Mengenal ulat sagu yang kaya nutrisi dalam makanan tradisional Sulawesi Tengah
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 13 Oktober 2023 - 21:29
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Mengenal ulat sagu yang kaya nutrisi dalam makanan tradisional Sulawesi Tengah
Sate Ule Toi atau ulat sagu dari Tanah Mori (Foto: dokumentasi pribadi/@rahayugiovanna)

Belum lama ini ulat sagu menjadi topik warganet Indonesia. Ini dipicu viralnya video siswa SD yang membawa bekal ulat sagu sebagai lauk bekal makan siang.

Teman-teman sekelas dan guru laki-laki siswa tersebut  yang merekam video awalnya bereaksi heboh. Berbagai komentar yang dilontarkan oleh guru tersebut mengundang cemoohan, ejekan, dan rasa jijik hingga suara-suara ingin muntah dari teman-temannya.

Uler iki! Kebangetan. Tahun 2023, kok, lauknya masih ulet (Ular ini! Keterlaluan. Sudah tahun 2023, kok, lauknya masih ulat),” ucap seorang guru dengan aksen Jawa.

Warganet pun bereaksi. Menilai guru tidak bijak melontarkan komentar yang terkesan mengejek siswa seakan-akan begitu miskin hingga hanya mampu makan ulat sagu.

Namun apakah ulat sagu senista itu? Berdasarkan penelusuran Tutura.Id dari begbagai sumber, ulat sagu merupakan larva serangga yang akan berubah menjadi kumbang bernama Rhynchophorus.

Ulat sagu mentah yang telah dipanen dari pohon sagu di Kabupaten Morowali (Foto: dokumentasi pribadi/@rahayugiovanna)

Kumbang ini berkembang biak lazimnya di batang batang pohon sagu tua yang telah membusuk. Selain itu, kumbang ini ditemui pula hidup di batang kelapa, aren, salak, dan kirai. Maka tak heran orang sering menyebutnya kumbang kelapa.

Serangga bertanduk ini biasanya bertelur pada bahan-bahan organik di tempat lembab, seperti dedaunan yang membusuk dan batang kelapa atau sagu. Pasalnya larva kumbang ini menjadikan empulur atau bagian terdalam dari batang tumbuhan berpembuluh sebagai makanannya.

Larva kumbang kelapa yang dijadikan lauk ini telah lazim menjadi konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di bagian Indonesia Timur. Bahkan disebut sebagai salah satu makanan dengan cita rasa lezat. 

Beragam sebutan

Di Sulawesi Tengah, ulat sagu dikenal sebagai bahan makanan. Penamaannya pun berbeda-beda di setiap daerah.

Suku Kaili yang mendiami Lembah Palu dan beberapa kawasan lainnya di Sulteng menyebutnya dengan nama vati atau vavati.

Bagi orang Kaili yang mendiami kawasan yang ditumbuhi banyak sagu, biasanya tidak hanya memanfaatkan sari pati batang sagu menjadi makanan pokok berbahan sagu, seperti tabaro dange, tapi juga memakan ulat sagu sebagai lauk.

Vati bisa diolah dengan berbagai cara memasak. Ada yang menusuk dan menyajikannya seperti sate, ada juga yang menghidangkannya dengan cara menggoreng atau menumisnya. Metode sajian yang terakhir ini dianggap cara paling tepat karena vati memiliki rasa gurih.

Bagi yang sudah terbiasa, vati bisa langsung dikonsumsi mentah dari batang pohon. Ada kalanya pemilik sagu sengaja menebang pohon sagu tua dan dibiarkan membusuk. Tujuannya agar menjadi tempat kumbang ini bertelur. Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai perkembangbiakan larva kumbang kelapa.

Sate ule toi yang lebih dulu ditusuk ke batang bambu atau lidi dan kemudian dibakar (Foto: dokumentasi pribadi/@rahayugiovanna)

Sementara di Desa Tingkea’o, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali Utara, ulat sagu dikenal dengan nama ule toi.

Masyrakat di Tanah Mori—sebutan lain Morowali—juga menjadikan ule toi sebagai makanan tradisional. Rasanya gurih dan kenyal.

Menariknya, sebutan ulat sagu ini memiliki nama berbeda di desa lainnya. Di Desa Tinompo, Kecamatan Lembo, ulat sagu ini disebut dengan nama uate.

Alan (20), warga Desa Tinompo, mengaku terbiasanya mengonsumsi uate yang berasal dari pohon sagu di daerah itu. 

“Rasanya uate itu kayak ada kenyal-kenyalnya, ada juga  manis-manisnya sedikit. Biasanya kami di sini uate-nya dibakar. Ada juga orang makan mentah. Kalau yang mentah saya belum berani makan. Masih bergerak-gerak soalnya” tutur Alan via telepon kepada Tutura.Id, Kamis (12/10/2023).

Makanan masa depan

Pandangan ulat sagu adalah makanan rendahan yang hanya dimakan oleh orang yang tidak punya kemampuan ekonomi boleh jadi terbantahkan.

Telah banyak studi dan penelitian yang menunjukan ulat sagu memiliki kandungan nutrisi tinggi, terutama pada jumlah protein dan karbohidratnya.

Bahkan ada ahli yang menyebut ulat sagu merupakan makanan masa depan. Solusi bagi warga bumi bila mengalami krisis makanan.

Dokter Spesialis Anak Reza Abdussalam turut merespons video bekal ulat sagu yang viral tersebut.

Melalui laman Instagramnya, dokter ini memberikan penjelasan tentang informasi nilai gizi dalam ulat sagu.

“Dalam 100 gram ulat sagu yang dikeringkan mengandung 53 gram protein dan 15 gram lemak. Kandungan tersebut ternyata lebih tinggi dibanding ikan bandeng maupun ikan cakalang," terangnya.

Melansir dari laman halodoc.com, Kementerian Kesehatan RI merincikan nutrisi yang terkandung dalam ulat sagu.

Disebutkan 100 gram ulat sagu mentah dapat mengandung nutrisi energi sebanyak 241 kal, protein 5,8 gram, lemak 21,6 gram, karbohidrat 5,8 gram, serat 2,8 gram, kalsium 20 miligram, besi 0,5 miligram, 210 miligram kalium, 7,7 miligram zinc, 0,17 miligram thiamin, 1,45 riboflavin, dan 0,1 miligram niacin.

Sebaiknya dikonsumsi setelah melewai proses olahan di atas api. Tidak disarankan dimakan mentah, karena ulat sagu memicu alergi pada beberapa orang (Foto: dokumentasi pribadi/@rahayugiovanna)

Melihat kandungan nutrisi yang tinggi ini, ulat sagu disinyalir dapat menjadi makanan sumber energi dalam mencegah kekurangan gizi dan gizi buruk pada anak.

Tak berlebihan jika makanan tradisional dari ulat sagu bisa jadi opsi mengatasi malnutrisi pada anak.

Sebuah penelitian dalam Jurnal Nutrisi Klinis Asia Pasifik yang terbit pada 2017 menyebut, ulat sagu yang diolah menjadi berbagai olahan makanan, semisal dadar gulung dan sekoteng, diberikan kepada anak usia 1-5 tahun di Sulawesi Tenggara. 

Objek penelitian ini termasuk anak-anak dengan tengkes atau stunting, gizi buruk, dan gizi kurang.

Hasil penelitiannya menunjukkan meningkatnya kadar protein pada kelompok anak dengan pemberian ulat sagu dibandingkan kelompok anak tanpa pemberian ulat sagu dalam lauk dadar gulung dan sekoteng.

Meskipun kandungan nutrisinya tinggi, namun konsumsi ulat sagu disarankan terlebih dahulu melalui proses memasak di atas api.

Sebab hasil penelitian yang sama menemukan ulat sagu bisa saja memberikan efek alergi pada beberapa orang. SDemi mencegah terjadinya infeksi, disarankan olahan ulat sagu dikonsumsi dalam keadaan matang.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
1
Lucu
2
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Intje Mawar: Gerak tari harus bisa merepresentasikan tradisi dan identitas budaya
Intje Mawar: Gerak tari harus bisa merepresentasikan tradisi dan identitas budaya
Reputasinya wangi seperti bunga yang terkandung dalam namanya. Umurnya kini 80 tahun, tapi semangat berkeseniannya…
TUTURA.ID - Pameran visual ''Garis Waktu''; melihat jejak budaya Sulawesi Tengah melalui teknologi digital
Pameran visual ''Garis Waktu''; melihat jejak budaya Sulawesi Tengah melalui teknologi digital
Museum Negeri Provinsi Sulteng menghadirkan pameran memanfaatkan medium digital. Menuai respons positif dari pengunjung.
TUTURA.ID - Hukuman kebiri kimia; salah kaprah dan prosedurnya
Hukuman kebiri kimia; salah kaprah dan prosedurnya
Baharudin Kasim jadi pesakitan pertama di Sulteng yang mendapat vonis kebiri kimia dari Pengadilan Negeri…
TUTURA.ID - Kabar Cudy pindah ke Partai Gerindra: Jawaban pasang surut relasi dengan Ahmad Ali?
Kabar Cudy pindah ke Partai Gerindra: Jawaban pasang surut relasi dengan Ahmad Ali?
Rusdy Mastura sempat ramai jadi perbincangan kala meninggalkan Golkar menuju NasDem. Kini hal serupa terjadi…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng