Berkembang pesatnya teknologi khususnya media sosial telah menjamah seluruh kalangan umur sebagai penggunanya, mulai dari lansia sampai anak kecil sekalipun. Psikolog anak Seto Mulyadi menyebutnya ibarat pisau bermata dua. Bisa mendatangkan manfaat, tapi juga mudarat.
Pada satu sisi ragam platform medsos yang hadir membuat penyebaran informasi berlangsung cepat dan masif sehingga memungkinkan penggunanya meningkatkan kapasitas pengetahuan.
Namun, di sisi lainnya bisa merusak penggunanya karena bertebarannya aneka konten, mulai dari pornografi, narkoba, judi, penipuan, terorisme, dan dampak destruktif lainnya.
Masa depan generasi penerus, terutama anak-anak, juga terancam dengan paparan konten pornografi yang berkeliaran di medsos. Kemudahan dalam menggunakan gawai tanpa pengawasan ketat orang tua memperbesar peluang itu terjadi.
Faktor lain yang membuat anak-anak bisa terpapar konten-konten tersebut tak terlepas dari kurangnya kesadaran pengguna medsos dalam mengunggah konten, termasuk pornografi, demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Majalah Adweek pernah mewartakan 33% dari seluruh kejahatan seksual yang ada di internet bermula dari media sosial. Para pedofil juga kerap menjadikan kanal-kanal medsos sebagai media beroperasi.
Jika merujuk UU No. 44/2008 tentang Pornografi, yang dimaksud pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), terungkap bahwa 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring (online).
Data tersebut juga mengungkap bahwa 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan pernah terlibat pornografi dan mempraktikkan langsung kegiatan seksual, semisal pencabulan dan lain-lain.
Asisten Deputi Pelayanan Anak Kemen PPPA Robert Parlindungan menambahkan bahwa sebesar 38,2% dan 39% anak pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media daring.
SNPHAR 2021 adalah survei yang melibatkan anak laki-laki dan perempuan rentang usia 13-17 tahun yang tersebar di 236 kecamatan, 178 kabupaten/kota, dan 33 provinsi.
Sementara dalam laporan “Disrupting Harm in Indonesia” yang diterbitkan UNICEF, Interpol, dan ECPAT Indonesia medio tahun ini, disebutkan bahwa sekitar 500 ribu anak di Indonesia menyatakan pernah menjadi korban eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya dalam setahun terakhir.
Jumlah tersebut sangat mungkin bisa jauh lebih banyak mengingat topik ini amat sensitif dan traumatis bagi anak untuk dilaporkan. Tambah lagi pelaku Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) paling sering merupakan orang yang dikenal oleh korban.
Melihat data-data mengkhawatirkan tersebut, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak mengadakan seminar bertajuk “Participation in Child Online Protection System in Palu” yang berlangsung di Hotel Kampung Nelayan, Kamis (29/9/2022).
Seminar membahas terkait saran kepada pemangku jabatan untuk melihat dan memenuhi hak serta perlindungan anak di dunia daring dan menjadikannya prioritas dalam pengembangan kebijakan.
Pasalnya perlindungan anak dari kekerasan, pornografi, dan eksploitasi merupakan salah satu hak dasar yang perlu dipenuhi pemerintah termasuk di ranah daring.
pornografi anak seto mulyadi child online protection kekerasan seksual eksploitasi anak