
Seekor merpati jantan dilepaskan dari genggaman tangan seorang laki-laki. Suara kepakan sayapnya kala terbang melesat terdengar jelas di tengah riuh semilir angin pantai.
Berjarak sekitar 500 meter di depan lokasi pelepasan tadi, seorang pria lainnya sigap berjaga. Kedua tangannya tangkas menggenggam seekor merpati betina. Beberapa pria yang lain di samping kiri kanannya melakukan hal serupa. Ada yang sambil berdiri, duduk, dan berjongkok.
Sambil berteriak-teriak memanggil agar masing-masing burung merpati segera mendekat, mereka mengayunkan merpati betina dari genggaman masing-masing. Barang siapa yang lebih dahulu kedatangan merpati jantan, maka dinyatakan sebagai pemenang.
Demikianlah tabiat merpati. Hewan monogami yang hanya bersetia pada satu pasangan selama hidupnya. Betapa pun sejauh apa terbang, ia akan selalu kembali. Sebab merpati tak pernah mengingkari janji setianya.
Pemandangan seru tadi saya jumpai di atas langit area penggaraman, sebutan warga setempat untuk tambak garam, di Kampung Nelayan, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Jumat (29/12/2023) petang.
Hampir seratusan orang lain yang memadati lokasi tersebut juga merasakan atmosfer serupa. Sebagiannya lagi asyik menonton dari sisi jalan. Semuanya larut dalam keseruan menyaksikan lomba balap merpati.

Lomba ini rutin dilaksanakan Persatuan Penggemar Merpati Balap Sprint Indonesia (PPMBSI) Sulawesi Tengah. Ada sekitar 150 ekor merpati yang ikut diperlombakan. Sebelum beraksi, merpati-merpati dikurung dalam kandang. Menambah ketegangan sebelum aksi sebenarnya dimulai.
Menengok ragam ekspresi dari setiap pemilik burung alias peserta juga tak kalah menghibur. Setiap raut muka dan gestur mewakili perasaan mereka. Banyak yang semringah diiringi tawa puas, tak sedikit pula tertunduk lesu meratapi kekalahan.
Beragam usia hadir meramaikan perlombaan, mulai dari remaja hingga dewasa. Mereka berasal dari kabupaten/kota se-Sulawesi Tengah.
Untuk penyelenggaraan lomba tahun ini, panitia membaginya dalam tiga jenis lomba. Masing-masing pelaksanaannya berbeda hari.
Lomba balap jarak 500 meter berlangsung Jumat (29/12), jarak 800 meter diadakan keesokan harinya (30/12), dan jarak paling jauh, yakni 1000 meter, mengisi hari terakhir, Minggu (31/12). Ada total hadiah uang Rp5,5 juta disiapkan panitia, plus piagam dan trofi.
"Penilaiannya cepat dan tepat. Tepat sampai di tangan. Kalau misalnya jatuh (maka) kalah," jelas Nanang (50), selaku penasihat PPMBSI Sulteng, ketika menjelaskan mekanisme lomba.
Kawasan penggaraman Pantai Talise ditetapkan menjadi lokasi lomba karena beberapa faktor. Selain karena area tanah lapangnya cukup luas, juga karena bersemuka dengan Teluk Palu yang terkenal dengan embusan angin pantainya.
Hajatan seperti ini bukan kali pertama berlangsung di Palu. Sudah ada sejak awal tahun 2000-an sebagai wadah menyalurkan minat dan hobi di antara sesama pencinta burung merpati.

Merpati (dove dalam bahasa Inggris), atau sebagian lain menyebutnya dara (pigeon), punya nama ilmiah Columba livia. Beberapa literatur menyebutkan burung ini sudah terkenal sejak era Mesir kuno melalui beberapa penemuan, salah satunya tersemat di Istana Utara milik Akhenaten alias Amenhotep IV, seorang firaun yang memerintah antara 1353-1336 Sebelum Masehi.
Salah satu kemampuan paling mencolok burung merpati tak lain soal kebisaan melintasi jarak jauh, insting navigasi dan orientasi mumpuni, serta homing ability memanfaatkan medan magnet Bumi, sebagian peneliti mengungkap karena kebisaan merpati menciptakan “peta akustik” lingkungan sekitar mereka.
Dunia militer hingga anggota keluarga kerajaan kemudian memanfaatkan kemampuan burung merpati untuk jadi pengantar surat penting nan rahasia.
Tentang asal-usul balapan merpati dijadikan sebagai tontonan olahraga, termaktub dalam laman britannica.com, bermula di Belgia pada 1818. Akhir tahun 1800-an, popularitas olahraga ini sudah menyeberang hingga ke Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Prancis.
Sementara berkembang biaknya merpati di Indonesia tak bisa dilepaskan dari aktivitas para pedagang asing di Nusantara yang sebagiannya membawa banyak spesies burung, termasuk merpati.
Laiknya yang terjadi di Benua Eropa dan Amerika, penduduk di Nusantara yang kala itu masih hidup dalam cengkaraman penjajahan kolonial Belanda akhirnya mengenal pula merpati balapan.

Seiring perputaran waktu, pencinta atau komunitas penggemar merpati balap makin banyak dan meluas. Hampir setiap daerah di Indonesia punya lomba merpati balap, termasuk tingkat nasional yang paling prestisius.
Merpati balap kerap juga dijadikan investasi bisnis. Maklum, harga jualnya di pasaran cukup fantastis. Bisa menembus hingga puluhan miliar rupiah. Salah satunya dicatatkan oleh seekor merpati balap yang diberi nama New Kim. Burung dengan julukan “Lewis Hemilton versi merpati”, merujuk nama juara dunia Formula 1asal Inggris, laku seharga Rp26,7 miliar.
Khusus di Kota Palu, merpati balap tetap punya penggemar loyal baik dari segi bisnis melalui jual beli maupun urusan adu kecepatan.
Antusiasme warga terlihat jelas setiap adu laju burung ini dilakukan, termasuk ketika pemilik merpati hanya menggelar latihan rutin saban sore di area penggaraman Talise.
Balapan merpati bukan sekadar mengadu kecepatan dan ketangkasan, melainkan bukti kedekatan emosional dengan pemiliknya.
Pasalnya jenis ini telah melalui hasil pembiakan khusus sehingga membedakannya dengan merpati pada umumnya.
Merpati balap yang mendapatkan perawatan yang baik dan pelatihan intensif tak hanya mampu mengenali pasangannya, tapi juga bisa dengan mudah mengenali suara pemilik atau pelatihnya dari jarak jauh.
Andi Baso Djaya turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
burung merpati balap lomba olahraga Persatuan Penggemar Merpati Balap Sprint Indonesia PPMBSI penggaraman talise Teluk Palu Kampung Nelayan sejarah Mesir kuno


