Kekerasan seksual di jalanan dan ruang publik Kota Palu
Penulis: Pintara Dinda Syahjada | Publikasi: 26 Juni 2023 - 14:32
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Kekerasan seksual di jalanan dan ruang publik Kota Palu
Ilustrasi seorang perempuan dengan setelan olahraga bersiap joging (Sumber: Shutterstock)

“Saya merasa apa yang salah dengan pakaianku? Kenapa saya yang jadi sasaran empuk? Padahal saya hanya pakai hoodie yang biasa.”

Pernyataan yang penuh dengan kebingungan, rasa sakit, malu, hingga traumatis di atas terlontar dari mulut D, perempuan muda berusia awal 20-an tahun yang jadi korban kekerasan seksual di jalanan.

D mengaku mengalami kekerasan seksual saat hendak pulang ke rumahnya di seputaran Jalan Soekarno-Hatta. Dia merasa lebih dekat bila memotong lewat Hutan Kota, Kelurahan Talise, Mantikolore, Kota Palu.

Seingat D, saat itu 19 Mei 2023 sekitar pukul 09.00 WITA, ada beberapa motor di depannya juga berbelok ke arah gerbang Hutan Kota. Dia pun menyakini orang-orang itu hendak ke kantor yang letaknya di kawasan ruang terbuka hijau itu. 

Merasa tidak sendiri, D yakin telah memilih jalan yang aman. Ternyata saat melewati kantor, D sendirian. Nah, saat berada di sekitar tanjakan tiba-tiba D merasa motornya bergoyang dan seketika ada tangan di pahanya.

“Awalnya saya pikir itu temanku, tapi tangannya sudah di pahaku usaha mau kasih naik celanaku pokoknya. Saya rasa itu sudah sampe paha celanaku tabuka, kak. Karena panik, saya lihat orangnya,” ungkap D.

Ketika kesadarannya mulai muncul, D mengaku panik. Dia pun berteriak sembari tancap gas. D refleks ingin berada sejauh mungkin dengan pelaku.

Sementara, menurut D pelaku hanya diam di tempat. Namun D, sempat menengok ke belakang dan melihat pelaku tersenyum di balik maskernya. Terdiam di tempat dan tidak mengejarnya. Bahkan si pelaku memutuskan balik arah memutar kembali ke dalam Hutan Kota.

Dia kemudian mengaku tidak pernah lupa dengan wajah, pakaian, motor, dan barang apa yang bersama pelaku pada hari itu. D merasa yakin pelaku adalah orang sekitar tempat kejadian. Sebab, pelaku menggunakan atasan hoodie dan tanpa menggunakan helm.

Tabung gas yang dibawa pelaku juga mengindikasikan bahwa pelaku keluar rumah untuk membeli kebutuhan dapur. Olehnya, D yakin pelaku tinggal di sekitar Hutan Kota.

Dia juga mengaku masih ingat ciri-ciri fisik pelaku. D mengidentifiksi pelaku sebagai seorang laki-laki berusia 20-25 tahun, berkulit putih, lumayan tinggi, dan berisi badannya. Pelaku menggunakan motor merek Vario berwarna merah.

“Mungkin menurut beberapa orang hal seperti ini bukan hal yang serius, tetapi bagi kita perempuan ini bahaya. Ini badannya kita terus ada yang pegang. Merasa benci dan trauma. Jengkel sama diri sendiri juga kayak kenapa bisa dapat tindakan seperti itu. Apa karena pakaianku? Padahal saya pakai hoodie yang biasa saja,” sambung D.

Dia pun mengaku menaruh minat dengan berita jurnalis perempuan yang juga mendapatkan kekerasan seksual di jalanan dan dilecehkan di Hutan Kota, kawasan yang sama dia juga dilecehkan. D merasa yakin pelaku adalah orang yang sama.

Penjelasan soal ciri pelaku yang dituliskan di berita membuatnya yakin. Terkhusus soal narasi yang menulis bahwa pelaku menggunakan masker dan tidak menggunakan helm saat melakukan aksinya.

“Karena saya baca ciri (pelaku) kejadian jurnalis itu, dia bilang tidak pakai helm dan pakai masker. Menurutku orang yang sama, karena mungkin tinggal di sekitaran Hutan Kota,” ungkap D.

Ilustrasi betapa mengendarai motor seorang diri melewati jalur sepi bagi perempuan rentan jadi korban kekerasan seksual (Sumber: Shutterstock)

Bukan kali pertama

Kejadian kekerasan seksual jalanan di Hutan Kota, bukan hanya sekali atau kali pertama terjadi. D meyakini kejadian yang menimpa jurnalis perempuan entah seperti apa, terhubung ke peristiwa yang dialaminya beberapa waktu lalu itu.  

Melansir Media Alkhairat (13/6/2023), telah terjadi kekerasan seksual di jalanan yang menimpa seorang jurnalis perempuan di Palu berinisial N. Hal tersebut terjadi pada sore hari saat korban sedang naik motor berjalan-jalan di Kawasan Hutan Kota Palu untuk meliput supervisi Kompolnas ke Polda Sulteng.

Akun @like_palu di laman Instagram-nya juga menuliskan bahwa N dibuntuti seorang pengendara motor yang memakai masker dan tidak menggunakan helm. Awalnya N mengira yang mengikutinya dari belakang adalah temannya, tapi dugaannya salah. Orang itu tiba-tiba memegangi payudaranya. Istilahnya sekarang "begal payudara".

Kejadian yang menimpa N lantas memantik reaksi keras dari organisasi profesi jurnalis di Kota Palu. Dikutip dari Tribun Palu, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah Muhammad Ikbal mengatakan Hutan Kota tidak ramah terhadap perempuan.

Oleh karena itu, perlu penanganan yang tegas dari aparat. AMSI mendesak pula agar pemerintah tidak hanya menyediakan tempat umum, harus dibarengi dengan penempatan aparat keamanan, bisa Satpol PP atau polisi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu Yardin Hasan menuntut kekerasan seksual yang dialami N segera diusut tuntas. Fakta bahwa korban mengalami kekerasan di tempat publik mengindikasikan bahwa darurat kekerasan seksual di Sulteng makin nyata adanya. Pasalnya, kekerasan seksual tidak hanya terjadi ruang privat, tapi juga di tempat keramaian.

“AJI Palu melalui Divisi Advokat dan Divisi Gender/Kelompok Marginal (GAK) mengawal kasus ini agar diproses. AJI Palu ikut mendampingi korban saat melapor ke polres beberapa waktu lalu, ” tulis Yardin dalam dalam pesan WhatsApp kepada Tutura.Id, Selasa (20/6).

Sementara itu, Tribun Palu menuliskan bahwa Kapolresta Palu Kombes Pol. Barliansyah mengatakan pihaknya dalam proses pencarian pelaku.

Jika merujuk pada kasus serupa yang terjadi di Pekalongan, Maret 2022, Kapolres Pekalongan AKBP Arief Fajar Satria menjerat pelaku dengan Pasal 289 KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya sembilan tahun penjara.

Sedangkan jika korbannya masih di bawah umur, polisi menjerat dengan pasal 82, UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Ruang publik, semisal tempat berolahraga, seharusnya jadi tempat yang aman dan nyaman bagi warga untuk melakukan aktivitas (Sumber: Shutterstock)

Berbeda dengan eksibisionis

Perilaku kekerasan seksual jalanan berupa pemegangan payudara, paha, dan bagian privat perempuan lainnya dalam kaca mata psikologi dikategorikan sebagai gangguan psikologis. Gangguan ini bisa jadi karena hasrat seksual yang tidak tersalurkan.

Psikolog klinis, Rini Junita Bakri Hasanudin, M.Psi menerangkan dugaan gangguan psikologis akibat hasrat seksual ini hanya berlaku pada laki-laki dewasa. Namun bila pelaku adalah anak dan remaja, bisa jadi pemicunya lantaran faktor lain.

“Gangguan psikologis itu kan berspektrum dari yang ringan sampai yang berat. Nah, manusia juga pada umumnya tidak bermasalah sampai bermasalah. Jadi tetap selalu ada kemungkinan bahwa bisa jadi dia normal, hanya, ya, itu tadi, lihat pelakunya. Kalau dia remaja atau anak-anak besar kemungkinan itu pengaruh dari konformitas. Adu-aduan ikut ramai,” ungkap Rini.

Psikolog yang membuka praktik di Kota Palu ini mengungkapkan perlu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan sejauh mana gangguan psikologis yang dialami pelaku.

Namun, gangguan karena hasrat seksual yang tidak tersalurkan sebenarnya bisa dijelaskan secara keilmuan. Bisa jadi pikiran obsesif tentang seksual menjadi pemicu perilaku untuk melakukan kekerasan seksual.

“Sampai terlalu padat isi kepalanya dengan konten seksual itu. Jadinya perilakunya menjadi seseorang yang melakukan pelecehan seksual dengan memegang hal yang tidak perlu dia pegang, seperti payudara,” tulis Rini melalui pesan suara WhatsApp, Senin (19/6).

Rini lebih lanjut menjabarkan bahwa pelaku kekerasan seksual di jalanan (memegang area privat perempuan, red.), berbeda dengan gangguan yang dialami laki-laki yang memamerkan alat kelamin di jalanan. Dia menyebut bila perilaku memamerkan alat kelamin itu disebut dengan eksibisionis. 

“Itu sudah pakem jadi gangguan psikologis. Kalau begal payudara belum tentu gangguan. Bisa jadi sekadar menunjukkan kekuasaan mencari kesenangan dan kepuasan lewat cara itu, tapi ada juga kemungkinannya pelaku mengalami gangguan,” sambungnya.

Segala tindakan preventif untuk meminimalisir angka kekerasan seksual, di area publik maupun privat, seperti menyediakan petugas tentu sangat penting. Pun demikian mengontrol hasrat sendiri tak kalah pentingnya. Sebab yang paling bisa mengontrol hasrat adalah diri sendiri. Bukan orang lain, apalagi korban yang tidak bersalah.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
1
Kaget
0
Marah
2
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kenaikan harga beras bikin dilema pemilik warung makan
Kenaikan harga beras bikin dilema pemilik warung makan
Harga beras di Kota Palu kembali melambung. Banderol paling mahal Rp15.500 per kilogram. Pemilik usaha…
TUTURA.ID - Mengatasi persoalan krisis lahan makam di Kota Palu
Mengatasi persoalan krisis lahan makam di Kota Palu
Di balik siluet Kota Palu yang menawan, terselip kekhawatiran tentang krisis lahan pekuburan. Pengelolaan makam…
TUTURA.ID - Puan pengemudi ojek daring rentan jadi korban diskriminasi dan pelecehan
Puan pengemudi ojek daring rentan jadi korban diskriminasi dan pelecehan
Echy Abigail alias Mami dan Susanti berbagi kisah sebagai perempuan yang berprofesi menjadi pengemudi ojek…
TUTURA.ID - Petugas Damkarmat Palu: Usir jin hingga pasang tabung gas
Petugas Damkarmat Palu: Usir jin hingga pasang tabung gas
Petugas pemadam kebakaran kini tak melulu memadamkan api, tapi juga merespons berbagai laporan lain. Terkadang…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng