Banyak daerah merasa dengan kekayaan sumber daya alam bisa langsung mensejahterakan masyarakat. Padahal, banyak kasus justru malah jadi daerah miskin.
Data yang dimiliki Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa saat ini terdapat sebanyak 7993 izin mineral dan pertambangan (Minerba) dengan luas 10.406.060 hektare.
Alhasil daya rusak yang panjang tak terpulihkan. Atas nama kemajuan ekonomi dan transisi energi, pembukaan lahan skala besar justru mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, terutama sekitar tapak proyek.
Hal tersebut menjadi refleksi pada perayaan Hari Anti Tambang (Hatam) 2024 yang bertemakan "Lawan Kolonialisme Industri Ekstraktif, Galang Kerjasama Lawan Rezim Ektraksi" di Jodjokodi Convention Centre (JCC), Jalan Moh. Yamin, Mantikulore, Minggu-Kamis (26-30/5/2024). Perayaan Hatam ini dilaksanakan saban tahun pada 29 Mei 2024.
Semburan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006, menjadi cikal bakal penetapan Hari Anti Tambang (Hatam) lima tahun kemudian. Tragedi tersebut menenggelamkan 1.143 hektare lahan di 19 desa dan memaksa 22.214 warganya mengungsi.
Jatam bersama beberapa organisasi lingkungan lainnya kemudian mengadakan Hatam sebagai peringatan nyata betapa industri ekstraktif bisa mengakibatkan bencana sosial ekologis.
Tak hanya terjadi di kasus Lumpur Lapindo, bencana sosial ekologis juga makin meluas di berbagai tempat, mulai dari permukiman warga, kawasan lindung-konservasi, hingga wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Model pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekstraksi mineral alias pertambangan, alih-alih bikin sejahtera warga malah justru memicu bencana sosial ekologis berkepanjangan, bahkan tidak dapat dipulihkan.
Sulawesi Tengah—daerah yang tersohor karena menjadi kawasan tambang nikel, timah, emas, pasir, dan batu—juga tak luput dari ancaman bencana sosial ekologis.
"Hatam adalah hari kita semua, warga yang sedang berhadap-hadapan dengan industri ekstraksi. Secara serentak di seluruh Indonesia mengangkat isu besar yang sama, yakni menggalang kekuatan melawan ekstraktivisme. Namun, di daerah lain akan menyesuaikan dengan konteks masalahnya," ujar Direktur Jatam Sulteng Moh. Taufiq kala ditemui Tutura.Id, Minggu (26/5) malam.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam penyelenggaraan Hatam 2024 ini mendesak pemerintah memulai langkah meninggalkan industri pertambangan sebagai tumpuan ekonomi negara.
Melihat dari sisi apa pun, tambang jelas lebih banyak menimbulkan kerugian dibanding keuntungan.
Dalam konteks Sulawesi Tengah, ramainya protes ihwal tambang Galian C di sepanjang pesisir Teluk Palu baru-baru ini hanyalah satu dari sekian banyak efek pengerukan sumber daya alam yang berlangsung secara masif.
Belum lagi bila melihat kecelakaan kerja yang acapkali dialami buruh. Pun bencana alam karena rusaknya ekosistem penyangga.
Watak pemburu cuan penguasa juga terlihat dari pemberian izin untuk menambang karst di Kabupaten Banggai Kepulauan. Padahal daratan wilayah tersebut terdiri dari 95 persen ekosistem karst, ratusan sungai yang menyokong kehidupan warga. Danau Paisupok yang kadung populer sebagai tempat wisata bakal terancam.
Lewat UU No 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU Cipta Kerja hingga aturan turunannya, pemerintah seolah memastikan keselamatan dan kenyamanan bisnis pertambangan dengan menyingkirkan kontrol publik dan mempermudah perizinan investasi pertambangan.
Tren dan pola tersebut menunjukkan secara benderang bagaimana watak bisnis pertambangan haus mengeruk laba.
"Kebijakan ekstraksi itu lancar karena kewenangan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi selalu dilihat dari seberapa banyak izin tambang beserta investasinya. Dan selama ini masyarakat dilihat sebagai objek, bukan subjek," lanjut Taufiq.
Momentum Hatam 2024 kali ini menampilkan karya dalam beragam format. Ada visual peta yang berisi lokasi pertambangan yang tersebar di seantero negeri. Juga audio-visual yang menampilkan gagahnya sebuah mobil listrik yang bahan baku utamanya berasal dari sebuah eksploitasi lingkungan.
Selanjutnya pameran karya foto esai tentang perlawanan dan dampak ekologis dari beberapa wilayah tambang yang dikuratori oleh Ricky Yudhistira, manajer multimedia dari Project Multatuli—media yang mengusung gagasan jurnalisme publik.
Beragam potret yang terpajang tersebut berasal dari karya sejumlah orang yang berasal dari beberapa organisasi lingkungan dan media, macam Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), Edora NTT, Project Multatuli, Yayasan Tanah Merdeka, Mongabay Indonesia, Jatam, Koalisi Petisi Palu Donggala, dan Ayunia Muis, seorang warga asal Sulawesi Tenggara.
Mereka memamerkan cerita lewat foto-fotonya, mulai dari kerusakan lingkungan, perlawanan masyarakat, gangguan kesehatan yang dirasakan oleh masyarakat, hingga kegiatan eksplorasi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Paling bikin pilu, esai foto tentang 27 anak yang meninggal di lubang-lubang tambang perusahaan batu bara di Kalimantan Timur.
Selain itu, juga hadir mural, ilustrasi, dan visual dari Tode Art (Palu), Afree (Jatam), Ryan Dwi Antoni (The Digital Labour), dan Jatam Kaltim. Karya-karya tersebut berisikan kritik terhadap negara dan harapan terjaganya kualitas lingkungan.
Pameran pada perayaan Hatam 2024 tak hanya memajang sudut pandang para fotografer, seniman, dan pelukis tentang dampak lingkungan yang ada, tapi menghadirkan kesaksian warga sekitar lokasi tambang dalam sesi diskusi dengan pemantik Melky Nahar (JATAM), Faisal Basri (INDEF), Andri Yunus (KontraS), dan Ananda Farah Lestari (SP Palu).
Tak ketinggalan Hatam 2024 menghadirkan pula sesi hiburan yang diisi oleh penampilan kelompok musik Tardigrada, Pedati, Culture Project, Muqarabin, Ipang Tobaraka, Uve Pemata, Seni Tamunggu, dan Kompos.
Selanjutnya penampilan teater dari Sanggar Kampoeng Cermin; pembacaan petisi oleh Sanggar Seni Panuntu Bersajak; dan penampilan teater dari Boneka Lielie.
Ada juga musikalisasi puisi oleh Komunitas Lalove Tana Modindi, Sanggar Seni Palakatoda, dan Pinevali. Sementara komika Teddy Lahinta hadir mengisi panggung dengan suguhan materi dalam bentuk stand-up comedy.
"Penting untuk menyuarakan perlawanan lewat seni. Proses-proses melawan itu, kan, tidak selalu dengan aksi (demo), tapi lewat karya dan panggung kesenian juga menyadarkan orang-orang bahwa ada kerusakan lingkungan dan efeknya seperti apa," ujar Taufiq.
Boleh dibilang ini semacam momentum mengirim pesan kepada khalayak luas tentang nestapa warga yang hidup di lingkar pertambangan. Tidak dianggap sebagai sang empu kawasan, selalu dipaksa menerima perubahan oleh para elite, bahkan mereka harus menerima nasib buruk kala bencana datang.
Hari Anti Tambang industri ekstraktif Jaringan Advokasi Tambang Jatam Sulteng Walhi Sulteng lingkungan ekonomi konservasi sosial ekologis Ibu Kota Nusantara tambang Galian C UU Minerba UU Cipta Kerja sumber daya alam