Tiga maleo dewasa tengah berkeliaran dalam sebuah penangkaran yang beralaskan tanah berpasir. Empat individu dewasa lainnya sedang bertengker dan bersiap tidur pada ranting-ranting pohon.
Tujuh maleo kecil terlihat mengerubung dan merapatkan tubuh satu sama lain. Konon bayi-bayi maleo itu sengaja berkumpul untuk menghangatkan dirinya. Itulah suasana pada Kamis sore, 8 Juni 2023, di satu pusat konservasi maleo, Jalan Bente II, Kelurahan Tavanjuka, Kecamatan Palu Selatan.
Maleo merupakan fauna endemik yang hidup di dataran rendah Sulawesi. Nama latinnya Macrocephalon maleo. Konon istilah itu merujuk pada kepalanya yang besar nan menonjol.
Sebagai catatan, IUCN Red List mencatat status maleo sebagai “Critically Endangered” (terancam punah). Inventori status konservasi dan risiko kepunahan spesies biologis itu menyebut tren populasi maleo dewasa tengah mengalami penurunan drastis; betapa pun masih tersisa sedikitnya 8.000 individu di alam lepas.
Adapun pusat konservasi maleo yang kami singgahi berdiri di atas halaman rumah milik Mobius Tanari, seorang dosen Fakultas Pertenakan dan Perikanan, Universitas Tadulako.
Hampir dua puluh tahun sudah Mobius menyeriusi minatnya untuk meneliti maleo. Ia kian jatuh cinta saat menjalani studi doktoralnya di Institut Pertanian Bogor.
Pria berusia 56 tahun itu juga menyelesaikan disertasi doktoralnya yang berjudul ”Karakterisasi Habitat, Morfologi dan Genetik, serta Pengembangan Teknologi Penetasan Ex Situ Burung Maleo” pada 2007.
Seperti ayam, tapi liar
"Ada gambaran bahwa Maleo bisa dipelihara sama seperti Ayam,” ujar Mobius, saat mengobrol dengan Tutura.Id di pusat konservasi miliknya pada Kamis sore (8/6/23).
Sepintas memang maleo punya perilaku seperti ayam. Ia terkesan tak suka terbang, dan lebih sering jalan kaki. Hobinya bermain dengan menggali gundukan pasir. Pakanannya pun agak mirip dengan ayam, yakni biji-bijian, buah, dan sejenis serangga kecil.
Namun urusan pengembangbiakan maleo sama sekali tak mudah seperti ayam. Pasalnya, maleo hanya bertelur di kawasan yang memiliki sumber geothermal panas bumi yang cukup— seperti pada pantai berpasir atau di hutan hujan tropis.
Hal itu membuat maleo butuh suhu yang pas untuk mentaskan telurnya. Lantaran itulah dibutuhkan teknologi inkubasi dalam pusat konservasi.
“Hasil penelitian kami di sini temperatur di atas 36° Celsius membuat telur Maleo sudah tidak menetas," tutur Mobius. “Biasanya pada 33° Celsius paling baik untuk pengeraman telur Maleo.”
Selain soal pengaturan suhu khusus, perilaku maleo yang masih liar juga jadi pembeda. “Perilakunya juga masih liar. Itu membuat maleo masih sulit untuk dipelihara seperti ayam,” kata Mobius.
Namun bukan tak mungkin maleo bisa hidup berdampingan dengan manusia laiknya ayam dalam sebuah peternakan. Misalnya, maleo bernama Gempa, satu-satunya maleo jantan yang berhasil menetas saat bencana gempa 28 September 2018 di Palu.
Gempa diasuh bersama oleh Mobius dan mahasiswa bimbingannya. Alhasil interaksi antara manusia dan maleo lebih terjalin. Lebih empat tahun berselang, kini gempa tampak jinak dan tak ketakutan atau balik menyerang saat didekati oleh manusia.
Melepasliarkan ratusan maleo ke alam lepas
Mobius juga punya kisah sukses soal pusat konservasi maleo. Ia punya cerita mengelola pusat konservasi Maleo Center yang dimiliki oleh perusahaan di Kabupaten Banggai.
Ada dua entitas bisnis yang memfasilitasi Mobius melestarikan maleo yakni: PT Donggi-Senoro LNG (DSLNG), dan PT Panca Amara Utama (PAU).
Mobius banyak bekerja di sana sejak 2013. Pria asal Luwu itu menjadi tenaga ahli yang mengelola pusat konservasi milik entitas bisnis tersebut. Pokok pikirannya menjadi landasan untuk mengembangkan pusat konservasi ex situ alias di luar habitat asli.
Lebih dari 500 ekor maleo sudah dilepasliarkan ke habitat asli (in situ). Kebanyakan dari mereka dilepasliarkan di Hutan Bakiriang, Luwuk, Banggai.
Mobius juga punya mimpi untuk lebih mendekatkan maleo ke manusia. Ia percaya bahwa maleo juga memungkinkan untuk dipelihara seperti ayam dengan metode tertentu--tentu saja butuh riset lebih mendalam.
"Selain menambah populasi di alam, harapan kami adalah memang ingin mendekatakn Maleo dengan Masyarakat, tidak lagi mencarinya di hutan," tutup Mobius.
Mimpi Mobius sedang diusahakan untuk terealisasi. Pun berbagai pengakuan atas kerja-kerjanya sudah diraih.
Terakhir, pada momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023, PT PAU mendapat penghargaan khusus atas kontribusinya menjaga dan melestarikan habitat endemik khususnya burung Maleo yang di tanda tangani oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah (KLHK).
Di balik penghargaan itu, tentu saja ada nama Mobius, tokoh yang sudah mendedikasikan dirinya untuk meneliti maleo selama dua dekade; sekaligus menjadi figur di balik pusat konservasi maleo nan sukses yang disokong oleh perusahaan tersebut.
maleo iucn redlist konservasi pusat konservasi tavanjuka palu luwuk banggai untad riset