
Lima lembaga nonpemerintah alias non government organization (NGO) di Sulteng berkoalisi di bawah nama Fraksi Bersih-Bersih Sulawesi Tengah. Koalisi ini menggelar konferensi pers untuk menyuarakan tuntutan mereka di Sektretariat Yayasan Tanah Merdeka pada Rabu (8/5/2023).
Mereka adalah Yayasan Tanah Merdeka, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Daerah Sulawesi Tengah, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), dan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morowali Utara (PPMMU).
Dalam pertemuan itu, Fraksi Bersih-Bersih Sulawesi Tengah mengungkapkan tuntutan mereka agar perusahaan tambang nikel di Morowali Utara tidak menggunakan PLTU sebagai sumber listrik. Alasannya, karena batu bara yang menjadi bahan dasar pengoperasian PLTU merupakan energi kotor.
Olehnya, koalisi meminta agar PLTU digantikan dengan unit pembangkit listrik lainnya yang menggunakan energi terbarukan. Model gerakan yang menyerukan transisi energi ini kerap pula disebut sebagai “Transisi Hijau.”
Pertimbangkan dampak
Mengapa harus transisi hijau? Kepala Departemen Program Walhi Sulteng, Yusman mengatakan bahwa penggunaan batu bara dalam pengoperasian PLTU dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi kesehatan manusia di sekitarnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh aktivis Sulteng, Arianto Sangadji, di Puskesmas Bahodopi pada 2018, ditemukan sebanyak 2.522 orang dari total 4.892 orang koresponden mengidap Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
Kondisi macam ini bisa terjadi lantaran udara kotor yang dihasilkan dari asap pembakaran batu bara untuk smelter, maupun untuk kebutuhan listrik (PLTU) oleh beberapa perusahaan nikel yang ada di Morowali dan Morowali Utara.
“Kita bukan menolak tambang sebenarnya. Tapi dalam proses pengerjaannya harus bersih, saling menguntungkan serta adil. Tidak boleh ada dampak buruk ke ekologi dan manusia,” jelas pria yang akrab disapa Umam ini.
Atas pertimbangan keamanan bagi kesehatan masyarakat sekitar tambang, Direktur Jatam Sulteng, Taufik, mengatakan bahwa diperlukan perubahan regulasi dari pemerintah. Perpres No 112 Tahun 2022 yang dianggap jadi pemicu permasalahan ini.
Menurutnya, penggunaan pembangkit listrik tenaga air atau tenaga surya berpotensi lebih ramah lingkungan dalam praktiknya. Namun, perusahaan harus merogoh kantong lebih dalam, sebab biaya yang lebih mahal ketimbang penggunaan batu bara sebagai bahan dasar pembangkit listrik.
“PLTA (tenaga air, red) atau PLTS (tenaga surya, red) itu menggunakan biaya yang cukup besar, sehingga kemungkinannya investor yang akan datang ke Indonesia tidak mungkin ambil cara itu,” ungkap Taufik.

Organisir elemen masyarakat
Salah satu strategi yang dilakukan oleh Fraksi Bersih-Bersih Sulawesi Tengah dalam “Transisi Hijau” ini adalah mengorganisir berbagai elemen masyarakat. Utamanya mereka yang hidup di sekitar tambang dan berisiko tinggi terdampak dari pengoperasian PLTU.
Harapannya masyarakat bisa bergerak, sehingga dapat menekan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang penggunaan PLTU. Pun halnya dengan pihak investor tambang agar mau mengganti penggunaan energi fosil menjadi energi yang ramah lingkungan.
“Harapannya bisa terus mendorong hingga ditemukan alternatif, yang kemudian dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah untuk memikirkan energi fosil ini,” tambah Kepala Departemen Program Walhi Sulteng, Yusman.
Selain itu mengorganisir masyarakat dalam aspek advokasi kebijakan, edukasi terkait dampak penggunaan batu bara sebagai enegri kotor akan terus dilakukan. Hal ini penting karena masyarakat sekitar berhak tahu ancaman kesehatan yang akan diidap bila hidup di sekitar PLTU.
“Masyarakat akan diorganisir, diperkuat pemahamannya sehingga bisa mengambil sikap,” tutupnya.
Yayasan Tanah Merdeka YTM Walhi Sulteng lingkungan batu bara transisi energi energi nikel morowali morowali utara transisi hijau

