Perundungan di sekolah, problem akut yang tak berkesudahan
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 1 Maret 2024 - 15:30
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Perundungan di sekolah, problem akut yang tak berkesudahan
Ilustrasi para pelajar yang sedang guyon. Masih ada yang menganggap perundungan bagian dari guyon sehingga menormalisasikannya (Foto: Petrus Ino Prabowo/Shutterstock)

Kasus perundungan (bullying) di sekolah ibarat duri dalam institusi pendidikan Indonesia. Kadarnya mulai dari yang rendah atau dianggap biasa, hingga yang menjurus perbuatan kriminal. Mengakibatkan korban tak hanya luka batin parah, tapi juga fisik.

Sekolah yang semula diharapkan jadi lingkungan aman dan nyaman berubah jadi menyeramkan. Contohnya menimpa seorang pelajar di Luwuk Banggai, Agustus tahun lalu. Lantaran jadi korban perisakan, sang siswa emoh masuk sekolah.

Kasus ini kemudian diselesaikan dengan cara kekeluargaan yang melibatkan kepala sekolah, dewan guru, orang tua korban, dan para murid pelaku perisakan.

Mundur sedikit lebih ke belakang, tepatnya Februari 2023, seorang siswi SMP Negeri 4 Nuhon, Banggai, dianiaya oleh teman sekolahnya saat bubaran sekolah. Pangkal masalahnya karena urusan asmara. Cemburu buta. Akhir kasus juga diselesaikan secara kekeluargaan di Kantor Desa Bolobungkang, Kecamatan Nuhon.

Terbaru yang menyedot banyak perhatian adalah perundungan yang menimpa seorang siswa di Sekolah Menengah Atas Bina Nusantara Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Kasus ini tersingkap kepada publik pada 18 Februari 2024 melalui platform media sosial X (sebelumnya Twitter).

Para pelakunya adalah siswa senior yang menamakan diri sebagai Geng Tai. Lantaran sudah termasuk perundungan ekstrem, kasus tersebut ditangani pihak kepolisian. Kapolres Tangerang Selatan, AKBP Ibnu Bagus, menyebut akan merilis nama para tersangka hari ini (1/3/2024).

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Federasi Serikat Guru Indonesia, selama 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat dari periode tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 21 kasus.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menggarisbawahi bahwa jumlah tersebut berdasarkan kasus yang telah dilaporkan kepada pihak berwenang dan diproses. Jumlah riil di lapangan kemungkinan bisa lebih banyak.

Pasalnya masih banyak yang menganggap kasus perisakan cukup diselesaikan secara internal. Penyelesaiannya dengan cara kekeluargaan. Mengumbarnya ke publik ibarat membuka aib sendiri.

Masih merujuk data FSGI tahun lalu, jenjang pendidikan SMP/sederajat paling banyak terjadi kasus perundungan (50%). Lalu di tingkat SD/sederajat (30%), SMA/sederajat (10%), dan terakhir SMK/sederajat (10%).

Siswa yang jadi korban perundungan rentan mengalami perubahan perilaku, tekanan teman sebaya, hingga memiliki tantangan kesehatan mental selama bertahun-tahun.

Jusmiati Usman saat melakukan sesi berbagi tentang pentingnya belajar menyiapkan diri memasuki masa pubertas (Sumber: instagram.com/jusmiatiusman)

Menurut Jusmiati Usman, psikolog anak sekaligus dosen Universitas Islam Negeri Datokarama Palu, maraknya aksi perundungan di sekolah karena selama ini dianggap sebagai candaan atau guyon belaka.

Padahal candaan dan perundungan adalah dua hal yang sangat berbeda. “Awalnya terlihat seperti bermain, tapi kalau durasinya berulang dengan objek yang sama, memojokkan, merendahkan, menimbulkan ketidaknyamanan, dan perasaan tertekan atas candaan tersebut, maka itu perundungan namanya,” ujar Jusmiati saat kami hubungi via telepon, Selasa (27/2).

Menurut UNICEF, organisasi PBB yang bertujuan untuk meningkatan kualitas hidup anak dan perempuan, perundungan memiliki tiga karakteristik yang membedakannya dengan perbuatan tidak menyenangkan lainnya, yaitu kesengajaan, pengulangan, dan relasi yang timpang antara pelaku dan korban.

Bentuk perundungan bisa berupa fisik, verbal, siber, serta perundungan nonfisik dan nonverbal lainnya.

Jusmiati mengatakan, anak-anak yang menginjak usia remaja memiliki kebutuhan dalam dirinya berupa pengakuan dari orang lain. Mereka yang tak bisa membendung hasrat tersebut cenderung akan melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan, tidak peduli jika harus melakukan tindak kekerasan.

“Dengan melakukan perundungan, anak akan merasa dia kuat, orang akan takut, dan tentunya dia akan dihormati,” tambah Jusmiati.

Faktor lain yang memicu anak melakukan perundungan bisa jadi karena dalam keseharian sering menyaksikan perilaku-perilaku buruk yang dinormalisasi. Alhasil anak bisa menanamkan itu dalam pikirannya dan kemudian mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah atau lingkungan bergaul.

Tak hanya dari sisi pelaku, korban juga bisa saja menormalisasi perundungan yang menimpanya karena selama ini tidak mendapatkan pembekalan tentang pentingnya menghargai diri sendiri dan kepercayaan diri.

Alhasil timbul perasaan rendah diri sehingga ketika diperlakukan semena-mena sekalipun ia merasa pantas mendapatkannya.

Jusmiati menyoroti peran besar orang tua terhadap anak. “Orang tua seringkali lupa bahwa anak ini butuh diajarkan bagaimana mengolah emosi mereka. Jangan sampai mereka belajar di luar dengan orang yang salah, menyebabkan mereka salah dalam bertindak, mengakibatkan mereka tidak memiliki kontrol diri dan kehilangan rasa empati, ” jelasnya.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by UNICEF Indonesia (@unicefindonesia)

Peran sekolah memberantas perundungan

Pemerintah telah mencoba beragam cara untuk memberantas perundungan dalam institusi pendidikan. Salah satunya dengan menerbitkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Beleid tersebut hadir menggantikan Permendikbud No. 82 Tahun 2015.

Isi peraturannya mewajibkan sekolah-sekolah di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Fokus kerja tim ini bukan hanya kejadian di dalam sekolah, tetapi juga di luar sekolah.

Ada lagi Program Roots yang merupakan hasil kerja sama antara pemerintah dengan UNICEF Indonesia. Fokus program ini dengan melibatkan para siswa yang memiliki pengaruh terhadap teman-teman di sekolahnya. Mereka akan dibentuk menjadi agen perubahan yang dapat membawa dampak positif terhadap tindak perundungan.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu tak kalah aksi. Mereka gencar melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk memutus mata rantai bullying di kalangan pelajar.

Pihak sekolah juga punya kebijakan masing-masing. Burhanuddin selaku Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA Negeri 3 Palu menegaskan, pihaknya senantiasa mencegah dan menangani kasus bullying.

“Kami punya dua tim yang turun langsung untuk mengatasi permasalahan ini. Ada Bimbingan Konseling yang menerima laporan dan Tim Penanggulangan Pencegahan Kekerasan sebagai satgas yang menindaklanjuti laporang tersebut,” ujar Burhanuddin kepada Tutura.Id, Jumat (23/2).

Ia juga menjelaskan bahwa untuk kasus perundungan di SMA Negeri 3 Palu masih dalam kategori ringan. Pun demikian, mereka tetap menindaklanjuti setiap laporan siswa yang masuk terkait perisakan.

Setiap keputusan yang diambil pihak sekolah bergantung jenis pelanggarannya. Jika termasuk pelanggaran berat, maka siswa yang jadi pelaku akan dikembalikan kepada orang tua masing-masing.

Ketegasan serupa dilakukan SMP Al-Azhar Mandiri Palu. Ketika Tutura.Id mendatangi sekolah yang berlamatkan Jl. Tanjung Malakosa, Lolu Selatan, Palu Timur, Rabu (27/2), Wakasek Kesiswaan Nur Ihyatun Hafid menjelaskan bahwa penanganan perundungan di sekolah mereka sudah diatur sejak awal masuk sekolah.

“Jadi setiap masuk awal, siswa akan menandatangani surat tata tertib. Salah satu isinya tentang perundungan. Orang tua juga ikut menandatangani,” ungkapnya.

Terkait penanganannya, jika ada laporan maka mereka akan memanggil siswa bersangkutan. Tentu ada pemberian sanksi yang sesuai dengan kategori perundungan yang dilakukan.

“Pertama kita panggil ke ruang curhat, terus selanjutnya kami lihat apa kategorinya. Kalau sedang itu biasanya kami lakukan pembinaan berupa membersihkan sekolah di luar jam pelajaran. Tentunya sepengetahuan orang tua,” ungkap Nur Ihyatun.

Sanksi lain berupa larangan mengikuti kegiatan-kegiatan lomba yang diadakan sekolah. Jika siswa tetap mengulangi kesalahannya, maka langkah terakhir yang mereka lakukan adalah mengeluarkan siswa tersebut.

Perundungan, apa pun bentuknya, tak seharusnya dinormalisasi atau diremehkan. Sanksi tegas harus diberikan jika ingin serius memutus mata rantai kekerasan ini dan mencegah lebih banyak yang jadi korban.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Ir. Drs. Abdullah, M.T. menekankan pentingnya mempelajari semua jenis bencana, tidak hanya soal gempa dan…
TUTURA.ID - Melihat kembali status kesehatan mental Gen Z di Sulteng
Melihat kembali status kesehatan mental Gen Z di Sulteng
Apa kabar kesehatan mental Gen Z di Sulteng? Terkait  peringatan Hari Kebahagiaan Internasional, Tutura.Id mengajak…
TUTURA.ID - Pembangunan mangkrak, siswa SDN Pengawu hanya belajar dua jam sehari
Pembangunan mangkrak, siswa SDN Pengawu hanya belajar dua jam sehari
SDN Pengawu rusak saat bencana 2018. Namun proyek pembangunannya malah mangkrak. Beberapa tahun terakhir, proses…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng