Kelompok sipil di Sulteng menyebut Perppu Cipta Kerja wujud otoritarianisme
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 7 Januari 2023 - 21:02
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Kelompok sipil di Sulteng menyebut Perppu Cipta Kerja wujud otoritarianisme
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberikan konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (30/12/2022) - Foto: Kris/BPMI Setpres

Saat mayoritas warga sedang bersiap menyambut malam pergantian tahun, Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja (30/12/2022).

Alasannya karena sedang terjadi kegentingan memaksa sehingga kebijakan tersebut harus secepatnya dikeluarkan. Keputusan ini menuai pro dan kontra di kalangan sipil.

Kegentingan memaksa yang dimaksudkan menurut uraian Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, salah satunya, terkait kondisi geopolitik dan ekonomi global.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait dengan ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi, dan juga beberapa negara berkembang yang sudah masuk ke IMF itu lebih dari 30 (negara),” jelas Airlangga.

Kalangan yang pro kebijakan ini menyebut presiden berhak gunakan pandangan subjektifnya. Sementara yang kontra menyatakan bahwa tidak ada kegentingan memaksa yang sedang terjadi.

Bahkan pemerintah dianggap telah menabrak konstitusi karena tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 untuk memperbaiki UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

“Perppu Cipta Kerja tak penuhi syarat kegentingan memaksa bila merujuk kondisi ekonomi maupun antisipasi kekosongan hukum. Justru ekonomi kita sedang bertumbuh positif. Pun kalau tak mau ada kekosongan hukum, mestinya jalankan saja putusan MK,” tutur Abdul Muin, Advokat Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Sulawesi Tengah, kepada Tutura.Id (6/1/2023).

Bank Indonesia dalam siaran persnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3%.

Kondisi itu diyakini bakal terus meningkat menjadi 4,7-5,5% pada 2024 berkat konsumsi swasta, investasi, dan tetap positifnya kinerja ekspor di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.

Lanjut Muin, meski hukum mengakomodir presiden membuat perppu yang sejajar dengan UU, namun terkait Perppu Cipta Kerja, presiden seharusnya tidak menafsir ulang perintah Mahkamah Konstitusi (MK).

“Dalam amar putusan MK jelas disebutkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki kurun waktu dua tahun. Bukan membuat peraturan baru. Justru perppu ini menunjukan sikap otoriter presiden karena tidak memperhatikan pertimbangan dari cabang kekuasaan lainnya seperti legislatif maupun yudikatif,” ujar Muin.

Menurut dia, kekosongan hukum dapat dipandang ketika hukum itu batal atau inkonstitusional permanen. Beda dengan bunyi keputusan MK yang menyebut UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat hingga November 2023.

Kritik atas terbitnya kebijakan ini juga datang dari akademisi Universitas Tadulako, La Husen Zuada, S.IP., M.IP. Menurutnya, penerbitan aturan ini tidak mencermikan praktik tata kelola pemerintahan yang baik.

“MK memerintahkan agar pemerintah bersama DPR memperbaiki UU Cipta Kerja, lalu partisipasi publik dimaksimalkan. Pemerintahan yang baik seharusnya terbuka dengan kritik dan kontrol dari rakyat. Begitu pula dalam proses legislasi. Lahirnya perppu ini bertolak belakang dengan amar putusan MK maupun praktik pemerintahan yang demokratis,” jelas Husen.

Dosen yang mengajar di program studi ilmu pemerintahan ini juga menyoroti kegentingan memaksa yang menjadi asas presiden meneken kebijakan.

“Kegentingan memaksa dalam kacamata awam itu yakni adanya bahaya atau berpotensi terjadi bahaya, misal darurat perang atau seperti pandemi Covid-19 lalu. Sementara Indonesia tidak mengalami keduanya. PPKM juga baru dicabut. Jadi, subjektifitas yang dipakai Presiden hanya untuk mengakomodir investor,” tambahnya.

Kondisi bahaya merujuk UU 6/1946 meliputi serangan, bahaya serangan, pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil tidak sanggup menjalankan pekerjaannya dan bencana alam.

Pun demikian, diterbitkannya perppu ini menurut Husen bisa jadi untuk menarik perhatian DPR agar lebih serius memperbaiki UU Ciptaker bersama pemerintah. Pasalnya gerbong politik Jokowi di DPR kini mulai terbelah karena kesibukan membentuk koalisi jelang Pemilu 2024.

Koalisi masyarakat sipil menggugat Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (Foto: Vivi Octiasari/shutterstock)

Protes mantan hakim hingga ancaman pemakzulan

Merujuk UUD 1945 Pasal 22, disebutkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Hanya saja peraturan itu tetap harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Apabila tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Sebaliknya, jika mendapat persetujuan oleh DPR, otomatis akan menjadi undang-undang. Persidangan berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan.

Parameter kegentingan memaksa diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Tiga syarat yang menjadi parameter kegentingan memaksa bagi presiden untuk menetapkan perppu.

Syarat pertama karena ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.

Kondisi terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Melansir tempo.co (4/1), Perppu 2/2022 juga menuai kritik dari Jimly Asshiddiqhie, Hamdan Zoelva, dan Maruarar Siahaan. Ketiganya adalah mantan hakim MK. 

“Semua ini akan jadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya," tutur Jimly Asshiddiqhie yang menjabat Ketua MK periode 2003-2008.

Sementara Hamdan Zoelva bilang ini jadi preseden buruk bagi hukum ketatanegaraan kita. Maruarar Siahaan angkat bicara menyebut perppu ini tak menjawab kebutuhan uji formil seperti dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. 

Abdul Rahman Thaha, anggota DPD RI asal Sulteng menilai jika penerbitan Perppu Ciptaker menunjukkan bahwa tanda-tanda otoritarianisme dalam kemasan peraturan perundang-undangan makin nyata. Dia bahkan kasih pernyataan keras berujung ancaman pemakzulan.

"Andai DPD punya kewenangan lebih, percayalah, saya, Abdul Rachman Thaha, yang akan mengambil inisiatif pemakzulan itu," kata dia.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam pernyataan resmi berkomentar lebih gamblang. Penerbitan perppu ini merupakan bentuk pembangkangan, penghianatan atau kudeta terhadap konstitusi RI. 

Kontroversi terkait diterbitkannya Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja terus menggelinding. Masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, dosen, hingga advokat menggugatnya ke MK.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Ir. Drs. Abdullah, M.T. menekankan pentingnya mempelajari semua jenis bencana, tidak hanya soal gempa dan…
TUTURA.ID - Penantian mahasiswa Untad angkatan 2015 atas wisuda dan ijazah
Penantian mahasiswa Untad angkatan 2015 atas wisuda dan ijazah
Tiga periode wisuda terlewati. Tapi belum satupun kejelasan bagi mahasiswa Untad angkatan 2015, untuk bisa…
TUTURA.ID - Menguak lima program dan tiga gagasan IKA Untad
Menguak lima program dan tiga gagasan IKA Untad
Pengurus baru terpilih IKA Untad periode 2022-2027 dengan Ahmad Ali sebagai nakhoda menyodorkan lima program…
TUTURA.ID - Pameran berbagi rasa persembahan Kinesik Untad
Pameran berbagi rasa persembahan Kinesik Untad
Acara pameran berisi karya-karya mahasiswa Kinesik Untad yang kali ini coba menyentuh lebih dalam aspek…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng