Sejak kecil Aspar Jaelolo, kelahiran Wani, 24 Januari 1988, telah akrab dengan ketinggian. Putera pasangan almarhum Jaelolo Lantjogau dan Gamar binti Barakaili (65) yang tumbuh besar di kawasan perbukitan Donggala ini senang memanjat pohon.
Beranjak dewasa, Aspar tanpa ciut nyali menjajal tebing-tebing alam yang ada di Sulawesi Tengah. Almarhum Jamaluddin Badong, dosen sekaligus seniornya di Kumtapala Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, kemudian menjulukinya babon.
Hobi ekstremnya tak ternyana mendapat restu dan beroleh dukungan besar dari orang tua. Makin yakin saja pengidola Chris Sharma—pemanjat tebing legendaris Amerika Serikat—untuk serius bergelantungan di papan panjat tebing.
Bukti keteguhan hati dan wujud kepatuhannya menggeluti panjat tebing membuatnya tak ragu mengorbankan bangku kuliah. Pun menepis tawaran menjadi tentara yang diberikan Pangdam Siliwangi. Tawaran itu datang menyusul keberhasilannya memenangi lomba yang diadakan oleh Komando Daerah Militer III/Siliwangi.
Ketangkasan dan kecepatannya melompat di berbagai kejuaraan panjat tebing membuatnya sukses mengukir banyak prestasi, mulai dari medali emas dari nomor “Men Speed Classic” di PORPROV Sulteng 2010, juara World Extrem Games 2014 di Shanghai, Cina, hingga yang terbaru menjadi juara dunia dalam IFSC Climbing World Cup alias Kejuaraan Dunia Panjat Tebing 2022 seri Jakarta (24/9/2022).
Saat partai final yang berlangsung di SCBD Park, Jakarta, ia berhasil membukukan waktu 5,39 detik. Mengalahkan kompatriotnya, Kiromal Katibin, dengan selisih yang hanya terpaut 0,36 detik.
Padahal sebelum ajang tersebut berlangsung, nama Aspar tidak masuk daftar unggulan. Dua atlet yuniornya yang sama menghuni pelatnas, yaitu Veddriq Leonardo (juara dunia edisi 2021) dan Kiromal (pemegang rekor dunia di Kejuaraan Dunia Panjat Tebing 2022 seri Chamonix, Perancis) jauh lebih diunggulkan.
Selain karena faktor usia, riwayat cedera putus tendon jari tengah di tangan kanan yang pernah dialaminya membuat banyak orang masih meragu.
Nahas yang menimpa pada akhir 2019 itu membuat impiannya berlaga di ajang Olimpiade Tokyo 2020 pupus. Sempat terpikir olehnya untuk pensiun dari arena panjat tebing. Dorongan semangat yang datang dari orang-orang terdekat membuatnya tegar dan bertekad kembali lebih kuat. Aspar ingin membuktikan bahwa dirinya belum habis. Masih ada target besar yang ingin diwujudkannya.
Kepada Tutura.Id yang menghubunginya melalui aplikasi Zoom (5/10), Aspar bercerita dengan aksen Palu yang kental sambil duduk santai di atas kasur kamarnya. Rambutnya ia cat merah putih. Berikut petikan obrolannya.
Apa cita-cita sebelum menjadi atlet panjat tebing?
Dulu sempat mendaftar jadi tentara dan polisi. Ada lowongan daftar kerja, saya daftar juga. Cuma mungkin belum rezeki saya tidak diterima. Orang tua juga bilang fokus jadi atlet saja sambil kuliah. Waktu kuliah itu saya sudah pasang target kelak mau jadi juara dunia.
Kuliah sambil jadi atlet apa tidak repot?
Nah, itu. Akhirnya 2011 saya memutuskan berhenti kuliah. Padahal waktu itu saya sementara lagi ikut Kuliah Kerja Nyata. Demi fokus jadi atlet panjat tebing supaya dapat juara akhirnya saya korbankan kuliah sudah.
Jadi, bagaimana awalnya mengenal panjat tebing?
Saya kenal olahraga ekstrem ini pada 2007 waktu masuk ke lembaga Mapala Kumtapala di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako. Saya pilih divisi panjat tebing.
