Simbol warna kuning dan maknanya dalam kebudayaan Kaili
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 3 Agustus 2023 - 18:08
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Simbol warna kuning dan maknanya dalam kebudayaan Kaili
Upacara adat balia jinja oleh masyarakat Suku Kaili. Tampak warna kuning mendominasi (Sumber: kemdikbud.go.id)

Warna kuning menjadi identik bagi Kota Palu. Ini terkait adat dan budaya Suku Kaili, penghuni asli yang mendiami Lembah Palu.

Penggunaan warna kuning dalam prosesi adat di siklus kehidupan suku Kaili mudah kita temukan. Mulai dari upacara adat menyambut kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, warna kuning kerap menjadi atribut pakaian dan aksesori.

Misalnya, dalam pernikahan adat Suku Kali. Pengantin perempuan akan menggunakan baju Nggembe dan pengantin laki-laki mengenakan baju Koje.

Kedua pakaian ini berwarna kuning dan dikombinasikan dengan aksesori lain berwana merah dan hitam. Meski ada juga baju pengantin yang menggunakan warna merah sepenuhnya dengan kombinasi hitam.

Selain baju pengantin, ada juga atribut pakaian simbol adat yang digunakan oleh masyarakat umum saat menghadiri prosesi tertentu. Misalnya, acara adat hingga festival kebudayaan di Kota Palu. Atribut pakaian ini adalah penutup kepala yang disebut siga dan sampolu.

Siga digunakan oleh lelaki, sementara selendang sampolu digunakan oleh perempuan. Baik siga maupun sampolu memiliki warna tertentu dan dipakai sesuai dengan status sosial dan peran mereka dalam masyarakat.

Melansir situsweb Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek RI, ada arti di balik warna siga. Warna kuning karena level paling tinggi hanya boleh digunakan oleh kalangan bangsawan dan raja mengingat 

Sementara warna biru menunjukkan strata sosial pemakainya yang memangku tugas sebagai gubernur, bupati, atau perangkat pemerintah lainnya. Terakhir warna merah dapat dipakai oleh siapa pun tanpa membedakan kelas sosial.

Warna kuning sebagai warna di tahta tertinggi dalam adat Kaili menjadi patron bagi warna landmark dan fasilitas publik di Kota Palu. Sebut saja Jembatan Palu IV yang berwarna kuning, patung seruling Lalove di Jembatan Lalove, hingga Tugu Nol Kilometer yang terinspirasi  filosofi Sambulu Gana.

Ada banyak mitos tentang bambu kuning yang menyebar di berbagai daerah, termasuk di Lembah Palu (Sumber: Alan Levine/pxhere)

Kisah seorang putri yang menyebul dari bambu kuning

Alasan mengapa kuning sangat lekat dengan Suku Kaili ternyata ada hubungannya dengan kecerdasan spiritual, terutama saat membaca isyarat alam. 

Penjelasan itu meluncur dari Ashar Yotomaruangi, tokoh budayawan, seniman, dan sejarawan di Palu yang kerap mengenakan siga berwarna kuning.

Pembina Lembah Kaili Bangkit ini mengatakan warna alam seperti hijau (pepohonan) dan biru (langit) kerap terlihat di sekitar. Namun, saat pagi hari menampakan bias kuning keemasan yang muncul hanya dalam hitungan menit. Itulah yang menjadikannya istimewa.  

"Saat matahari akan tenggelam di ufuk Barat, diawali warna kuning keemasan (simbol malaikat). Saat menjelang malam, dominan merah (lambang para jin). Oleh orang tua kita dulu, warna keemasan itu simbol saat malaikat pamit pergi dan warna keemasan itu simbol kebaikan," jelas Ashar saat ditemui Tutura.Id, Kamis (27/7/2023).

Olehnya warna kuning dianggap simbol kemuliaan. Warna kemuliaan ini menjadikan siga warna kuning di masa lampau kerap digunakan oleh para raja. Ashar menyebut warna kuning pertanda berpikir bijak dan penuh hikmah.

Hal senada juda diungkapkan Ince Mawar Lasasi Abdullah, mantan Ketua Dewan Kesenian Sulteng (DKST).

Seniman tari era 1960-an ini menyebut saking sakralnya, warna kuning hanya digunakan oleh raja. Tidak digunakan oleh todea alias masyarakat umum.

Pernah juga ia mendengar tutura alias cerita rakyat Kaili yang menyebar di masyakarat tentang awal mula warna kuning. Alkisah seorang Raja Palu melakukan perjalanan menuju hutan dan menebang valangguni (bambu kuning). "Dapatlah perempuan yang keluar dari bambu kuning itu," ungkap Ince saat ditemui di kediamannya, Minggu (31/7).

Makam Dato Karama, ulama penyebar agama Islam di Lembah Palu, yang berada di Kelurahan Lere (Sumber: Istimewa)

Era Penyebaran Islam

Haliadi Sadi, sejarawan dan akademisi Universitas Tadulako, mengakui bila warna kuning memang lekat dengan simbol kebudayaan Suku Kaili. Hal ini dipicu dari interaksi masyarakat Kaili dengan lingkungannya.

Terkhusus pemaknaan dan penggunaan valangguni oleh orang Kaili dalam upacara adat. Haliadi juga menyebut bahwa cerita rakyat kelahiran seorang perempuan dari bambu kuning tadi ikut memengaruhi pemikiran masyarakat Kaili. 

"Warna kuning ini biasa dipakai oleh orang tua kampung atau To tua no ngata. Keturunan To tua no ngata atau bangsawan itu selalu menggunakan warna kuning yang berasal dari perempuan dari bambu kuning ini. Jadi, kalau ada pesta, ada acara selalu menggunakan warna itu," jelas Haliadi. 

Kesakralan warna kuning yang dipercaya oleh orang Kaili ini bagai setali tiga uang dengan penyebaran Islam oleh Dato Karama alias Abdullah Raqie. Seorang mubalig Minangkabau yang membawa Islam pertama kali ke Lembah Palu sekitar abad ke-17.

Haliadi turut menuliskan dalam bukunya kesakralan simbol warna kuning ini juga merupakan pengaruh dari Islam yang dibawakan oleh Dato Karama.

Dalam buku bertajuk Sejarah Islam di Lembah Palu, Haliade menulis Dato Karama dan rombongannya masuk ke Tanah Kaili membawa serta alat-alat kebesarannya dari Minangkabau, salah satunya bendera kuning.

Haliadi menyebut, penyebaran Agama Islam oleh Dato Karama masuk melalui sistem dakwah yang damai. Yakni, dengan pendekatan budaya serta sistem kemasyarakatan telah ada dan tanpa paksaan. 

"Ketika Abdullah Raqie datang ke Tanah Kaili bukan hanya memperkenalkan agama Islam, tetapi budaya dari Minang. Kain kuning, merah, hitam, dan hijau. Dari situ penggunaan warna ini sudah mulai divariasikan," tambahnya.

Variasi warna itu mulai diimplementasikan dalam tata aturan dalam berpakaian secara adat. Warna kuning bagi  bangsawan, warna hitam bagi pakaian adat, warna hijau untuk pakaian agamawan atau para ilmuwan, dan warna merah dipakai para serdadu pemberani. 

Masyarakat Kaili pra-Islam sebenarnya telah mengimpelementasikan warna kuning dalam wujud adat Bulo. Bulo adalah semacam seperangkat adat yang disimpan oleh orang-orang tua terdahulu sebagai harta kekayaannya.

Maka, jelas Haliadi, terjalinlah kecocokan antara kepercayaan warna kuning yang sakral ini dari Tanah Kaili dengan budaya Minang yang di bawa oleh Dato Karama. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
5
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
1
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Balada petani garam Gen Z di tengah murahnya harga Garam Talise
Balada petani garam Gen Z di tengah murahnya harga Garam Talise
Kemarau berkepanjangan saat ini sejatinya surga bagi petani garam. Namun, kenyataannya justru berbeda. Harga jual…
TUTURA.ID - Bermula dari folklor, Uwentira jadi komodifikasi di ranah kultur populer
Bermula dari folklor, Uwentira jadi komodifikasi di ranah kultur populer
Eksistensi Uwentira dalam pandangan ilmu kebudayaan sebagai legenda urban dan bentuk-bentuk monetisasi terhadapnya. Tidak hanya…
TUTURA.ID - Festival Dade Reme Vula, upaya membangkitkan kembali tradisi perayaan saat bulan purnama
Festival Dade Reme Vula, upaya membangkitkan kembali tradisi perayaan saat bulan purnama
Dulunya orang Kaili kerap melakukan pesta rakyat saat Bulan Purnama tiba. Tradisi ini kembali dihidupkan…
TUTURA.ID - Garong penutup saluran air trotoar asyik beraksi
Garong penutup saluran air trotoar asyik beraksi
Penutup saluran air yang ada di sepanjang trotoar berulang kali jadi sasaran pencurian. Harus ada…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng