Kegigihan tujuh perempuan Sulteng mempertahankan wilayah kerajaannya
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 11 November 2023 - 12:36
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Kegigihan tujuh perempuan Sulteng mempertahankan wilayah kerajaannya
Potret Baligau Tatanga, salah satu kerajaan di Lembah Palu yang gigih melawan penjajah Belanda (Sumber: sultansinindonesieblog.wordpress.com)

Masih dalam semangat Hari Pahlawan, kami ingin mengenangkan kontribusi beberapa sosok pemimpin perempuan di Sulawesi Tengah yang gigih berjuang mempertahankan wilayah kekuasaannya dari tangan penjajah Belanda.

Pun saat ada campur tangan dari kerajaan lain yang ingin mengambil alih. Mereka menolak takluk, meski nyawa jadi taruhan.

Tidak sedikit dari mereka juga mendapat mandat jadi raja yang membawa kesejahteraan bagi rakyat di wilayahnya. Hanya saja sepak terjang mereka masih kabur dalam penulisan sejarah.

Padahal aksi-aksi yang mereka lakukan masih terpatri dalam ingatan serta terwariskan melalui cerita turun-temurun (tutura) sebagian orang.

Berikut ini kami sarikan tujuh tokoh perempuan yang dimaksudkan. Sumber rujukannya dari buku Sejarah Perempuan Sulawesi Tengah yang ditulis Haliadi Sadi dan Yufni Bungkudapu terbitan Pusat Penelitian Sejarah, Lemlit Untad.

Hatjide  

Tokoh Hatjide berasal dari Kayumalue. Pada tahun 1888, Belanda membombardir Teluk Palu di Kayumalue. Mengetahui kabar tentang kedatangan pasukan kompeni yang akan membumihanguskan Kayumalue, seorang perempuan bergegas menaiki malige (menara).

Dari puncak menara setinggi 25 meter itulah Hatjide berdiri memukul gendang. Memberikan semangat yang tak putus kepada para pasukan yang sedang berjibaku melawan Belanda.

Meski dibuat secara terburu-buru, menara tersebut memang disiapkan sebagai tempat puncak komando perang. Aksi berani yang dilakukan Hatjide berhasil menggelorakan semangat para pejuang perang saat melawan Belanda.

Mpolite

Momumen Mpolite yang dibuat untuk menghormati jasa perjuangannya (Foto: yoel_chrisnajaya)

Mpolite adalah seorang calon raja perempuan di Pekurehua, Lore Utara. Dia menyerahkan tahtanya kepada suaminya yang bernama Kabo. Mpolite berperan penting dalam pertempuran melawan Belanda pada tahun 1907 yang disebut Perang Peore karena terjadi di Peore, Poso.

Pemerintah Hindia Belanda mengutus pasukan untuk menaklukkan orang-orang Napu. Pimpinan pasukan Belanda pada waktu itu bernama Letnan H.J Voskuil.

Sementara gerakan rakyat di daerah Napu dikomandoi oleh Umana Soli (Ama) di wilayah Pekurehua.  

Pada tahun 1907, satu peleton pasukan Belanda berangkat dari Poso ke Napu untuk menangkap Umana Soli. Kedua kubu akhirnya bertemu di Peore. Pertempuran yang tak seimbang pun terjadi. Umana Soli gugur di medan pertempuran.

Akhir peperangan ditandai dengan pengibaran kain berwarna putih oleh Mpolite atau Inana Moso. Seluruh pemuda terbaik Napu gugur dalam peperangan itu. Ada 14 orang di antaranya tercatat dalam kuburan Peore yang bertanggal 2 September 1907.

 I Ranginggamagi

Nama I Ranginggamagi diabadikan sebagai nama jalan (Foto: Mugni Mayah/Tutura.Id)

Tokoh I Ranginggamagi merupakan Raja Tatanga yang menolak perjanjian pendek atau korte verklaring yang dilakukan oleh Magau Palu pada awal abad ke-20. Buntutnya, terjadi peperangan antara Kerajaan Tatanga melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan H.J Voskuil pada Juli 1905.

Pada September 1905, Belanda berhasil mengepung benteng Tatanga. Ranginggamagi bersama 30 orang serdadu pengawalnya ditawan oleh Letnan Voskuil, kemudian dibawa ke Gunung Bale, Donggala. Dalam penantian kapal tumpangan ke pengasingan, Ranginggamagi menitip pesan kepada Madika Bale yang bernama La Malonda. “Pasiromu todeamu, yaku hilaumo ruru,” ujarnya yang berarti “persatukan rakyatmu, saya pergi duluan.”

Dia ditangkap kemudian diasingkan ke penjara Nusakambangan. Hingga akhir hayatnya, sosok pemberani yang namanya juga diabadikan menjadi tarian ini tak pernah diketahui jasad dan makamnya.

Ranginggamagi dikenang sebagai raja dengan pendirian teguh. Menolak tunduk kepada penjajah. Selama masa kekuasaanya (1895-1905), Kerajaan Tatanga tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda.

 Tjayalangi

Datupamusu (tengah) adalah suami Tjayalangi (Foto: Istimewa)

Kerajaan Dolo mempunyai seorang raja perempuan bernama Tjayalangi. Ia merupakan istri Datupamusu, Magau Kerajaan Dolo, yang berulang kali menolak menandatangani surat perjanjian pendek bikinan Belanda.

