
Persoalan stunting di Kota Palu kembali menuai sorotan. Hal itu terungkap dalam acara bakti sosial “Peduli Stunting” yang digelar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Palu di Balai Pertemuan Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Mantikulore, Palu (21/5/2023).
Alasan memilih Layana Indah lantaran prevalensi stunting di wilayah itu berturut-turut naik sepanjang 2021-2023. Angkanya pun cukup signifikan.
Sekadar pengingat, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1000 hari pertama kehidupan—270 hari semasa hamil dan 730 hari pertama bayi setelah lahir. Sedangkan prevalensi stunting merupakan jumlah keseluruhan kasus stunting yang terjadi di sebuah daerah dalam kurun waktu tertentu.
Namun, bila melihat dengan skala yang lebih luas, sedikitnya terdapat 13 kelurahan di Kota Palu mengalami kenaikan prevalensi stunting dalam dua tahun terakhir. Itu merujuk data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPBGM).
Statistik E-PPGBM bersumber dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Palu yang menampilkan 15 kelurahan dengan angka prevalensi stunting tertinggi antara 2022-2023.
Pada tahun 2022, 15 kelurahan yang memiliki nilai stunting tertinggi di Kota Palu, yaitu Taipa (24,71), Mamboro Barat (20,22), Pantoloan Boya (17,77), Mamboro (14,25), dan Layana Indah (13,1).
Lalu berikutnya ada Pengawu (11,13), Tavanjuka (10,23), Talise (9,9), Kamonji (8,61), Tondo (7,92), Watusampu (7,49), Lolu Selatan (7,14), Besusu Barat (7,08), Petobo (6,71), dan Baiya (6,06).
Sedangkan pada tahun 2023 tercatat 13 kelurahan yang mengalami persentase kenaikan stunting, mulai dari Nunu (31,37), Tavanjuka (28,81), Pantoloan Boya (25), Pantoloan (16,1), Layana Indah (15,62), Pengawu (14,71), Baiya (13,24), Balaroa (11,08 persen), Petobo (10,63), Talise Valangguni (9,62), Kamonji (9,47), Watusampu (8,94), dan Donggala Kodi (8,91).
Berdasarkan perbandingan statistik di atas, tampak tren peningkatan stunting yang cukup mengejutkan.
Hanya dalam periode kurang dari enam bulan saja, prevalensi stunting sudah berkisar antara 8,91-31,37 persen, dibanding kurun setahun sebelumnya yang berkisar 6,06-24,71 persen. Artinya, setiap bulan prevalensi stunting meningkat berkisar 2,22-7,84 persen.
Bila ditelisik lagi, selama kurun waktu kurang dari setahun lima bulan, ada dua kelurahan yang nilai stunting-nya menanjak lebih dari 15 persen, yakni Tavanjuka (18,81%) dan Nunu (31,37%). Sebelumnya, kelurahan yang berada di seberang bagian barat Jembatan Lalove ini bahkan tidak masuk dalam 15 besar kelurahan dengan nilai stunting tertinggi.
Meski begitu, terdapat tujuh kelurahan yang berhasil menekan prevalensi stunting dengan baik. Lima kelurahan itu adalah Mamboro, Tondo, Talise, Besusu Barat, dan Lolu Selatan. Wilayah yang membentang sepanjang pesisir Teluk Palu ini bahkan berhasil keluar dari daftar 15 besar.
Sementara dua kelurahan lainnya, Taipa dan Mamboro Barat, berhasil turun dari posisi dua teratas dengan nilai prevalensi stunting masing-masing 12,92 dan 9,62 persen.
Tren lainnya yang kelihatan adalah persoalan stunting ini bahkan tersebar merata di delapan kecamatan per tahun 2022. Sedangkan pada 2023 hanya Palu Timur yang tidak masuk dalam daftar stunting terbanyak di Kota Palu.

Menerka penyebab stunting di Kota Palu
Wakil Wali Kota Palu Reny Arniwaty Lamadjido saat bersua Tutura.Id di kediamannya, Selasa (23/5/2023), membeberkan sejumlah indikasi penyebab kasus stunting di Kota Palu.
“Secara kasat mata, bayi atau balita yang mengalami stunting berasal dari pasangan yang melakukan pernikahan dini,” ungkap Dokter Reny, sapaan karibnya.
Menurutnya ada keterkaitan antara kondisi gizi kronis yang dialami oleh anak dengan perilaku orang tuanya.
”Biasanya itu masyarakat kita, ketika pasangan suami istri (pasutri) baru, diminta agar supaya punya anak cepat. Padahal ketika memutuskan untuk hamil, maka asupan nutrisi sang ibu harus cukup. Salah satunya dengan membuktikan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar lengan atas (LILA),” jelas Dokter Reny.
Indikasi lain mengapa kasus stunting masih terjadi erat kaitannya dengan salah kaprahnya pemberian asupan nutrisi kepada buah hati. ”Pernah kami temukan, anaknya stunting tapi hanya dikasih minum air gula, bukannya susu formula dan makanan tambahan,” tuturnya.
Mantan kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulteng ini juga menyebut jika kasus stunting dipengaruhi karena kurangnya motivasi orang tua mengantar bayi dan balitanya di pos pelayanan terpadu (posyandu).
Namun, menurut Dokter Reny meski kondisi stunting di Kota Palu sepanjang 2021-2022 cenderung naik, tetapi sebenarnya pada data riil lapangan angkanya jauh di bawah harapan nasional, yakni 10 persen.
"Kalo pakai E-PPGBM, Palu itu angkanya 7 persen, beda dengan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) sebesar 24,7 persen. E-PPGBM hitungannya per bulan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas, sementara SSGI per tahun dan menggunakan sampel per kelurahan. Makanya, kami berjuang agar E-PPGBM yang dipakai," pungkas dr. Reny.
Untuk menyiasati beberapa masalah di atas, Pemkot Palu menggandeng Kementerian Agama (Kemenag) untuk memberikan edukasi kepada calon pasutri baru. Ia juga meminta agar calon pasutri ketika menikah, agar menunda kehamilan bila status gizinya belum proporsional.
Selain itu, kader posyandu di puskesmas jadi garda terdepan melakukan antisipasi pelayanan terhadap ibu hamil yang terindikasi mengalami anemia (kekurangan darah) dan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Salah satu programnya dengan memberikan tablet penambah darah dan pemberian makanan tambahan (PMT).
Pemkot Palu juga menggelontorkan anggaran stimulus dengan nama paket Palu Maseha sebanyak Rp300 juta (2022) dan Rp432 juta (2023). Ada pula bantuan anggaran Rp138,9 juta yang bersumber dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Bantuan tersebut dalam rangka mendukung program penurunan stunting. Sasarannya balita berusia 0-59 bulan yang berjumlah 16.828 orang di Kota Palu.
Ada pula forum koordinasi percepatan penurunan stunting (FKPPS) yang beranggotakan organisasi perangkat daerah lintas sektor. Program lain yang juga sedang giat dilaksanakan adalah mangande bau (giat memakan daging ikan) di aras keluarga.
Lalu inovasi nosialapale atau kerjasama saling bergandengan tangan antar organisasi perangkat daerah untuk mendukung pemenuhan pangan dan infrastruktur yang berkaitan dengan pencegahan stunting.

