“Saya pernah dipukul, diludahi, dijambak sama pasien. Marah, tapi tidak dendam,” ujar Mulyani, perawat pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Madani Sulawesi Tengah.
Bukan gampang harus meminta keterangan Mulyani. Harus melewati berbagai prosedur administratif agar mengantongi surat izin.
Setelah itu barulah kami bisa menyambangi fasilitas pelayanan kesehatan yang oleh sebagian masyarakat Palu lebih mengenalnya dengan sebutan Rumah Sakit Jiwa Mamboro, Kamis (11/5/2023) siang.
RSUD yang menjadi rujukan untuk kesehatan jiwa di Provinsi Sulteng ini masuk dalam tipe C. Lokasinya sekira 13 kilometer sebelah utara Kota Palu dengan menempati areal sekitar 92 ribu meter persegi.
Merujuk data Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinkes Prov. Sulteng Tahun 2021, jumlah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) kategori berat alias skizofrenia sebanyak 6.553 orang.
Paling banyak tersebar di Parigi Moutong dengan 1.059 orang, kemudian Palu (840 orang), Banggai (810), Donggala (644), dan Poso (556).
Departemen Kesehatan mendefinisikan gangguan kejiwaan adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa sehingga dapat menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.
Beberapa penyebabnya, antara lain faktor biologi yang meliputi otak, sistem endokrin, genetik, sensori, dan faktor psikologis.
Ada lagi Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yakni orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, serta kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa.
Saat tiba di lokasi, kami diminta duduk sejenak dalam ruang tunggu. Sebuah ruangan yang di dalamnya terpajang berbagai kerajinan tangan hasil karya para pasien, semisal gelang dan piring anyaman terbuat dari rotan. Harga jualnya bervariasi mulai Rp5.000-an hingga Rp35 ribu per buah.
Berselang tak lama, Mulyani datang menemui kami. Turut pula hadir kemudian Zulfa yang juga seorang perawat.
“Saya tugas dari 2003. Tapi saya hanya tiga tahun di perawatan jiwa. Setelah itu saya bertugas di perawatan umum sampai hari ini,” ungkap Zulfa membuka percakapan. Ia merupakan alumni Akademi Keperawatan Kemenkes Tidung, Makassar.
“Awalnya dari SPK, kemudian masuk D3 Keperawatan. Terus lebih spesifik lagi ambil keperawatan jiwa,” jelas Zulfa mengingat masa lalunya.
Keputusan memilih jadi perawat untuk pasien yang mengalami gangguan kejiwaan bukan tanpa alasan. Pasalnya kala itu peluang yang tersedia bagi perawat kejiwaan lebih terbuka lebar.
Mulyani sedikit berbeda. Sejak pertama jadi perawat pada 2006 hingga sekarang ia masih ditempatkan untuk merawat pasien ODGJ.
Awalnya ia hanya ditugaskan menjadi perawat jiwa di RSUD Madani merujuk Surat Keputusan Pengangkatan PNS-nya.
“Kalau saya awalnya karena penugasan. Waktu masih honor saya tidak di sini sebenarnya. Saya di Dinas Kesehatan Provinsi. Setelah SK terbit, baru saya ditugaskan di sini sebagai perawat jiwa,” ungkap Mulyani.
Meski tak memiliki latar belakang sebagai perawat kejiwaan, Mulyani lambat laun mengaku mencintai pekerjaannya.
“Ternyata yang saya dapatkan jadi perawat jiwa itu unik. Beda dengan perawat umum. Makanya hati saya terdorong jadi perawat jiwa,” tambah Mulyani dengan nada bicara riang.
Fase awal jadi perawat, keduanya mengaku tugas ini gampang-gampang susah karena masih dalam tahap adaptasi. Beriring perjalanan tahun, ternyata menjadi perawat pasien dengan gangguan kejiwaan bukan sesuatu yang menyulitkan.
Malahan sikap empati dan simpati berkecambah makin besar seiring tugas, bukan hanya karena merawat pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, tapi juga keluarga pasien yang setia mendampingi.
“Kalau kita bekerja dengan senang hati dan enjoy, tidak ada susahnya,” sambung Mulyani yang diakhiri tawa oleh keduanya.
Tugas menjadi perawat pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, seperti dituturkan Mulyani, punya beberapa perbedaan dibandingkan perawat umumnya.
Berbagai macam tingkah polah pasien yang harus mereka hadapi dengan kesabaran tinggi tinggi dan pemakluman. Semisal ada pasien yang kerap bikin gaduh lantaran gelisah dengan ukuran badannya yang lebih besar dibanding perawat.
Agar pasien bersangkutan tidak mencederai dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya, mereka harus menerapkan fiksasi (diikat di atas tempat tidur). Prosesnya tentu tak semudah bayangan awam.
Butuh mengerahkan ekstra tenaga jika cara persuasif gagal. “Kita ini perempuan, tapi harus bertenaga laki-laki,” kata Mulyani berderai tawa.
Pun demikian, tak ada perasaan lelah melakoni pekerjaan tersebut. Bagi mereka justru sebuah kebanggaan bisa membantu pasien kembali tenang.
“Selama fiksasi, kami harus memantau kondisi pasien. Kasih makan, minum, dan pendekatan agar pasien bisa paham,” cepat Zulfa meneruskan.
Kelar berbincang, Tutura.Id diajak mengunjungi ruangan pasien gangguan kejiwaan. Ruang Sawo jadi destinasi pertama. Terdengar suara pasien melantukan ayat-ayat Al-Quran dengan volume suara keras.
Saat kaki melangkah masuk, tampak pasien terbagi dalam beberapa ruangan yang masing-masing dipasangi penyekat. Ruangan ini wabilkhusus untuk menempatkan pasien yang baru dirujuk ke RSUD Madani Sulteng.
Kedatangan kami disambut dengan baik oleh beberapa pasien. Bagi beberapa pasien, mereka masih bisa melakukan interaksi dengan lancar. Semisal menanyakan kabar dan berjabatan tangan. Namun, ada juga pasien yang tak memberikan respons. Hanya diam atau berbicara melantur.
Tur berlanjut ke Ruang Salak, tempat untuk pasien yang emosinya sudah stabil dan cenderung lebih tenang. Mereka bisa diajak berkomunikasi secara lancar. Pun lebih tenang perangainya. Ruangan di sini terbagi menjadi dua.
Destinasi terakhir menyambangi Ruang Anggur. Hunian bagi pasien yang mengidap gangguan kejiwaan dan fisik. Dalam ruangan ini, keluarga pasien diperbolehkan mendampingi selama proses pengobatan.
Sebelum pamit undur, Mulyani menitipkan pesan kepada keluarga pasien ODGJ agar tak putus harapan dan semangat. “Pasien gangguan kejiwaan itu bisa hidup normal kalau selalu diberi obat. Jangan dianggap aib. Untuk perawat tetap semangat,” pungkasnya.
kesehatan Orang Dengan Gangguan Jiwa Orang Dengan Masalah Kejiwaan skizofrenia perawat pasien Dinas Kesehatan RSUD Madani Sulteng