Tambang nikel skala besar belum bikin warga Sulteng sejahtera
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 5 November 2022 - 15:09
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Tambang nikel skala besar belum bikin warga Sulteng sejahtera
Proses pemuatan biji nikel ke tongkang di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. (Foto: Rafiq Pramudya/Shutterstock)

Investasi tambang nikel di Sulawesi Tengah belum mampu membawa kesejahteraan secara menyeluruh. 

Morowali, area nikel kesohor di Sulteng, misalnya, punya persentase kemiskinan 13,75 persen. Meski dikelilingi industri padat modal, Morowali justru tercatat sebagai daerah dengan tingkat pengangguran terbuka nomor dua tertinggi di Sulteng, yakni mencapai 5,08 persen. Demikian termuat dalam Sulteng dalam Angka 2022.

Kontribusi tambang nikel pada kesejahteraan warga jadi salah satu pokok pembahasan dalam diskusi “Politik Lokal Industri Nikel” yang berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako, Kamis (3/10) sore.

Kegiatan ini dilaksakan oleh Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik (HIMAP), Fisip, Untad. Hadir sebagai pembicara Richard Labiro, Dosen Untad, dan Mohammad Taufik, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah.

Taufik menyebut bahwa regulasi yang tersedia saat ini belum menguntungkan daerah. Pasalnya, selama ini pajak dan royalti dari perusahaan tambang masuk ke kas negara lewat pemerintah pusat. Setelahnya baru dibagikan ke pemerintah daerah.

Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) nomor 3/2020 sudah atur porsi pembagiannya, misal, dalam Pasal 129 yang mengatur khusus Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Disebutkan bahwa pemegang IUPK perlu bayar 4 persen keuntungan kepada pemerintah pusat. Adapun daerah dapat 6 persen. Sepintas besar, tapi harus dibagi-bagi sebagai berikut: 1,5 persen untuk provinsi, 2,5 persen untuk kabupaten atau kota penghasil; 2 persen dibagi ke daerah tingkat dua lain di provinsi yang sama. 

Mekanisme macam ini dianggap kurang menguntungkan daerah. Taufik bilang dibutuhkan kehadiran regulasi agar pemerintah bisa turut serta dalam usaha pertambangan.

“Saat ini semua sudah telanjur. Kita butuh dorong regulasi agar negara, dalam hal ini BUMD atau BUMN, bisa turut serta dapat keuntungan lebih banyak,” katanya.

Sekadar tambahan informasi, mari lihat setoran Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kepada kas negara. Merujuk keterangan CEO PT IMIP, Alexander Barus, perusahaannya telah menyetor belasan triliun rupiah ke kas negara selama beberapa tahun terakhir.

“Undang-undang menyatakan bahwa seluruh pajak dan royalti harus disetor ke kas negara,” kata Alex Barus, dilansir Media Alkhairat, ”Andai ada aturan yang membolehkan dan mengharuskan kami menyetor royalti dan pajak langsung ke kas Pemerintah Daerah Morowali, maka itu akan kami lakukan.”

Politik lokal

Seperti tajuknya, diskusi “Politik Lokal Tambang Nikel” ini juga mengemukakan diskursus perihal relasi antara perusahaan tambang dengan para politisi lokal. 

Menurut Taufik, hingga saat ini Undang-Undang Pemilihan Umum hingga Pemilihan Kepala Daerah menyediakan ruang pada pihak swasta untuk mendanai calon kepala daerah. Secara redaksional, sumbangan pihak lain atau swasta itu memang disebutkan "tak mengikat." Namun politik balas jasa bisa jadi kental di dalamnya. 

Di sisi lain, protes warga atau pegiat lingkungan berkenaan aktivitas pertambangan justru bisa berujung bui. Misalnya bila melakukan protes atau demosntrasi.

“Masyarakat bisa kena pasal bila dianggap menghalang-halangi aktivitas tambang. Poin kritik saya ialah kita perlu perubahan regulasi yang lebih berpihak kepada masyarakat,” ujar Taufik.

Aturan ini termuat Undang-Undang Minerba. Pasal 162 dalam beleid itu melarang aktivitas “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan.” Bila dilakukan ada ancaman pidana setahun penjara atau denda maksimal Rp100 juta.

Tafsir atas frasa “merintangi atau mengganggu” sering disebut sebagai “pasal karet” oleh para pegiat isu lingkungan.

Padahal kerusakan lingkungan menjadi salah satu masalah serius di daerah sekitar tambang. Richard Labiro, akademisi Untad, menyebut bahwa aktivitas pertambangan telah memicu terjadinya banyak bencana di Sulteng--terutama banjir dan longsor lantaran hilangnya area hutan. 

“Bila kita melihat lebih jauh tentang bencana alam, mungkin kita akan menemukan bahwa bencana itu terjadi karena buatan manusia (perusahaan),” ujarnya. 

Ihwal kerusakan lingkungan, pada 19 Oktober 2022, Nikkei Asia menulis laporan panjang yang memuat dampak dari aktivitas IMIP di Morowali. Salah satunya tentang nasib para nelayan yang kesulitan dapat tangkapan lantaran laut yang tercemar.

Itu belum mengitung dampak sehari-hari, “Debu dari batu bara (pembangkit listrik milik perusahaan) menyebabkan iritasi mata, batuk, sesak napas,” kata Sirajudin, salah seorang nelayan.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
5
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
2
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Rekap bencana di Sulteng akibat cuaca ekstrem sepekan terakhir
Rekap bencana di Sulteng akibat cuaca ekstrem sepekan terakhir
Lima  bencana alam terjadi dalam sepekan terakhir di  Sulawesi Tengah. Bencana ini terkait cuaca ekstrem,…
TUTURA.ID - Menyoal klaim cuan fantastis dan praktik hilirisasi nikel di Indonesia
Menyoal klaim cuan fantastis dan praktik hilirisasi nikel di Indonesia
Pakar ekonomi politik Faisal Basri menyebut kebijakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan Tiongkok, bukannya Indonesia.
TUTURA.ID - Bela lingkungan seharga nyawa; bayang-bayang kekerasan terhadap aktivis
Bela lingkungan seharga nyawa; bayang-bayang kekerasan terhadap aktivis
WALHI Sulteng mencatat ada delapan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap…
TUTURA.ID - Menilik kontribusi Hengjaya Mineralindo di Morowali
Menilik kontribusi Hengjaya Mineralindo di Morowali
Perusahaan berusaha menepis stigma aktivitas pertambangan nikel yang kerap menepikan warga lokal dan keselamatan para…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng