Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah diresmikan melalui Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 120.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengetuk palu tanda pengesahannya setelah melalui jalan panjang selama satu dekade.
Sementara aturan turunannya yang berupa tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan rampung tahun ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam website resmi Kemenentrian PPPA RI mengatakan, UU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Tak hanya mencegah, regulasi tersebut diharpkan juga bisa menangani, melindungi, dan memulihkan korban serta melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.
Merujuk laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terjadi 11.016 kasus kekerasan seksual kurun tahun 2022. Kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.
Sementara itu, kekerasan seksual di Kota Palu pada 2021 sebelum disahkannya UU TPKS mencapai 12 kasus berupa pemerkosaan dan pencabulan. Sedangkan pada 2022 saat penerapan UU TPKS, tercatat kasus pencabulan dan pemerkosaan sebanyak 4 kasus.
Untuk tahun 2023 berjalan (Januari-Mei), belum ada yang melaporkan terjadinya kasus pencabulan dan pemerkosaan di Kota Palu. Apakah pengesahan UU TPKS berpengaruh terhadap penurunan angka tersebut?
Kasi Pembinaan, Pengembangan Layanan Korban DP3A Kota Palu, Nunung Kusdila ST, menjawab hadirnya UU TPKS membantu kepastian hukum bagi para korbannya. Pun demikian, edukasi dan sosialisasi terhadap regulasi ini masih perlu dilakukan.
Harapannya lebih banyak lapisan masyarakat mengetahui apa saja bentuk dan jenis-jenis kekerasan seksual yang terdapat dalam UU TPKS. Sehingga nantinya mereka tahu apa yang harus dilakukan bila terjadi kekerasan seksual pada diri sendiri maupun orang terdekat.
“Dengan adanya UU TPKS justru lebih menjamin perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan serta restitusi. Bukan berarti mereka memahami tentang berlakunya undang-undang tersebut,” tulis Nunung saat di hubungi Tutura.Id via WhatsApp, Rabu (24/5/2023).
Bentuk dan jenis kekerasan
Merujuk UU TPKS Pasal 4 Ayat 1, ada sembilan jenis tindakan kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selanjutnya, Pasal 4 Ayat 2 menyebutkan jenis-jenis kekerasan seksual yang termasuk dalam tindak pidana, meliputi perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Adapun tindakan kekerasan seksual lainnya, yakni pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
UU TPKS juga mengatur ancaman hukuman yang cukup beragam sesuai dengan jenis tindak kekerasan yang dilakukan. Tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang ada.
Misalnya, Pasal 16 Ayat 1 menegaskan bahwa selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih.
Kemudian Pasal 16 Ayat 2 menambahkan vonis menjatuhkan tindak pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampuan; pengumuman identitas pelaku; dan perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun dalam hal ini tidak berlaku untuk pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.