Belum tuntas penyelesaian setumpuk masalah di perusahaan nikel Baoshou Taman Industry Investment Group (BTIIG) Morowali kurun waktu setahun terakhir, korporasi milik Ghao Jin Liang itu kembali menuai sorotan media massa.
Kali ini akibat kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang oknum petinggi perusahaan, Selasa (13/6/2023).
Oknum petinggi perusahaan berinisial MK itu diduga melakukan pelecehan seksual kepada dua orang karyawan perempuan inisial HB (19) dan YI (31). Kedua orang korban bekerja sebagai petugas satuan pengamanan (satpam) alias security. Sementara MK merupakan atasan langsung dengan jabatan manager security.
Dua orang korban ini mengaku bahwa kasus pelecehan seksual yang menimpa mereka sudah terjadi berulang kali. Alasan mereka enggan melapor ke pihak berwajib karena pengaruh relasi kuasa atasan-bawahan.
Dalam laporan Kepolisian Resor (Polres) Morowali nomor: STTLP/66/VI/2023/SPKT/Res Morowali/Polda Sulteng, HB membeberkan kronologi pelecehan seksual oleh oknum petinggi alias atasan langsungnya yang berinisial MK.
“Minggu 11 Juni 2023, sekitar pukul 11.00 WITA, pelapor (HB) ditelepon dan chat Whatsapp oleh terlapor untuk menemui terlapor di ruangannya. Saat di ruangan ada seorang perempuan saksi inisial W, tetapi disuruh keluar oleh terlapor (MK). Terlapor secara paksa mendekati, merayu, memangku duduk, dan meremas payudara milik pelapor (HB), meski sudah ditolak oleh terlapor (HB),” demikian bunyi petikan aduan korban sekaligus pelapor (HB), dalam laporan polisi di Bagian Unit (Banit) Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Morowali, Selasa (13/6).
Tak selesai sampai di situ, pelaku kembali melanjutkan aksi bejatnya dengan modus menyuruh korban (HB) menyetrika pakaian milik pelaku. Kemudian pelaku mendekap tubuh, meremas payudara, dan meraba kemaluan milik korban (HB) secara berulang kali hingga korban (HB) berteriak dan menangis.
Sebelum melakukan pelecehan seksual, pelaku sering kali memberi iming-iming akan membelikan berbagai pakaian kepada korban (HB), tetapi ditolak. Setelah peristiwa, pelaku pelecehan seksual itu bahkan dengan enteng meminta korban (HB) agar tidak melaporkan kepada siapa pun.
HB menuturkan bahwa sebelum peristiwa terakhir yang terjadi di Mess Folili, Desa Topogaro, dirinya sudah tiga kali mengalami pelecehan seksual kurun tiga pekan terakhir oleh MK. Menyadari statusnya sebagai bawahan MK, HB mengurungkan niatnya untuk buka suara ke publik.
Tak hanya korban HB, ternyata tindakan pelecehan seksual juga menimpa korban lainnya berinisial YI (31). Korban (YI) mengaku juga mengalami aksi tidak senonoh dari atasannya sejak beberapa bulan yang lalu.
“Pelecehan yang saya alami sejak Februari 2023. Aksi bejat MK kepada saya bahkan sudah lebih dari lima kali. Modus dan aksinya kurang lebih sama dengan yang dialami oleh HB,” terang YI (31).
Efek trauma yang HB (19) dan YI (31) rasakan tak menyurutkan niatnya untuk membuka suara ke publik. Keduanya meminta agar Polres Morowali menjerat hukum pelaku dan memohon pendampingan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Pemberdayaan, dan Perlindungan Perempuan dan Anak (DPMDP3A) Morowali.
Kapolres Morowali AKBP Suprianto membenarkan laporan kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum petinggi PT BTIIG.
"Kebenaran dugaan kasus pelecehan seksual ini akan diselidiki dengan segera melalui permintaan keterangan dari pihak pelapor, juga dukungan dari saksi, serta bukti lainnya. Termasuk mengambil CCTV yang terpasang di lokasi,” ujar Suprianto, Selasa (13/6).
Suprianto menekankan pihaknya akan berkerja profesional tanpa melihat latar belakang dari pihak terlapor maupun terlapor. Sudah menjadi komitmennya menegakkan hukum di Bumi Tepe Asa Moroso.
External Manager PT BTIIG Morowali Cipto Rustianto juga mengakui pihaknya akan bertindak kooperatif demi kalancaran proses hukum yang berjalan. "Jika kejadian ini sudah menjadi bahan pelaporan, kami akan mengikuti perkembangan kasus dan akan mematuhi proses hukum yang dibutuhkan dari PT BTIIG," tambah Cipto.
Relasi kuasa di balik pelecehan seksual di tempat kerja
Sebelum kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa HB (19) dan YI (31) dengan modus dibelikan berbagai barang oleh pelaku yang notabene merupakan atasan korban, publik tanah air sempat dihebohkan dengan pewartaan oknum bos perusahaan di Cikarang yang mengajak salah satu karyawati untuk staycation alias liburan menetap.
Karyawati berinisial AD itu lantas merasa tertekan, antara mengikuti keinginan Sang Bos dengan iming-iming perpajangan kontrak tetapi berisiko mengalami pelecehan seksual; atau menolak ajakan dengan konsekuensi tidak lanjut dipekerjakan.
Pelecehan seksual yang menimpa bawahan dengan modus kesejahteraan dari petinggi perusahaan sebenarnya ibarat fenomena gunung es. Hanya terlihat puncaknya saja yang tidak seberapa dibandingkan bagian bawahnya yang jauh lebih besar. Relasi kuasa yang membuat tidak semua korban berani buka mulut.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, grafik kasus dan korban kekerasan seksual di tempat kerja masih naik turun. Rinciannya; 389 kasus dengan 411 korban (2021), 324 kasus dengan 384 korban (2022), dan 123 kasus dengan 135 korban (Mei 2023).
Sementara, hasil survei Never Okay Project bersama International Labour Organization (ILO) periode 2020-2022 yang melibatkan 1.173 responden di Indonesia dan luar negeri, sebanyak 70,93% responden mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Sebanyak 69,35% korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan.
Bagaimana dengan bentuk kekerasan seksual yang dialami korban? Terdapat 89,51% responden pernah disentuh, dicium atau dipeluk tanpa persetujuan; 80,39% pernah mengalami perundungan/bullying.
Kemudian 80,39% mendapat kedipan dan gestur seksual; 79,37% mendapat makian, teriakan, juga olokan; 75,36% pernah mengalami dipukul, ditendang, dan ditampar; serta 73,49% mendapat perlakuan disebarkan rumor/gosip tidak benar secara daring.
Untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kerja, belum lama ini Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI Ida Fauziyah menerbitkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) 88/2023.
Ida menyebut bahwa regulasi ini dikeluarkan sebagai panduan bagi pengusaha, pekerja/buruh, instansi pemerintah, dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanganan seksual di tempat kerja. Pun karena jumlah kasus dan korban kekerasan di tempat kerja masih terbilang tinggi.
“Selain tingginya angka kasus dan korban, Kepmenaker 88/2023 ini diterbitkan untuk mensinkronkan dan menguatkan aturan sebelumnya agar pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja lebih optimal, serta dapat menjaga hubungan industrial yang harmonis dan produktif,” terang Ida Fauziyah mengutip siaran pers Biro Humas Kemnaker, Sabtu (10/6)
Lanjut Ida, ruang lingkup Kepmenaker 88/2023 ini adalah hal-hal terkait kekerasan seksual di tempat kerja; upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja; pengaduan, penanganan, pemulihan korban pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja; serta pembentukan, fungsi, dan tugas Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
Dalam Kepmenaker ini dijelaskan sembilan bentuk kekerasan seksual sebagaimana termaktub dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Adapun upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memasukkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, melaksanakan edukasi kepada para pihak di tempat kerja, meningkatkan kesadaran diri, menyediakan sarana dan prasarana kerja yang memadai, serta mempublikasikan gerakan anti kekerasan seksual di tempat kerja.
Sementara sanksi yang dapat diberikan perusahaan kepada pelaku tindak kekerasan seksual di tempat kerja dapat berupa surat peringatan, pemindahan atau penugasan ke divisi/bagian/unit kerja lain, mengurangi atau menghapus kewenangannya di perusahaan, pemberhentian sementara (skorsing), dan/atau pemutusan hubungan kerja (PHK).