Apakah waktu itu spesialisasinya langsung nomor "Speed"?
Awalnya saya bertanding pada kelas “Lead”. Namun, akhirnya saya berpindah haluan mengikuti lomba di kelas “Speed” lantaran waktu ikut Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional di Palembang saya tidak lolos di kelas “Lead”. Akhirnya dialihkan mengikuti kategori “Speed”.
Siapa saja orang-orang yang selama ini memberikan dukungan besar?
Banyak yang terlibat dari awal karier saya kenal panjat tebing ini hingga sekarang. Salah satunya almarhum Jamaluddin Badong yang selalu memberikan masukan dan dorongan hingga saya ikut kejuaraan nasional.
Kampus juga mendukung dengan memberangkatkan ke Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional dan turnamen-turnamen terbuka, semisal mengikuti lomba hingga ke Jakarta dan Makassar. Walaupun waktu itu fasilitas dan pembinaan belum terlalu maksimal. Keluarga juga terlibat dalam memberikan dukungan.
Dari sekian banyak kejuaraan yang pernah diikuti, mana paling berkesan?
Kejuaraan paling berkesan itu waktu saya ikut World Extrem Games 2014 di Shanghai, Cina. Dalam ajang itu untuk pertama kalinya saya jadi juara dunia, termasuk jadi orang pertama dari Indonesia yang juara dunia. Akhirnya dapat tawaran langsung dari Kementerian Pemuda dan Olahraga jadi pegawai negeri sipil lewat jalur prestasi.
Target berikutnya yang ingin diwujudkan?
Sekarang target saya ikut Olimpiade karena itu ajang olahraga tertinggi di dunia. Mencetak prestasi di sana bisa dibilang puncak tertinggi dalam karier. Selain itu saya juga mau menyediakan fasilitas seperti dinding panjat di daerah-daerah.
Berlomba di berbagai kejuaraan internasional, bawaan apa yang selalu ada?
Wajib bawa nasi, kalau tidak beras. Ha-ha-ha.
Saat mengikuti kejuaraan, pernah merasa takut atau jatuh mental?
Mungkin bukan jatuh mental. Hanya memikirkan yang negatif-negatifnya saja kalau kalah bagaimana, sebentar ketemu ini, yang nonton ini. Kalau perasaan takut, sih, tidak terlalu.
Ada momen-momen lucu sebelum pertandingan yang masih diingat?
Paling karena tidak bisa bahasa Inggris. Maklum, orang Palu ini. Di Wani, kan, tidak ada kitorang pakai Bahasa Inggris. Jadi agak bingung waktu baca peraturan kompetisi, nama jalan, hotel, dan bandara. Sementara sehari-hari saya pakai Bahasa Indonesia dan Kaili. Sama pas wawancara juga. Apalagi yang pertanyaannya pakai Bahasa Inggris. Akhirnya saya biasa lari dari wartawan.Ha-ha-ha.
Kenapa suka bertanding dengan mode rambut nyentrik?
Pertama karena saya sebenarnya suka yang unik. Kedua biar jadi pusat perhatian orang lain. Ketiga biar orang tua tahu yang mana anaknya saat lomba. Sama buat motivasi diri sendiri. Kalau kita berani bergaya unik dan jadi pusat perhatiannya orang lain, berarti kita harus berusaha keras untuk menjadi juara. Terakhir biar jadi kenangannya orang lain waktu.
Lalu, panggilan Babon dari mana asalnya?
Babon itu nama “rimba” waktu turun bertanding. Almarhum Jamaluddin Badong yang memberikan julukan tersebut karena dia lihat waktu saya aplikasi panjat tebing lumayan cekatan. Akhirnya melekat sampai sekarang.
Harapannya untuk atlet-atlet muda panjat tebing?
Setiap ikut kejuaraan atau semisal dalam kesempatan acara lain ketemu dengan atlet-atlet muda, saya pasti selalu memotivasi mereka. Saya juga sudah mendirikan Aspar Jaelolo Climbing Club di Wani untuk lebih memantapkan kemampuan serta pengetahuan teman-teman di sana tentang panjat tebing. Sekalian juga saya bikinkan dinding panjat boulder.