Kekayaan folklor Nusantara tak perlu diragukan. Keberagaman cerita itu hadir sebagai imbas budaya tutur alias lisan yang berkembang selama ini.
Cerita yang tersebar dan diwariskan turun temurun secara kolektif dalam sebuah wilayah ini terkadang sudah bercampur unsur legenda, mitos, dan mistik. Susah menjelaskannya dari kaca mata saintifik.
Ambil misal cerita tentang kota gaib yang ada di beberapa kota Indonesia. Orang-orang di Banjarmasin, misalnya, sebagian memercayai adanya kota gaib bernama Saranjana. Sama halnya di Ketapang, Kalimantan Barat, kota gaibnya bernama Padang 12.
Khusus bagi warga Kota Palu, dan Sulawesi Tengah secara umum, telah lama berkembang kisah tentang kota gaib bernama Uwentira—sebagian menulisnya Uventira dan Wentira. Dipercayai terletak di Kebun Kopi, sebuah kawasan yang berada di Jalan Poros Palu-Parigi, Kabupaten Donggala.
Buku Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978) menyebut kepercayaan terhadap Uwentira sebagai salah satu pusat kediaman makhluk halus sudah ada sejak berabad silam.
Kepercayaan terhadap mahluk gaib yang mendiami tempat atau lokasi tertentu ini, menurut buku Sejarah Islam di Lembah Palu (Q Media dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu, 2016), jadi salah satu faktor yang agak menghambat Dato Karama menyebarkan ajaran Islam di Lembah Kaili pada awal abad ke-17.
Lantaran sudah lama jadi subjek yang dikeramatkan, tidak sedikit pengendara, mulai dari sopir truk, bus, maupun mobil pribadi harus membunyikan klakson tiga kali, menyalakan lampu dim, atau menyalakan rokok saat hendak melewati sebuah tugu berkelir kuning bertuliskan “Ngata Uventira”. Tugu itu dipercayai sebagai gerbang masuk utama Uwentira.
Tindakan serupa minta permisi tadi dilakukan agar perjalanan menjadi lancar, terhindar dari gangguan mahluk gaib penghuni Wentira.
Dahulu sebelum tahun 2000-an, sebelum jalan poros ini diperlebar, kawasan Kebun Kopi kerap terjadi kecelakaan lalu lintas. Belum lagi tanah longsor. Alhasil kawasan pegunungan yang kiri kanannya ditumbuhi pepohan lebat dan jurang menganga ini terasa makin angker saja.
Hingga sekarang cerita-cerita mistik terkait Uwentira sebagai kota gaib masih awet bertahan. Misalnya lewat penuturan orang-orang yang mengaku punya indra keenam alias “mata tipis”.
Mereka menyebut Uwentira adalah kota nan megah yang bangunan-bangunannya berlapis emas. Waktu berjalan serba berbeda dengan kehidupan di dunia nyata.
Pernah ada yang mengaku tersesat di Uwentira dan berkeliling untuk waktu yang hanya sebentar. Namun, ketika dikembalikan lagi ke dimensi kenyataan, ternyata para anggota keluarga mengaku ia sudah hilang selama berminggu-minggu.
Orang atau penghuni Uwentira juga digambarkan berbeda dengan manusia pada umumnya. Mereka tidak memikuli philtrum, yakni lekukan di antara mulut dan hidung. Pun menggunakan pakaian serba kuning, yang kebetulan juga menjadi simbol warna khas Suku Kaili.
Uwentira dari sudut pandang keilmuan
Fakta bahwa di era sekarang yang orang sebut sebagai abad revolusi industri 4.0 masih ada yang memercayai kebenaran cerita tentang Uwentira, atau bahkan meyakini Kota Gaib Uwentira nyata adanya, menurut arkeolog Drs. Iksam Djorimi, M.Hum. merupakan hal yang lumrah dan sah-sah saja.
