“Badut-badut di jalanan
Tumbuh di persimpangan
Hidup terjerat dilema
Kerasnya kehidupan.”
Demikian penggalan bait lirik lagu “Badut-Badut Jakarta” milik kelompok Godbless. Sebuah lagu yang memotret kondisi sosial di ibu kota. Kini fenomena badut-badut itu tak hanya monopoli Jakarta saja.
Sejak setahun belakangan jika rajin menyisir beberapa ruas jalan di kota ini, maka tak jarang terlihat satu atau dua orang yang mangkal atau berkeliling mengenakan kostum aneka karakter kartun. Beberapa orang menyebutnya pengamen berkostum, tapi istilah badut tetap paling familiar.
Sosok pertama yang kami temui bernama Abdul (40). Pria ini sekarang beralih profesi menjadi badut dengan kostum Winnie the Pooh, karakter beruang fiksi yang diciptakan oleh A.A. Milne. Abdul yang biasa menempati pintu keluar Pertamina Towua ini memilih menjadi badut sejak enam bulan silam.
Faktor kesehatan jadi alasan Abdul banting setir menjadi penghibur berkostum. Tak peduli dengan terik matahari yang menyengat dan memeras keringat.
“Saya itu awalnya pekerja bangunan, tapi pernah dapat kecelakaan kerja. Tambah lagi faktor kesehatan, mulai dari prostat, asam urat, dan gula yang berimplikasi ke mata saya. Penglihatan sekarang jadi agak terganggu. Sementara saya tetap harus mencari pekerjaan yang bisa dibilang menghasilkan banyak keringat,” pungkasnya (22/2/2023).
Abdul tidak bekerja sendirian. Ia ditemani seorang putranya yang berumur 17 tahun. Mereka bekerja menerapkan sistem pembagian waktu kerja. Abdul nongkrong sejak pukul 14.00 WITA hingga 18.00 WITA. Selanjutnya hingga pukul 21.30 WITA giliran sang putra tercinta meneruskan bekerja mengenakan kostum yang sama.
“Kalau di Pertamina Towua ini tidak menentu. Terkadang Rp60 ribu sampai Rp100ribu sehari. Kalau ada acara-acara ulang tahun, lumayan bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ungkap Abdul.
Demi menambah penghasilan karena harus menghidupi seorang istri dan empat orang anak, Abdul memang harus putar otak untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Salah satunya menerima orderan acara ulang tahun dan ajang hiburan lain.
Selain sosok orang dewasa yang terbungkus kostum boneka, tak jarang juga yang melakoni pekerjaan ini anak-anak di bawah umur. Lantaran terlilit kondisi ekonomi keluarga, jadinya mereka harus banting tulang ikut mencari uang dengan menjadi badut.
Alif (13), Agil (13), dan Irfan (12) termasuk golongan yang akhirnya harus melakoni pekerjaan ini. Kami menemui mereka di antara keramaian orang-orang yang berdatangan di pusat kulineran Hunian Tetap Duyu, Kecamatan Tatanga.
Rata-rata mereka bisa mengantongi uang Rp130 ribu hingga Rp180 ribu dalam semalam hasil menjadi badut.
“Kalau rame biasa dapat Rp180 ribu. Selesai kerja langsung dibagi dua dengan yang punya kostum,” kata Agil yang menjadikan Donald Duck sebagai andalan.
Karena masih berstatus pelajar sekolah, ketiga anak ini memulai pekerjaannya sore hari, sekitar pukul 17.00 WITA hingga 23.00 WITA.
“Saya sama Agil, kan, masih kelas 1 SMP. Sedangkan Irfan masih kelas 6 SD. Jadi tidak bisa kerja full satu hari,” tutur Alif yang sehari-hari mengenakan kostum Cooky BTS. Irfan yang disebutkan Alif mengenakan kostum Jerry, tokoh kucing yang kerap berseteru dengan Tom dalam serial kartun Tom and Jerry.
Anak-anak sebaya mereka yang hidup dengan nasib lebih beruntung mungkin menghabiskan waktu dengan bermain atau nongkrong. Pun demikian, Agil dan kawan-kawan tidak pernah mengeluh, apalagi harus merasa malu dengan pekerjaannya. “Ini tantangan. Tidak ada alasan untuk malu, karena dari sini kami bertiga bisa dapat rezeki” tandas Irfan.
“Yang pasti kitorang ingin mandiri supaya bisa beli jajan dengan uang sendiri dan bisa bantu orang tua,” pungkas Alif dengan bangga.
badut kota palu urban palu masyarakat budaya sosial Cooky BTS pelajar pengamen pengamen berkostum