Film Silat Tani untuk kali pertama dipertontonkan kepada khalayak ramai di Kota Palu. Acara nonton bareng (nobar) ini diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu di Perpustakaan Mini Nemu Buku, Jalan Tanjung Tururuka No. 27, Palu Timur (15/10/2022).
Orang-orang yang hadir menonton punya latar belakang beda-beda. Ada yang jurnalis, mahasiswa, aktivis lingkungan, aktivis agraria, dan beberapa pengunjung lain. Semua duduk melantai pada sebuah terpal yang digelar memanjang di halaman tempat parkir motor.
Penonton yang datang terlambat harus mengatur sendiri tempat duduknya di posisi paling belakang. Sebagian malah ada yang terpaksa berdiri lantaran hamparan terpal sudah terisi penuh. Pun kursi-kursi yang disediakan sebagai tambahan. Bila letih, mereka berpindah duduk di atas motor sehingga melewatkan beberapa adegan film.
Film berdurasi 70 menit ini merupakan produksi perdana Ekspedisi Indonesia Baru yang dimotori Dandhy Dwi Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Ryamizard Harobu.
Ekspedisi Indonesia Baru merupakan kolaborasi dua ekspedisi jurnalistik sebelumnya, yakni Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa (2009) dan Ekspedisi Indonesia Biru (2015). Kali ini melibatkan banyak kolaborator di luar media dan jurnalis. Mereka mengelilingi Indonesia bersepeda motor dengan misi mendokumentasikan masyarakat dan alam Indonesia dari berbagai aspek.
Seperti judulnya, Silat Tani mengambil titik fokus pada masalah-masalah petani yang ada di Jawa, mulai dari konflik dengan perusahaan hingga masalah mendasar yang dihadapi petani, semisal harga pupuk mahal dan jatuhnya harga komoditi.
Usai pemutaran film, acara berlanjut dengan sesi diskusi. Tiga pembicara utama mengawali dengan penyampaian masalah petani di lingkup Sulawesi Tengah (Sulteng).
Yesiah Ery Tamalagi, Staf Khusus Kementerian Pertanian, memberi komentar terhadap film sekaligus menyampaikan capaian-capaian negara dalam mengurusi pertanian.
Secara nasional, kata Ery, nilai tukar petani terus naik. Itu adalah bentuk kerja-kerja pemerintah yang membuahkan hasil. “Menurut saya, kenapa judulnya Silat Tani, karena mengurusi pertanian butuh banyak jurus dan banyak pertahanan,” kata Ery
Eva Bande menyampaikan data yang berkebalikan dengan pernyataan Ery. Basis argumentasinya menukil data Badan Pusat Statistik dan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng terhadap penyusutan lahan pertanian.
Berdasarkan catatan Walhi Sulteng luas area daratan di Sulteng kurang lebih 6,5 juta hektare. Dari luas itu, pemerintah pernah kasih izin buka tambang sekitar 1,8 juta hektare atau sekitar 39 persen.
Sementara izin untuk perkebunan lebih banyak dialokasikan untuk perkebunan sawit. Tercatat izin perkebunan sawit mencapai 772 ribu hektare atau 11,4 persen. Sederhananya lebih dari separuh daratan di Sulteng dikuasai oleh perusahaan.
Eva mempertanyakan peran pemerintah terhadap persoalan lahan tani yang berdasarkan data BPS terus mengalami penyusutan, termasuk di wilayah Sulteng.
Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat Doni Moidady senada dengan Eva. Tambahan yang disampaikannya dalam kesempatan tersebut menukik pada pelbagai persoalan yang dihadapi para petani di Sulteng.
“Contohnya saja pelaksanaan proyek IKN yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Pendapat petani kerap diabaikan,” ujarnya. Doni turut pula menanyakan pada Ery tentang Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulteng yang naik turun dalam setahun terakhir.
“Nilai Tukar Petani di Sulteng sudah naik dalam setahun terakhir. Kemarin yang sempat turun itu dikarenakan ada kenaikan harga pupuk dan komoditi yang ditanam petani sempat turun,” jawab Ery kalem.
Salah satu penonton dan peserta diskusi bernama Yeka Kusumajaya urun pula tampil memberikan pendapat.
Yeka mengaku sempat melakukan pendampingan terhadap petani agar beralih dari penggunaan pestisida menjadi organik.
“Masalah mendasar petani di Sulteng adalah kultur. Di kebanyakan tempat, petani dilakoni oleh pendatang. Penduduk asli cenderung menanam komoditi lain dan susah bersaing dengan pendatang. Sering kali juga penduduk asli ikut-ikutan menanam jenis tanaman yg sedang punya harga tinggi,” ujar Yeka.
Susahnya mengubah kultur warga lokal menjadi petani lantaran menganggap profesi itu belum memberikan gambaran masa depan yang cerah.
Ekspedisi Indonesia Baru Indonesia Baru Dhandy Laksono Farid Gaban silat tani Ery tamalagi Walhi Sulteng Walhi