Kepercayaan orang terhadap Uwentira masuk dalam ranah pribadi dan merupakan pengalaman spiritual yang personal. Artinya, tidak bisa saling mencari benar atau salah atas keberadaannya.
“Sebab pengalaman spiritual setiap orang itu berbeda,” ucapnya saat Tutura.Id menemuinya di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah, Sabtu (24/6/2023).
Iksam yang lahir dan tumbuh besar dalam lingkup tradisi Suku Kaili mengaku sudah mendengar cerita tentang Uwentira sejak kecil. Banyak kisah terkait tempat itu sudah ia dengarkan.
Terpenting menurutnya adalah saling menghargai perbedaan atas ragam pemaknaan tersebut. “Saya percaya alam gaib itu ada, tapi sikap saya selama ini tidak melebih-lebihkan dan saya tidak melecehkan mereka. Jadi saling menghargai. Apalagi di Al-Qur'an ada surah Al-Jinn,” sambungnya.
Dia mengungkapkan dalam budaya Suku Kaili juga diajarkan untuk saling menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Penghuni Uwentira yang dianggap sebagai jin juga bisa dimaknai sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Iksam menyebut langgengnya folklor Uwentira sebagai kearifan lokal warisan nenek moyang bisa juga punya pemaknaan lain secara positif. Kita tahu kawasan Kebun Kopi yang notabene dipercayai sebagai lokasi Uwentira sejatinya berstatus hutan lindung.
Cerita-cerita mistis dan keramat seputar Uwentira bisa jadi dimaksudkan untuk menghindarkan hutan di Kebun Kopi dari segala aksi perusakan yang mengakibatkan bencana alam.
Maksud tadi sejalan dengan pemikiran William Bascom, seorang folklorist dan antropologis asal Amerika Serikat, yang membagi empat fungsi folklor, salah satunya sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
“Jangan merusak hutan. Kita jaga saja keasliannya supaya orang bisa berkebun. Jangan diekpolitasi dan jangan ditambang juga, nanti kalau dirusak malah jadi longsor,” pungkas Iksam.
Monetisasi dari kisah Uwentira
Keberagaman folklor di Nusantara merupakan berkah tersendiri bagi para storyteller, sineas, atau pebisnis di ranah hiburan di negeri ini. Ada banyak sumber yang bisa jadi inspirasi cerita dan usaha.
Tahun lalu, Rumah Hantu Indonesia yang berbasis di Yogyakarta bersama JKTGO, media advertising asal Jakarta, bahkan menghasilkan pundi-pundi rupiah dengan membuka wahana Rumah Hantu Uwentira selama dua pekan di Palu Grand Mall, Jalan Diponegoro, Kelurahan Lere, Palu Barat.
Selembar tiket untuk merasakan wahana uji nyali ini harus ditebus seharga Rp25 ribu (saat hari kerja) dan Rp35 ribu (untuk akhir pekan).
PT Celebest Film Production yang selama ini telah merilis beberapa film panjang akhirnya juga mengadaptasi topik cerita serupa. Maka hadirlah film Uwentira.
Film horor yang diperankan, disutradarai, dan diproduseri Nur Afni Eka Muslim tayang perdana di XXI Palu Grand Palu pada 30 Juni 2023.
Menurut Dr. H. Suaib Djafar, selaku Dewan Pakar Majelis Adat di Sulawesi Tengah sekaligus eksekutif produser, film Uwentira tak sekadar ingin mengeksploitasi kegaiban tempat tersebut yang sudah melegenda.
“Jadi film ini juga sekaligus mempromosikan keindahan pariwisata yang ada di Sulawesi Tengah. Makanya ada pengambilan gambar di Pantai Bambarano, Danau Tambing, ada juga yang di wisata yang di Poso dan Luwuk,” pungkas mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng ini kepada Tutura.Id, Jumat (21/6).
folklor legenda urban kearifan lokal Uwentira mistis gaib Kebun Kopi Suku Kaili film sineas wahana rumah hantu kultur populer pop culture hutan lindung