Malam dingin dan hujan gerimis tidak menyurutkan spirit solidaritas dari puluhan orang yang berkumpul di halaman depan Rumah Sakit Umum Undata, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Mereka yang tengah berkumpul tergabung dalam Gerakan Perempuan Bersatu (GPB) Sulawesi Tengah, sebuah aliansi yang menghimpun individu dan organisasi dengan fokus pada isu perempuan dan anak di Sulteng.
Pada Minggu malam (4/6/2023), GPB Sulteng memang menggelar aksi seribu lilin sebagai ungkapan solidaritas dan dukungan moril kepada R, anak perempuan berusia 16 tahun yang jadi korban pemerkosaan oleh 11 orang di Parigi Moutong.
“Kami sangat mengapresiasi setiap orang yang ikut serta dalam aksi ini, serta pihak dari RSUD Undata. Harapan kami adik R dapat segera pulih dan dapat menyampaikan seluruh kebenaran atas seluruh peristiwa yang telah menimpanya,” ujar Nurlaela Lamasitudju, perwakilan GPB Sulteng.
GPB Sulteng pun berharap agar pelaku pada kasus ini mendapat hukuman yang serius. “Dengan adanya penghukuman, tindak lanjut yang serius, dan memastikan pelaku mendapatkan efek jera, harapannya ke depan tidak akan ada lagi kasus-kasus lain, seperti yang dialami adik R,” ujar Nurlalela.
Sebagai catatan, aksi seribu lilin merupakan langkah solidaritas kedua yang dilakukan oleh GPB Sulteng dalam kasus pemerkosaan di Parigi Moutong. Pada Jumat (2/6/2023), GPB Sulteng juga membawakan “kado cinta” berupa karangan bunga, coklat, dan buah-buahan kepada korban.
Aliansi ini juga melakukan penggalangan donasi solidaritas untuk korban. Hingga artikel ini diterbitkan, jumlah donasi yang terkumpul mencapai Rp17 juta.
Dewi Rana, perempuan aktivis yang juga tergabung dalam GPB Sulteng, menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses ini hingga para pelaku mendapat hukuman. “Kami juga akan berada dalam persidangan dan mengikuti prosesnya sampai tuntas,” ujar Dewi.
Dewi juga menjelaskan bahwa yang menimpa korban adalah kekerasan seksual yang keji. "Apa pun namanya, pemerkosaan atau bukan. Hal yang menimpa anak R tetaplah kekerasan seksual yang sangat keji dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak," kata dia.
Sebelumnya, sempat muncul silang pendapat lantaran polisi memilih untuk tidak pakai kata "pemerkosaan" dalam kasus ini. Kepolisian lebih suka dengan lema "persetubuhan."
Pandangan berbeda bermunculan. Status korban yang masih berusia anak (15 tahun saat peristiwa terjadi) menjadi landasan penggunaan istilah pemerkosaan. Status anak dianggap belum cukup matang untuk memberikan consent (izin).
Pandangan itu misalnya disampaikan oleh Choirul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. "Kalau persetubuhan terhadap anak itu masuk kategori non-forcible rape (pemerkosaan tanpa paksaan)," ujar Choirul Huda, dilansir Tempo.co.
Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan 11 tersangka; termasuk seorang anggota Brimob. Para pelaku diduga kuat melakukan perbuatan kejinya terhadap korban dengan iming-iming dan ancaman.
Kondisi korban berangsur membaik
Di tengah rentetan kabar ihwal kasus pemerkosaan yang mengoyak nurani kemanusiaan ini, sebuah kabar baik juga masih terselip: Kondisi kesehatan korban kini berangsur membaik. Hal itu disampaikan oleh Direktur RSUD Undata Palu, Herri—biasa disapa Dokter Herri.
Sebelumnya, sempat beredar kabar soal kemungkinan korban akan menjalani operasi pengangkatan rahim. Dokter Herri menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan memang menunjukkan adanya infeksi dan indikasi tumor pada rahim korban. Namun, ihwal kepastian operasi masih menunggu perkembangan.
“Nanti akan diadakan pemeriksaan kembali, dan jika hasilnya memang mengharuskan untuk dioperasi baru kita lakukan. Untuk infeksinya sendiri kalau hal tersebut sudah pada titik yang sangat buruk baru kita akan melakukan pengangkatan rahim,” ujar Dokter Herri.
Gubernur Sulteng, Rusdy “Cudy” Mastura juga sudah angkat suara tentang kasus ini. Lewat sambungan telepon bersama Kepala Dinas Kominfo, Sudaryano Lamangkona, Gubernur Cudy menyampaikan bahwa dirinya telah menginstruksikan Direktur RSUD Undata untuk memberikan pelayanan bantuan kesehatan bagi korban.
“Saya terus memantau dan melakukan komunikasi secara berkala dengan Direktur RSUD Undata terkait dengan bantuan pelayanan kesehatan dan perkembangan korban. Saya minta agar benar-benar mendapatkan perhatian. Terutama kondisi psikisnya,” kata Gubernur Cudy.
kekerasan seksual pemerkosaan gerakan perempuab bersatu sulawesi tengah parigi moutong kasus pemerkosaan