
Kecanduan gadget alias gawai bukan hanya masalah orang dewasa. Anak-anak juga menghadapi isu serupa
Kini, anak kecil bisa asyik seharian menekuri layar ponsel sembari mengotak-atik tombol. Pemandangan melihat anak serius menonton tayangan Coco Melon via YouTube dengan botol susu di tangan lainnya tentu tak asing lagi.
Lama-kelamaan kebiasaan ini menimbulkan kekhawatiran. Paparan gawai yang terlalu sering dan menimbulkan candu pada anak ditengarai berdampak buruk terhadap perkembangan anak.
Zulfiah (32) adalah salah satu ibu yang anaknya didiagnosa memiliki Autism Sensory Disorder (ASD) atau yang lebih dikenal dengan autis. Meski bukan penyebab utama, dia mengakui bila gawai menjadi salah satu faktor terbesar anaknya mengalami autisme.
Ketika bertemu dan berbincang dengannya, Kamis (19/10/2023) sore, Fia—sapaan akrabnya—mengakui anak pertamanya, Izi, lahir dengan kondisi normal.
Menginjak umur 2 tahun, Izi kerap abai dengan panggilan. Bahkan ketika Fia berteriak sekalipun Izi tetap tidak menoleh.
Fia kemudian menyadari ada yang salah dengan respons anaknya. Dia kemudian berkonsultasi kepada psikolog dan teringat bila sejak dini Izi sudah sering terpapar gawai.
Izi diasuh oleh orang lain karena sehari-hari Fia sibuk bekerja. Saat pulang kerja dengan kondisi capek, gawai menjadi pilihan untuk menghibur Izi.
Ketika sadar kebiasaan terlalu lama memegang gawai jadi faktor terbesar yang memengaruhi kondisi Izi, Fia bertahap mengurangi intensitas pemakaian tersebut.
“Awalnya memang dia masih cari (gawai, red), tapi lama kelamaan dia sudah mulai lupa sedikit. Tapi karena saya masih kerja, jadi memang tidak konsisten untuk batasan penggunaan itu,” ungkap Fia.
Agar fokus pada terapi Izi, Fia pun memutuskan berhenti bekerja. Fokus untuk belajar dan mengambil kelas untuk melatih Izi dengan mandiri di rumah.
Terapi dengan pembatasan

Pada Maret 2023, Fia mulai membawa Izi melakoni terapi. Saat ini diakuinya keadaan Izi makin membaik.
“Kalau sekarang Izi sudah lebih responsif dan juga sudah saya kontrol dia kalau pakai handphone. Dalam sehari jatahnya dia hanya dua jam saja,” sambung Fia.
Pengalaman ini bikin Fia lebih proaktif dalam mendapingi tumbuh kembang anak-anaknya. Terlebih Izi juga punya adik. Fia tidak ingin si bontot mengalami kondisi serupa.
Kini, Fia selalu menemani Izi saat bermain gawai. Pun hadir ketika Izi ingin menanyakan sesuatu.
Soal teknis pembatasan tontonan di gawai, Fia punya cara tersendiri. Semua tontonan berbahasa Inggris dibatasinya, sebab Fia ingin Izi bisa fokus belajar bahasa ibu terlebih dahulu.
Perihal materi tontonan, Fia bertindak laiknya kurator. Hanya akan mengunduh video-video yang menurutnya pantas jadi tontonan anaknya.
Agar Izi bisa lepas dari candu gawai dan meluaskan eksplorasinya terhadap dunia, Fia kerap membawanya bermain di luar. Misalnya, membawanya bermain ke taman, jalan-jalan ke rumah keluarga, atau jalan-jalan di sekitar kompleks rumah. Harapannya agar Izi mampu berinteraksi lebih baik dengan orang lain.
Berdasarkan pengalamannya, Fia berpendapat anak umur 0-2 tahun sebenarnya belum waktunya terpapar gawai. Apalagi hingga levelnya kecanduan.
“Karena sebenarnya apa yang kita lihat saat anak, misalnya, pintar menggunakan gawai? Hanya karena mereka biasa mendengar dan meniru saja. Padahal sebetulnya mereka tidak mengerti tentang apa yang mereka tonton,” jelas Fia.

Menjadi smart parents
Psikolog Klinis di Klinik Wangi Embun, Muhammad Basir, mengatakan untuk mengetahui seorang anak ketergantungan terhadap gawai harus melalui screening.
Ini untuk menentukan mulai dari durasi yang dihabiskan saat menggunakan gawai, mengakses situs atau aplikasi apa saja, hingga digunakan untuk apa? Menonton atau hanya bermain game?
Pasalnya hal-hal tersebut secara psikologis mempunyai daya tarik yang berbeda pada anak-anak.
Belum lagi sekarang kebanyakan anak usia sekolah, 6-13 tahun, mengharuskan mereka menggunakan gawai untuk proses belajar-mengajar di sekolah.
Mereka diharuskan membuat video, mengirim tugas melalui WhatsApp, atau bisa juga via surat elektronik kepada gurunya masing-masing.
Kewajiban tersebut pada akhirnya membuat anak mau tidak mau harus mengenal teknologi ponsel pintar alias smartphone.
Ketergantungan pada gawai, atau gadget addiction, sebenarnya memiliki pengaruh yang buruk bukan hanya pada anak-anak, tapi boleh jadi juga berpengaruh pada orang dewasa.
Pembedanya, anak-anak belum sepenuhnya memiliki kontrol dan memahami penggunaan gawai yang benar. Sehingga ketergantungan pada anak itu sangat susah untuk dilepas.
“Apalagi kalau terpaparnya sejak umur 2 tahun hingga di bawahnya. Itu berbahaya untuk tumbuh kembang anak tersebut. Mereka sudah mulai bergantung pada gawai untuk sehari-harinya,” jelasnya.
Bila anak telah ketergantungan dan mulai mengerti cara menggunakan gawai, pada usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) mereka bisa saja mengakses situs-situs yang mengandung informasi yang mengandung unsur-unsur kekerasan, SARA, hingga pornografi.
Anak pada rentang usia tersebut mulai aktif meniru apa saja yang mereka lihat. Mereka sudah mulai mengerti cara kerja sesuatu, mulai bereaksi pada apa yang mereka lihat, dan mulai mencoba-coba. Jika tidak diawasi tentu sangat berbahaya.
“Misalnya, mereka bisa mengetahui bagaimana caranya membobol gembok rumah dari tontonan mereka di internet. Hal-hal tersebut nantinya dapat dibenarkan oleh si anak dan dipratikkan di lingkungan sekitarnya,” jelasnya
Anak dalam kategori usia sekolah menengah, 13-15 tahun, biasanya sudah diberikan kebebasan penuh oleh orang tua untuk memiliki gawai sendiri. Dengan begitu, akses terhadap dunia internet makin luas dan tidak terbendung. Orang tua tidak bisa selalu mengontrol.
Basir mengatakan terkadang orang tua sering berbangga diri dengan anak yang “pintar” memakai gawai. Padahal pada dasarnya, anak tanpa pengawasan orang tua bukan pintar, tapi anak hanya melakukan proses imitasi pada perilaku berulang ketika anak menonton tayangan di internet atau mengotak-atik gawai tersebut.
Dia pun meminta orang tua bisa menjadi smart parents (orang tua yang pintar) sehingga tidak kalah pintar dengan smartphone.
Salah satunya dengan memegang kendali penuh atas apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan anak dengan gawainya.
gawai smartpone kecanduan gawai autis autisme psikolog psikologis Klinik Wangi Embun Kota Palu


