Jauh sebelum kolonial Belanda menancapkan kekuasaannya di Sulawesi Tengah, penduduk di daerah ini sudah memiliki keterampilan menempah biji besi. Olehnya, beberapa alat berbahan metal ini dibuat untuk kepentingan sehari-hari.
Namun, saat peperangan pecah dan pertempuran tidak dapat dihindarkan, para pejuang menggunakan alat ini sebagai senjata ke medan perang.
Meskipun kalah canggih dengan senjata api dan meriam milik penjajah, penggunaan senjata tradisonal ini di medan perang, memperlihatkan kegagahan dan keberanian pejuang.
Warga di Lembah Palu, dan Sulteng secara umum, tidak ingin ditindas bangsa pendatang yang menguasai sumber daya alam dan berlaku semena-mena di tanah mereka sendiri.
Namun, sebagian besar senjata tradisional Sulawesi Tengah ini belum pernah diteliti dan dipublikasikan secara khusus. Beberapa di antaranya menjadi koleksi Museum Sulteng dan dipamerkan ke khalayak umum.
Ada juga yang dimiliki oleh keluarga pejuang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Tujuannya untuk menjaga nilai-nilai sosial dan kultural serta ritual dari leluhur mereka.
Tutura.Id menghimpun beberapa senjata tradisional Sulteng, yang digunakan pejuang dalam pertempuran melawan Belanda.
Guma
Guma adalah pedang baja kuno yang gagang dan sarungnya biasanya terbuat dari kayu hitam atau tanduk. Ada tiga jenis guma yang dikenal di masyarakat Sulawesi Tengah, yaitu Guma Kalamba, Guma Lompu dan Guma Taona.
Konon, pembuatan guma oleh Suku Kaili hanya dilakukan secara gaib dan sangat rahasia melalui kekuatan sakti. Mirip cerita keris pada Suku Jawa.
Guma menjadi satu-satunya senjata tradisonal Sulteng yang diteliti dan hasilnya dipublikasikan dalam buku. Diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 1991.
Dalam sebuah catatan, kedatangan bangsa Belanda sekitar Tahun 1904 di daerah Ondae, Pamona, Kabupaten Poso, sempat melarang dan menghentikan produksi guma di wilayah ini. Padahal, daerah ini dikenal memiliki pusat pembuatan guma.
Belanda melarang dengan karena dianggap akan mengancam kedudukan mereka. Ternyata pelarangan tersebut justru memicu semangat patriotisme penduduk lokal untuk melakukan perlawanan.
Penggunaan guma dan simbolnya sebagai senjata perlawanan juga membuat penguasa Jepang merasa terancam. Selama pendudukan Jepang, muncul pula aturan melarang kepemilikan guna. Menyebabkan banyak guma dikumpulkan dan dimusnakan.
Tombak Kayu
Tombak dengan ujung baja juga menjadi senjata perang di masa lalu. Panjang tombak dengan gagang bambu atau kayu hitam ini bisa mencapai 2,5 meter.
Di ujung tombak itu diberi mata tombak terbuat baja meruncing tajam. Ada yang bergerigi seperti gerjaji dan ada pula memiliki pengait seperti mata pancing.
Di beberapa daerah di Sulteng, tombak ini memiliki beberapa sebutan seperti tavala yang tombak berukuran panjang dan doke tombak dengan ukuran sedang.
Berdasarkan informasi dari pemandu Museum Sulteng, Rabu (15/8/2023), juga sejumput informasi yang tertera di bagian koleksi, disebutkan tombak ini dipakai sebagai alat mempertahankan diri.
Ukurannya yang panjang membuat para pejuang dapat melakukan perlawaanan melalui celah kolong rumah sebagai bentuk pertahanan diri. Dahulu kala rumah memiliki kolong yang cukup tinggi karena bertingkat.
Sopu
Sopu berupa bambu yang dilubangi untuk dibuat sumpit beracun. Sebelum kedatangan penjajah, sopu sejak zaman dulu dipakai untuk keperluan melakukan perberburuan hewan.
Peluru sopu dapat berupa jarum kecil yang diberi racun. Inilah yang membuat musuh tumbang hanya dengan hitungan beberapa waktu saja.
Panjang sopu berukuran sekitar 2,5 meter. Olehnya, sopu sangat mengandalkan teknik pernapasan bagi pemakainya. Jenis senjata ini banyak digunakan pejuang yang bergerilya memasuki perkampungan secara diam-diam untuk melawan penjajah
Sai'a
Sai'a adalah jebakan yang lahir dari istilah suku Kaili Inde di Desa Desa Balumpeva, Kabupaten Sigi. Sai'a dibuat dari bahan dasar bambu dengan ruas yang sedikit panjang lalu ditajamkan yang disebut volo.
Berbeda dengan guma, tombak, dan sopu yang merupakan senjata mematikan yang digunakan dalam perang, sai'a adalah alat pendukung dalam melumpuhkan musuh.
Saat Belanda masuk di wilayah Balumpeva sekitar Tahun 1911 dan terjadi pergolakan perang, pejuang mengguakan sai'a sebagai jebakan musuh.
Menurut Try Bagia, menantu Kepala Desa Balumpeva kepada Tutura.Id pada Selasa (15/8), sai'a ditempatkan di hutan-hutan. Paling strategis, yakni ditempatkan di tepi jurang dan semak-semak.
Sebelum masa penjajahan, sai'a dijadikan sebagai alat perburuan hewan. Pemburu akan menggiring hewan buruan ke tepi jurang agar masuk ke dalam sai'a.