Jalan Poros Palu-Poso di Desa Tolai, Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) seketika ramai dengan kerumunan warga. Kendaraan lalu-lalang di jalan trans antar provinsi ini, tergantikan dengan lalu-lalang tandu bambu yang dibopong oleh sejumlah orang dalam formasi kelompok.
Kala itu sekitar pukul 16.00 Wita, Selasa (21/3/2023), ratusan bahkan bisa jadi ribuan, warga Tolai dan sekitarnya tumpah ruah di jalan. Di kanan-kiri jalan, warah-wajah mereka terlihat penuh antusias melayangkan pandangan ke tandu-tandu bambu yang di atasnya berdiri patung-patung berwajah seram.
Sementara orang-orang yang membopong tandu terlihat energik, sesekali berputar-putar mengoyangkan patung dan memekikan teriakan semangat. Ada kalanya mereka berjoget dalam formasi diiringi lantunan musik keras dari 13 speaker yang terpasang di mobil sound.
Ada juga 4 mobil karnaval dan 1 mobil khusus membawa Gamelan Beleganjur. Semuanya berjejer dan berbaris di Kantor Pos Tolai. Sebagai titik start pawai.
Layaknya pawai, ada sekitar 18 kelompok berdiri berbaris memanjang dan berjalan beriringan di sepanjang jalan. Masing-masing kelompok ini membopong patung seram dengan wujud yang berbeda satu sama lain. Jumlanya ada 17 patung dan 1 unit kereta Krishna (temple/kuil).
Pakaian yang digunakan oleh masing-masing kelompok pun berbeda. Meski dalam satu model yang sama: berkaos, celana panjang, memakai udeng dan sarung khas Bali. Dari 18 kelompok ini, ada satu kelompok yang terlihat berbeda yakni kelompok Bagawad Githa yang memiliki aliran Hindu Waiswanawa. Di mana mereka memakai pakaian khas Hindu India dan membopong kereta Krishna.
Sekretaris Parisada Hindu Dharma Torue, I Dewa Putu Suka (58), menerangkan aktivitas itu dikenal luas dengan nama Pawai Ogoh-Ogoh. Umat Hindu nusantara melakukannya sebagai bagian rangkaian ritual penting sebelum dimulainya Nyepi Tahun Saka 1945, hari ini (22/3/2023).
Dalam ajaran agama Hindu, ogoh-ogoh diyakini merupakan simbol dari Bhuta Kala atau hal-hal buruk yang kerap melekat dalam diri manusia, seperti nafsu dan dendam.
“Itu dibuat karena ada hawa nafsu yang maknanya negatif, makanya dibuat menyeramkan,” jelas Dewa kepada Tutura.Id.
Untuk pembuatan ogoh-ogoh digunakan perpaduan dari bahan seperti koran bekas, steyrofoam, bambu, kain, cat dan kawat besi. Patung ogoh-ogoh yang ditampilkan merupakan buatan asli perupa lokal.
Terbanyak se-Sulteng
Dewa mengungkapkan pawai ogoh-ogoh arak-arakan ini merupakan kali pertama dilakukan kembali di tengah masyarakat luas, setelah dua tahun sebelumnya Covid-19 melanda. Pada 2022, ogoh-ogoh dilakukan di area terbatas yakni di dalam pura.
Olehnya, arak-arakan Butha Kala terbanyak, ada di langit Torue. Di Kota Palu pun jumlah patung ogoh-ogoh yang diarak, tidak sebanyak di wilayah transmigran Bali terbesar di wilayah Sulawesi Tengah ini.
Sesuai dengan laporan kegiatan, terungkap pawai ogoh-ogoh di Tolai itu dikoordinir oleh pihak Pura Agung Purnasadha Desa Tolai Barat. Sebagai pura dengan ogoh-ogoh terbanyak yakni 17 patung.
Namun secara keseluruhan ada 36 patung ogoh-ogoh se-KecematanTorue. Rinciannya adalah Pura Wanagiri (Desa Astina) 7 patung, Pura Tirta Nadi (Desa Torue) 2 patung, Pura Tirta Gangga (Desa Purwosari) 3 patung, Pura Agung Purnasadha (Desa Tolai Barat) 17 patung, serta Desa Tolai yakni Pura Santi Dharma 2 patung, Pura Bakti Yoga 2 patung Pura Agung Jagat Kerana 3 patung.
“Kegiatan ini baru dilaksanakan karena kemarin itu Covid, dan sekarang kami lakukan dengan pawai besar,” lanjutnya Dewa.
Sejarah dan makna ritual
Ada banyak hal yang berkaitan dengan sejarah ogoh-ogoh seperti berasal dari kata ogah-ogah, yang dalam Bahasa Bali berarti diarak lalu digoyang-goyangkan atau pawai. Tidak jarang juga dikenal dari lelakut yaitu orang-orangan sawah.
Ogoh-ogoh makin dikenal pada medio 1980-an setelah Nyepi menjadi hari libur nasional, barulah juga ogoh-ogoh makin meluas. Seperti yang dilansir dari detik.com, sejak, masyarakat di beberapa tempat di Denpasar mulai membuat perwujudan onggokan yang disebut ogoh-ogoh. Budaya baru ini juga semakin meluas saat ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII.
Patung ogoh-ogoh disarankan untuk melakukan pralina (putusnya hubungan/mati) dengan cara dibakar, sehingga wujudnya benar-benar hancur menjadi abu. Tak sembarangan, mempralina ogoh-ogoh juga harus dilakukan di kuburan. Olehnya, arak-arakan di Tolai itu berakhir alias finish di pekuburan Mrajapati, Desa Tolai Barat.
“Karena itu semua adalah sarana ritual jadi dilakukan juga ritual untuk menghancurkan ogoh-ogoh dan mereka yang memikul ogoh-ogoh juga dipercikkan air suci oleh pemuka agama agar tidak diganggu atau tidak bermimpi buruk ketika sedang tidur,” Kata Dewa (58).
Nyepi dan toleransi beragama
Atas kesuksesan pelaknaan pawai ogoh-ogoh tersebut, Dewa mengaku gemibra sekaligus lega. Pasalnya, rangkaian ritual yang dilakukan sejak Selasa, yakni melasti dan dilanjutkan dengan pawai ogoh-ogoh, berlangsung tanpa gangguan keamanan yang berarti.
Antusiasme warga di wilayah Kecamatan Torue, juga menjadi catatan penting pihaknya. Bahwa keramaian pawai tidak hanya dinikmati oleh umat Hindu saja. Tetapi juga warga Muslim dan Kristen, yang ada dan hidup berdampingan di wilayah itu. Apalagi Nyepi dan Ramadan hanya berselang sehari.
“Harapan saya, ya semoga tahun berikutnya ogoh-ogoh ini makin banyak dan semoga mereka yang menyaksikan jadi terhibur, salam toleransi,” harap Dewa.
Sucikan diri di Pantai Goda
Tahun baru Saka identik dengan Umat Hindu khususnya wilayah Bali, dapat diartikan sebagai sebuah kesempatan untuk memulai kehidupan dengan hati yang bersih. Dengan melakukan evaluasi terhadap satu tahun sebelumnya, kemudian membawa lembaran baru pada tahun saka berikutnya, ritual ini disebut dengan amati geni.
Namun, sebelum dilakukannya amati geni, terdapat pula melasti ritual pembersihan diri ini dilakukan pada dua hari jelang Nyepi. Melasti dapat diartikan sebagai menghanyutkan kotoran yang berada pada diri manusia dengan menggunakan air sebagai medianya.
Sehari sebelum pawai ogoh-ogoh, melasti lebih dulu dilakukan di Pantai Goda, Kecamatan Torue, Kabupaten Parimo. Melasti di pantai ini hanya salah satu dari sembilan titik pantai sebagai lokasi ritual melasti.
Sekretaris PHDI Parigi Moutong, I Ketut Widiasa (52) kepada Tutura.Id, mengungkapkan ada sekitar 10 titik lokasi melasti. Namun melasti di Pantai Goda, merupakan salah satu titik terbanyak diikuti oleh Umat Hindu di Kecamatan Torue.
Selama upacara ini, umat Hindu akan berdatangan ke pinggir laut secara berkelompok maupun juga perorangan dan tidak lupa juga mereka membawa sesajian yang sesuai dengan kemampuan mereka, sesajian ini merupakan pelengkap untuk upacara melasti.
Adapun tujuan mereka yang berdatangan ke pinggiran laut yakni membasuh kaki, membakar dupa dengan tujuan pembersihan diri
“Bagi kami umat Hindu, air merupakan sumber kehidupan dan simbol pembersihan oleh karena itu kami menggunakan air sebagai media pembersihan dan sesajian juga merupakan sarana penghubung dengan Tuhan,” terang Ketut, yang ditemui pada Senin (20/3/2023).
Proses melasti dimulai dengan membasuh kaki selesai, mereka kemudian duduk bersila menghadap ke arah jajaran perangkat ibadah dan sesajian tersebut, sekaligus menghadap ke sumber air suci. Pemuka agama (pemangku) setempat kemudian akan memimpin berjalannya prosesi upacara.
Hadirnya pecalang (petugas keamanan) juga ikut membantu rangkaian prosesi sakral ini, selain menjaga keamanan, pecalang juga ikut membantu mengarahkan masyarakat yang ingin melakukan melasti. Ada juga pecalang yang turut serta mengangkat peribadahan suci jika beban dianggap terlalu berat.
Tidak lupa dilakukan juga ritual persembahyangan (panca sembah) oleh seluruh anggota rombongan. Sebagi penutup proses kegiatan melasti Para pemangku lalu akan membagikan air suci dan bija (beras yang telah dibasahi air suci) air suci tersebut untuk diminum sementara bija akan dibubuhkan ke dahi setiap umat yang datang.
“Sesuai dengan historis dari nyepi dan makna yang terkandung pada Nyepi. Semoga toleransi serta keharmonisan dan kedamaian tertap terjalin”, pungkas Ketut.***
Nyepi Ogoh-Ogoh Pawai Ogoh-Ogoh Melasti Hindu Umat Hindu Bali Torue Kecamatan Torue Tolai Parigi Moutog Parimo Sulteng Sulawesi Tengah toleransi hari raya