Perusahaan nikel di Bungku Barat, Morowali, Baoshou Taman Industry Investment Group (BTIIG) seolah tak henti bersemuka kontroversi dan masalah. Peristiwa terbaru terjadi sepekan lalu, 25 Mei 2023, saat area perusahaan itu disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Plang penyegelan menyebut bahwa perusahaan yang disokong modal swasta Tiongkok itu telah melakukan pelanggaran Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Riki Agil Syahri, Legal Officer BTIIG, tak menampik peristiwa penyegelan. Meski demikian, ia mengaku tak bisa memberi keterangan lebih jauh. ”Saya belum bisa memberikan keterangan terkait itu. Karena sedang bertugas di luar,” katanya, saat dihubungi Tutura.Id, akhir Mei 2023.
Adapun BTIIG sudah mulai membangun kawasan pengolahan biji nikelnya di Morowali sejak pengujung 2021. Menurut rencana, kawasan BTIIG akan dibangun di atas area seluas 7.187 hektare. Area tersebut meliputi pula wilayah desa Ambunu, Topogaro, dan Tondo di Kecamatan Bungku Barat.
Sejak memulai pebangunan, BTIIG seolah tak sepi dari kontroversi dan masalah. Tutura.Id merangkum sejumlah masalah tersebut.
Sengkarut izin berbuntut penyegelan
Penyegelan yang dilakukan oleh Kementerian LHK bukan yang pertama terjadi.
Medio Maret 2023, penyegelan juga terjadi di wilayah pembangunan dermaga atau teminal khusus (jetty) milik BTIIG. Penyegelan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Proyek di atas lahan reklamasi PT BTIIG ini tidak memiliki izin reklamasi dan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dipersyaratkan. Oleh karena itu kami hentikan sementara kegiatannya,” ujar Adin, sepeti dikutip Liputan6.com, pada 18 Maret 2023.
Sorotan atas bolongnya izin BTIIG juga diembuskan oleh sejumlah organisasi nonpemerintah. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng menyebut bahwa Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) belum dikantongi oleh BTIIG.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulteng juga menyebut bahwa BTIIG tak memiliki izin pelintasan jalan negara, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), dan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN).
Proses penerbitan AMDAL milik BTIIG baru diupayakan setelah hampir dua tahun proyek pembangunan kawasannya berjalan.
Mengacam ruang produksi masyarakat
BTIIG juga punya jejak masalah dalam kasus sengketa lahan warga. Mereka bersitegang dengan Kelompok Tani Petutuaia Mokora, Desa Ambunu.
Sebanyak 12 kepala keluarga dari kelompok tani itu harus menerima nasib buruk tatkala lahan seluas 14 hektare—dikelola turun-temurun—digusur dengan alat berat. Proses penggusuran bahkan terjadi pada dini hari, 17 Oktober 2022.
“Sawit sudah berumur produksi. Satu-satunya sumber pendapatan warga Desa Ambunu tiba-tiba dihancurkan oleh perusahaan yang hanya mengantongi izin lokasi tanpa amdal,” kata Ahmad, Ketua Badan Permusyawaran Desa (BPD) Ambunu, pada 17 Oktober 2022.
Konon penggusuran lahan itu terjadi setelah negosiasi antara BTIIG dan pemilik lahan berujung buntu. BTIIG disebut menawarkan uang Rp400 juta per hektare. Namun para pemilik lahan tak bergeming dari angka Rp1,5 miliar per hekatare.
“Karena tidak ketemu harga, akhirnya lahan kami digusur secara paksa,” kata Makmur, Ketua Kelompok Tani Petutuaia Mokora, pada 20 Oktober 2022.
Warga pun sempat melaporkan aksi penggusuran BTIIG atas dugaan perbuatan melanggar hukum ke Polres Morowali. Namun tiada kabar tentang kelanjutan perkaranya.
Pekerja dirumahkan
Sejumlah perusahaan kontraktor yang terlibat dalam proyek pembangunan kawasan BTIIG juga punya masalah--terutama dengan para pekerja.
Pada Maret 2023, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Morowali melakukan aksi massa yang menuntuk pihak perusahaan untuk memberikan hak kepada ratusan pekerja yang dirumahkan.
Tuntutan itu menyasar Indo Heavy Equipment (IHE), perusahaan kontraktor yang terlibat dalam proyek pembangunan kawasan BTIIG.
Mula-mula, IHE melakukan pengurangan jumlah pekerjaan. Alhasil, perusahaan subkontraktor, PT KWP turut terdampak dan harus menyesuaikan jumlah pekerja (operator alat berat).
PT KWP memang punya kontrak kerjasama dengan IHE. Dari kontrak tersebut, mereka bisa memperkerjakan 690 orang dengan status buruh harian lepas. Lantaran jumlah pekerjaan IHE berkurang, PT KWP juga ikut memangkas pekerjanya menjadi hanya 340 orang.
Pada awalnya telah tercapai kesepakatan antara FNPBI dan PT KWP. Antara lain, pekerja yang dirumahkan mendapat uang konsumsi Rp30 ribu per hari. PT KWP juga berjanji bakal berusaha mempekerjakan atau menyalurkan 450 pekerja yang semula akan dirumahkan.
Namun kesepakatan itu tak kunjung terealisasi. FNPBI mencoba membawa kasus ini ke tingkatan lebih tinggi, dan menambah tekanan dengan aksi massa. Namun alih-alih mendapat kesepakatan baru dari mediasi, yang terjadi justru pengambilan keputusan sepihak.
Sebuah draf pernyataan baru disodorkan perusahaan kepada para buruh. Rancangan pernyataan itu mendapat penolakan dari buruh. Alhasil kericuhan pun sempat terjadi. Belakangan, kasus tersebut juga seolah menguap.