Ketika Datupamusu diasingkan ke Ternate pada Tahun 1917, Tjayalangi melanjutkan pemerintahan Kerajaan Dolo hingga tahun 1920. Sepanjang kurun waktu tersebut, dirinya bersama Magau Datupalinge dan Madika-Matua Lapasere menjalankan roda pemerintahan.

Magau Datupalinge dan Madika-Matua Lapasere merupakan saudara kandung suaminya. Dia pun memimpin Kerajaan Dolo dengan sikap protes yang jelas kepada pihak Kerajaan Belanda.

Hangkalea

Para pemuda di Kerajaan Kulawi yang diabadikan oleh Belanda (Foto: istimewa)

Pada abad ke-20, Kulawi memiliki pemimpin perempuan bernama Hangkalea. Orang Kulawi telah memiliki seorang figur pemimpin perempuan yang fungsinya sama dengan Totua Ngata atau pemimpin. Seorang perempuan yang memangku jabatan tersebut bergelar Tina Ngata (Ibu Kampung). 

Sosok Tina Ngata yang cukup populer hingga kini bahkan sangat disegani oleh Belanda adalah Hangkalea. Konsep ini ternyata mampu membendung langkah kaki kaum penjajah.

Kuatnya jalinan persatuan dan kesatuan (hintuvu) antara rakyat, Totua Ngata, dan Tina Ngata merupakan senjata ampuh dalam melakukan perlawanan.

Pada masa Hangkalea menjabat sebagai Magau (Maharaja) Kulawi, ia mengangkat adik kandungnya, Towualangi alias Toi Rengke, untuk memimpin pasukan menghadapi para serdadu Belanda dalam perang Bulu Momi pada 1904.

Wedange

Kerajaan Mori mempunyai seorang raja perempuan bernama Wedange yang memerintah pada 1650-1670. Ia merupakan raja yang berkuasa ketika Mori diserang oleh Kerajaan Luwu pada 1670.

Dalam peperangan itu, Kerajaan Mori kalah. Ratu Wedange beserta putra mahkotanya ditawan dan diasingkan ke Luwu. Wedange kemudian menolak kembali ke Mori.

Menurut Poelinggomang, Ratu Wedangi menolak kembali ke Mori karena tidak sudi menjadi raja palili alias raja bawahan dari Kerajaan Luwu. Kisah perjuangan Wedange ini dikenangkan karena sikap tegasnya yang menolak wilayah kekuasaannya diambil oleh kerajaan lain.

Dongke Kombe

Kerajaan Bungku mengenal nama raja perempuan yang bernama Dongke Kombe yang pernah berkuasa di Bungku sekitar tahun 1840-an menggantikan Raja Bukungku (1840-1941) . 

Dongke Kombe dianggap oleh Kerajaan Ternate sebagai pembangkang. Dikatakan pembangkang karena selalu menolak kemauan-kemauan politik dari Kerajaan Ternate.

Konsekuensinya Dongke Kombe akhirnya ditangkap dan dibawa ke Ternate bersama dengan Kapita Laut dan Jogugunya karena dianggap sebagai pemberontak. Dongke Kombe juga dianggap berani berjuang mempertahankan daerah kerjaannya dari invasi kerajaan lokal lainnya.

I Badan Tassa Batari Bana

Stempel Kerajaan Banawa yang menjadi saksi eksisrensi mereka di masa lalu (Foto: Facebook/ Qwing Taie)

Kerajaan Banawa pernah dipimpin oleh lima orang Raja Perempuan, yaitu I Badan Tassa Batari Bana (1485-1552), I Tassa Banawa (1552-1650), Intoraya (1650-1698), I Sabida (1758-1800) dan I Sandudongie (1800-1845).

Masa pemerintahan mereka bertepatan dengan kitab “Shung Feng Hsiang Fung” ditulis pada tahun 1430 pada masa kekuasaan Dinasti Ming, terutama sejak masa pemerintahan Kaisar Hung Wu.

Pada masa pemerintahan I Bandan Tassa Batari Bana, Donggala telah menjadi pelabuhan internasional dan menjadi salah satu tujuan perdagangan Cina yang tersohor.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
6
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Bentrokan di Pasar Inpres Manonda: Kronologi, pemicu, dan penangkapan pelaku penikaman
Bentrokan di Pasar Inpres Manonda: Kronologi, pemicu, dan penangkapan pelaku penikaman
Bentrokan di Pasar Inpres Manonda dipicu oleh peristiwa penikaman. Kini pelaku penikaman telah ditangkap. Warga…
TUTURA.ID - Kasus rabies masih menghantui Sulteng
Kasus rabies masih menghantui Sulteng
Sulawesi Tengah tecatat sebagai wilayah endemis rabies. Sulteng tercatat dalam 10 provinsi yang melaporkan kasus…
TUTURA.ID - WALHI anggap gubernur Sulteng melanggengkan kejahatan korporasi sawit
WALHI anggap gubernur Sulteng melanggengkan kejahatan korporasi sawit
Rekomendasi gubernur Sulteng dalam sengketa lahan PT ANA dikritik oleh WALHI. Sebaliknya, tenaga ahli gubernur…
TUTURA.ID -  Kiprah Nabiyah di pusaran adat dan warisan leluhur untuk jaga budaya dan alam Suku Lauje
Kiprah Nabiyah di pusaran adat dan warisan leluhur untuk jaga budaya dan alam Suku Lauje
Nabiyah dari Desa Palasa Tengah masih tegak berdiri sebagai tokoh kunci adat Suku Lauje. Di…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng