Saban April, dunia selalu memperingatinya sebagai Bulan Penerimaan Autisme seiring penetapan Hari Peduli Autisme Sedunia pada 2 April 2007 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Meski jadi salah satu perayaan penting, tapi penyandang autism spectrum disorder (ASD)—istilah medis bagi autis—masih beroleh stigma dan diskriminasi.
Satu peristiwa paling dekat dengan persoalan ini ketika dua perempuan di Buol menjadikan anak autis sebagai lelucon dalam konten TikTok berdurasi 1 menit 32 detik, awal Februari 2024.
Kejadian itu berbanding terbalik dengan aktivitas yang berlangsung di Klinik Psikologi Cahaya Nurani. Kurun 16 tahun terakhir, klinik yang beralamat di Jalan Teluk Tomini, Lolu Utara, Palu Timur, itu jadi salah satu fasilitas kesehatan mental dan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autis.
Menjelang sore hari (18/4/2024), saat kami memasuki halaman klinik, suasananya cukup tenang. Hanya ada dua orang ibu sedang bercengkerama sembari menanti buah hati mereka menyelesaikan aktivitas terapi.
Saat menunggu di ruang tamu, situasi di dalam terdengar lebih ramai. Keriuhan itu terjadi lantaran sejumlah anak berkebutuhan khusus tengah berinteraksi dengan para guru alias terapis.
Hanya berselang dua menit, seorang perempuan berjilbab merah muda dan kemeja batik biru datang menghampiri kami. “Mari, saya antar lihat anak-anak terapi,” ajak perempuan bernama lengkap Ervina Claudia Faradila, petugas yang dipercayakan memantau aktivitas terapi.
Kami dipandu memasuki dua ruang khusus berukuran sekitar 1x1 meter persegi. Ada 17 ruangan seperti ini yang dikhususkan sebagai ruang terapi 148 anak-anak berkebutuhan khusus, 120 di antaranya penyandang ASD. Di dalam bilik tersebut, bisa menampung hingga empat orang; satu-dua orang anak dan dua orang terapis.
“Yang tadi namanya Joy,” kata Fina memperkenalkan anak di ruangan pertama yang kami kunjungi. “Kalau ini Azril dan Cece,” lanjut Vina memperkenalkan dua anak di ruangan berikutnya. Ketiga anak tadi, sebut Vina, mengidap ASD kategori ringan.
Anak autis, sambung Vina, memang sedikit menantang dalam proses terapi. “Kalau di sekolah reguler, kalau guru suruh duduk, diam, atau berdiri, kan harus diikut. Nah, kalau anak-anak di sini masih harus kita dampingi,” ungkapnya.
Vina menjelaskan, setiap anak berkebutuhan khusus punya program terapi masing-masing, bahkan untuk sesama anak-anak penyandang autis.
“Kalau anak autis program paling mudah itu seperti memerhatikan, menirukan, dan menyamakan. Progam akan ditentukan berdasarkan kebutuhan setelah diagnosa dan konsultasi,” jelas Vina.
Untuk mengikuti program itu mereka harus menemukan ketertarikan atau membentuk mood anak. Itu bisa terlihat dari bagaimana pendampingan ketiga anak autis tadi. Di ruangan pertama, anak penyandang ASD terlihat lebih banyak diam, sementara di ruangan kedua cenderung lebih aktif.
Untuk menstabilkan situasi, para terapis lazimnya menyediakan di hadapan para anak beragam permainan berwarna untuk membantu para anak tenang atau memiliki mood yang bagus untuk menerima program terapi.
Hanya saja, beberapa anak penyandang ASD ternyata memiliki kecenderungan menyukai permainan di luar kelaziman anak-anak pada umumnya.
“Misalnya kalau anak-anak umumnya main mobil-mobilan, ya. Kalau di sini, ada anak yang lebih suka bermain kabel. Kadang sampai dilingkarkan ke lehernya,” tutur Vina.
Menurut Vina, aktivitas atau kecenderungan semacam itu tak sepenuhnya keliru. Bagi pendamping seperti mereka, sebelum menjalankan program terapi kepada anak autis, mereka perlu menemukan ketertarikan anak-anak akan sesuatu.
“Selain mendampingi anak-anak belajar, sebenarnya kami juga para terapis ikut belajar sabar. Memang butuh effort lebih untuk anak-anak apalagi kondisi seperti itu. Tapi kami semua senang,” ujarnya.
Selain autis, sambung Vina, saat ini kelas terapi sedang melayani dua kelompok anak berkebutuhan khusus lainnya, yaitu cerebral palsy (lumpuh otak) dan attention deficit hyperactive disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian.
Perlu diketahui, penyandang ASD atau autis merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengalami gangguan pada sistem sarafnya dan berimbas pada perilaku kesehariannya (neurobehaviour). Gejala ASD sering kali muncul pada usia kurang dari setahun, dua tahun, dan menjelang dewasa.
Penyebab ASD belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang autisme.
Misalnya berjenis kelamin pria, punya riwayat ASD dari orang tua, terlahir prematur, kelainan genetik, lahir dari pasangan orang tua berusia di atas 40 tahun, dan lahir dari ibu yang mengonsumsi alkohol atau obat-obatan tertentu, terutama obat epilepsi, kurun masa kehamilan.
Lihat postingan ini di Instagram
Memahami anak autis
Program pendampingan bagi anak penyandang autis ternyata tak hanya berhenti di Klinik Cahaya Nurani. Para wali anak biasanya melanjutkan pendidikan anak-anak mereka di sekolah reguler, tetapi ada pula yang memilih ke Sekolah Luar Biasa (SLB).
SLB Cahaya Nurani salah satu yang dimaksudkan. Lokasinya di Jalan Veteran III, Lasoani, Mantikulore. SLB Cahaya Nurani merupakan fasilitas setara sekolah dasar/madrasah ibitidaiyah yang dikelola Yayasan Cahaya Nurani (YCN) Sulawesi Tengah, sama seperti Klinik Psikologi Cahaya Nurani.
Dra. Vita Brina Damayanti, Kepala SLB Cahaya Nurani, saat ditemui Tutura.Id di ruangannya, Kamis (18/4), menyebut sekolah yang dirintisnya sejak lima tahun silam itu bermula dari kerinduan wali anak yang ingin melanjutkan pendidikan anak mereka setelah menjalani terapi di klinik autis yang diampunya.
“Permintaan wali anak, boleh enggak bangun sekolah? Mereka bilang, memang ada banyak SLB di Sulteng. Cuma belum ada guru yang concern menangani anak-anak autis. Akhirnya lima tahun lalu kami buka sekolah ini,” ungkap Vita.
Meski para guru dan terapis di Cahaya Nurani tak berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa (PLB), tapi mereka memiliki keteguhan mental dan hati untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus.
SLB Cahaya Nurani saat ini melayani 53 anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autis, down syndrome, tunagrahita, dan ADHD. Per tahun ajaran 2023-2024 didominasi 75% anak penyandang ASD.
Meski tak ada statistik yang jelas soal jumlah penyandang ASD di Sulteng, melansir laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikburistek), sebanyak 3.105 siswa di seluruh jenjang pendidikan di Sulteng tergolong anak berkebutuhan khusus.
Untuk menentukan layanan terapi atau pendidikan bagi anak autis, sambung Vita, pihaknya perlu melakukan pelbagai observasi dan konsultasi dengan orang tua. Pasalnya, anak autis memiliki perilaku, emosi, hingga kognitif yang berbeda dengan anak berkebutuhan khusus lainnya, termasuk sesama penyandang autis.
“Biasa ada orang tua tidak tahu dan kurang terbuka kalau anak mereka punya gejala autisme. Contohnya, anak usia setahun belum bisa bicara. Atau, anak laki-laki memang biasa lambat bicara. Orang tua beranggapan mereka bisa bicara nantinya,” tutur Vita.
Vita yang berprofesi sebagai psikolog klinis menyebut kalau gejala-gejala semacam ini tak hanya muncul dari anak autis, tapi juga pada anak yang mengidap speech delay dan ADHD. Gejala lain yang kerap muncul, antara lain hiperaktif, mudah tantrum, dan gampang kelelahan.
Selain memiliki kemiripan gejala, kata Vita, ASD, speech delay, dan ADHD juga punya tiga perbedaan kontras.
Pertama, pada masalah speech delay dan ADHD, meski tak bisa bicara tetapi memahami konteks atau instruksi. Sementara pada perkara ASD, sama sekali tak mengerti arahan atau petunjuk.
“Misal kalau ditanya di mana lampu, anak speech delay dan ADHD meski tidak menjawab, mereka pasti mendongak ke atas. Atau melihat ke arah objek yang ditanyakan. Kalau anak autis itu cuek dan tidak merespons,” terangnya.
Perbedaan kedua ialah anak speech delay dan ADHD punya kecenderungan interaksi sosial yang normal dengan orang lain. Adapun anak autis, tidak seperti itu.
“Kalau anak speech delay dan ADHD masih suka bermain, bahkan yang ADHD kadang suka usil. Tetapi anak autis, lebih suka menyendiri,” tambah Vita.
Perbedaan ketiga yang paling mudah dikenali pada anak autis ialah stimming alias kecenderungan melakukan perilaku unik berulang, seperti suka senyum atau tertawa sendiri, suka bicara sendiri, suka mengamuk, jalan berjinjit, hingga hanya fokus pada permainan tertentu.
“Ciri-ciri seperti di atas saya sampaikan kepada orang tua ketika observasi. Nanti orang tua yang menyimpulkan anak mereka lebih mengarah ke mana. Setelah itu, baru kami bisa tentukan program terapi apa yang sesuai,” pungkas Vita.
Sekadar pengingat, meski mengidap beragam gangguan, tetapi dalam situsweb Kemenkes, ASD tidak digolongkan sebagai penyakit.
Penyandang ASD hanya mengalami kesulitan mengekspresikan diri lewat gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan. Dengan kata lain; otak penyandang ASD bekerja dengan cara berbeda dibandingkan orang lain.
anak autis autisme autism spectrum disorder ASD penyandang cahaya nurani klinik palu