Senin siang (17/4/2023), di bawah terik matahari, belasan orang berjaga di akses masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kawatuna, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Mereka berteduh di bawah satu pohon rindang lengkap dengan kursi, dan kasur separuh rongsok yang siap dipakai untuk menyandarkan tubuh. Beberapa lelaki tampak berawas-awas dengan parang tergantung di pinggang.
Persis di depan mereka berteduh ada tumpukan kayu, ban bekas, dan karung pasir yang dipasang guna memblokir jalan menuju ke TPA Kawatuna. Saat kami bertandang ke lokasi tersebut, satu truk pengangkut sampah milik Pemkot Palu terpaksa putar balik. Warga melarang truk berkelir kuning itu buang sampah di TPA Kawatuna.
Pos darurat tempat warga berjaga itu sudah berdiri sejak Jumat (14/4/2023). Lelaki dan perempuan yang berkumpul di pos tersebut mengeklaim sebagai pemilik lahan di TPA Kawatuna. Mereka melempar protes dan menutup akses masuk ke TPA Kawatuna lantaran ganti rugi lahan yang tak kunjung terealisasi.
Ger Muller, perwakilan warga yang melakukan protes, menyampaikan bahwa penutupan akses ke TPA Kawatuna ini merupakan yang kedua kalinya.
Sebelumnya, aksi tutup jalan pernah berlangsung pada pengujung Maret 2023. Aksi itu meredup setelah Pemerintah Kota Palu melakukan negosiasi; termasuk mediasi di Rumah Jabatan Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid pada 1 April 2023.
Belakangan, warga kembali melakukan pemblokiran jalan lantaran Pemkot Palu dinilai tak menepati janji. "Akhirnya kami tutup lagi, karena Pak Wali (Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid) belum tepati janji pas ketemu di Rujab,” ujar Muller.
Muller menjelaskan bahwa ada 26 orang yang terdata sebagai pemilik lahan di TPA Kawatuna. Adapun total nilai ganti rugi lahan mencapai Rp10 miliar.
Masalah mulai muncul saat warga meminta uang muka atau panjar sebesar Rp5 miliar. Pemkot Palu hanya menyanggupi Rp3 miliar, dan belakangan baru bisa terealisasi sebesar Rp1 miliar. Situasi jadi kian rumit saat uang Rp1 miliar itu hanya terdistribusi kepada 17 pemilik lahan.
Muller plus delapan orang lainnya belum kebagian uang muka. Padahal, sebut Muller, sembilan orang yang kini menuntut haknya merupakan pemilik lahan di zona satu—wilayah lama TPA Kawatuna.
"Herannya beberapa orang yang punya tanah di luar kawasan TPA lama—yang mungkin pada tahap perencanaan perluasan—justru dapat pas pencairan kemarin (Rp1 miiar). Kita yang memang punya tanah di dalam kawasan ini tidak dapat,” keluh Muller.
Sekadar informasi, TPA Kawatuna selesai direvitalisasi pada Februari 2023. Proyek revitalisasi itu juga mencakup perluasan lahan, yang memang dibutuhkan bila mengingat volume sampah di Kota Palu telah melebihi kapasitas TPA Kawatuna. Revitalisasi ini merupakan hasil kerja sama Pemkot Palu dan United Nations Development Programme (UNDP)—sebagai bagian dari proyek pasca-bencana September 2018.
Adra, salah seorang pemilik lahan, juga melempar keluhan kepada Tutura.Id. Adra menyebut dirinya sebagai "orang awam" nyaris tak mau tahu lagi dengan proses yang terjadi. Ia mengaku sudah kenyang dengan janji Pemkot Palu.
"Bahkan sebenarnya hari ini kita dijanji juga. Kalau bicara yang sudah dikasih panjar, kami juga tidak tau bagaimana perhitungannya,” ujar Adra.
Pada hari yang sama saat Tutura.Id bertandang, warga mengaku sudah dapat janji untuk berjumpa dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, Mohamad Arif. Akan tetapi, saat berusaha berjumpa, para pemilik lahan ini malah “dipingpong ke sana ke mari.”
"Ini bukan cerita baru sebenarnya. Kalau mau ditarik ke belakang, sebelumnya juga ada (janji ganti rugi awal). Mulai dari Kadis (DLH Kota Palu), Sekdis, Kabid. Terakhir ada dari Pak Wali yang dijanjikan tanggal 11 April,” tutur Muller.
View this post on Instagram
Sampah menggunung jelang lebaran
Guna mendapat penjelasan ihwal perkara ini, Tutura.Id berusaha menghubungi Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, Mohamad Arif. Kami mengirimkan pesan WhatsApp dan berusaha untuk menelepon, tetapi tak mendapat balasan dari yang bersangkutan.
Adapun pemblokiran akses masuk TPA Kawatuna ini telah berimbas pada menumpuknya sampah di sejumlah titik. Tumpukan sampah, misalnya, bisa terlihat di Jalan Tangkasi Atas, Birobuli Selatan. Pemandangan serupa juga terjadi di Pasar Masomba, dan Jalan Pipit.
Gunungan sampah itu juga mulai menganggu kenyamanan warga. Dalam dua hari terakhir, keluhan soal pemandangan nan kotor serta bau busuk juga mulai terdengar lewat kanal-kanal media sosial.
Bila tak segera diatasi, situasi ini boleh jadi akan semakin memburuk. Lebih-lebih pada momen lebaran, saat aktivitas konsumsi warga sedang tinggi-tingginya, dan volume sampah bakal meningkat.
sampah kota palu Hadianto Rasyid wali kota palu wali kota tumpukan sampah tpa kawatuna kawatuna ganti rugi lahan lingkungan hidup