tanpa izin, ia bisa pula mengajukan gugatan. Hak untuk melakukan gugatan itu telah diatur dalam Pasal 26 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik.