Deru angin menciptakan riak pada genangan air di kolam-kolam garam area penggaraman Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Aroma laut yang kuat menyeruak dari arah Teluk Palu. Di sore yang tenang itu, sejauh mata memandang masih terlihat bekas reruntuhan bangunan pascabencana 28 September 2018. Menjadi background para petani yang tampak terlihat masih sibuk di kolam masing-masing.
Ada yang membersihkan tambak, mengangkat karung garam, dan memanen hasil garam. Ada pula yang beristirahat di pondok-pondok kecil yang dibangun di tepi tambak garam.
Beraktivitas di sore hari boleh jadi pilihan agar terhindar dari sengatan matahari yang kuat. Apalagi di area kolam tidak ada teduhan pohon yang bisa melindungi kulit.
Satu-satunya tempat berteduh adalah pondok kecil yang dibangun petani di antara petakan kolam.
Seorang pria yang terlihat paling muda di antara para petani itu menarik perhatian Tutura.Id. Saat itu dia sibuk mengeruk permukaan kolam dengan sekop berbahan kayu.
Petani itu bernama Arief. Umurnya 29 tahun. Dia tampak semringah ketika disapa.
"Garam harus selalu dirawat. Lumut-lumut ini harus dikeluarkan karena biasa ganggu kristal garam terbentuk," jelas Arief pelan saat ditemui pada Selasa (31/10/2023).
Arief mengungkapkan ada beberapa garam yang terbentuk tapi menghitam. Dia harus memisahkan garam itu karena akan menjadi bahan pupuk tanaman.
Sementara kristal garam yang putih bersih pertanda kualitas bagus sudah berjejer dalam tiga karung di sebelahnya. Itu khusus pangan rumah tangga.
Lebih lanjut, Arief mengungkapkan dalam seminggu dirinya dapat memanen lima karung garam dari empat petak ladang garamnya. Sekarung garam bisa berbobot 50 kilogram.
Mulai bertani garam sejak SD
Dari segi usia, Arief yang tergolong generasi Z (GenZ) memilih menjadi petani garam meneruskan usaha keluarga.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) dia mengaku telah membantu kakek neneknya bekerja di tambak garam.
Di pondok kecil miliknya, Arief bercerita keluarganya memiliki empat petak tambak garam berukuran sekitar 10x 8 meter. Tambak itu diwariskan secara turun temurun.
"Saya dulu dari kecil sering ikut-ikut nenek, ba tare garam. Jadi sampai sekarang terbiasa. Sekarang nenekku tenaganya sudah tidak kuat. Saya yang gantikan," jelas Arief.
Dia mengaku menikmati pekerjaannya sebagai petani garam. Keterampilan membuat garam sejak kecil membuatnya tidak sulit menjalani hari-harinya di tambak garam.
Arief mengungkapkan menjadi petani garam tidak memerlukan banyak modal. Apalagi dia tidak perlu membeli tanah untuk dijadikan tambak garam. Selain itu, ritme kerja yang cenderung santai.
Sosok Arief sebagai petani garam GenZ ini tergolong langka. Sebab rata-rata petani garam di Talise sudah memasuki usia senja. Berdasarkan laporan benarnews.org, jumlah petani garam terus menurun.
Pasca zaman kemerdekaan Indonesia 1945, penggaraman Talise yang dikelola oleh warga Palu Dari tahun 1945 hingga tahun 1970, jumlah petani garam mencapai 300-an orang. Memasuki tahun 1980 hingga 1990, jumlah petani garam mengalami penurunan hingga saat ini tersisa sekitar 160 orang.
Dibeli murah tengkulak
Meski secara pribadi menjadi petani garam adalah pekerjaan yang nyaman bagi Arief, dia mengakui petani garam saat ini mengalami masa sulit.
Memang benar bila kemarau panjang adalah berkah bagi mereka, karena kristal garam akan mudah terbentuk di bawah terik matahari. Produksi garam bisa lebih banyak karena peluang gagal panen kecil.
Namun, produksi yang tinggi bukan berarti rejeki berlimpah. Pasalnya harga jual garam saat ini tergolong rendah. Belum lagi masalah dibeli murah oleh tengkulak.
Arief mengungkapkan harga jual mulai dari Rp5.000 per liter untuk garam pupuk, Rp10.000 untuk garam ikan, dan Rp15.000 per liter untuk garam konsumsi.
Khusus produksi garamnya, Arief mengaku dalam seminggu bisa memanen garam rata-rata hingga lima karung saat musim kemarau seperti saat ini. Tetapi harga jualnya hanya berkisar Rp.50.000 per karung.
"Biasanya 75.000 per karung. Sekarang bisa 50.000 per karung diambil tengkulak saja. Padahal dari segi kualitas garam, Talise ini memiliki keuntungan karena bisa menyuburkan tanaman. Selain itu karakter garam Talise lebih cepat larut," imbuhnya.
Cerita berbeda hadir jika musim penghujan. Produksi garam jadi menurun. Alhasil dapat membuat harga garam mencapai Rp100.000 per 50 kilogram alias Rp2.000 per satu kilogram.
Jika cuaca kurang baik, kualitas air yang digunakan untuk mengairi petak juga akan kurang baik karena air yang menjadi rendah kadar asinnya.
Selain itu, kondisi lainnya adalah hasil panen garam dalam karung yang minim pengawasan akan rawan terjadi pencurian. Kondisi ladang garam yang tanpa pengamanan membuat orang bisa leluasa keluar masuk.
Arief mengaku pernah kehilangan setengah karung garam beberapa kali. Pengalaman tersebut membuatnya tidak lagi meninggalkan garam di ladangnya.
"Sebenarnya menjadi petani garam itu menguntungkan. Hanya cuaca yang tidak menentu membuat penghasilanya juga tidak menentu. Kalau petani garam sudah kepepet, mereka bisa jual berapa saja yang diminta tengkulak," tuturnya.
Karena alasan itu pula Arief dan keluarganya menjual garam hasil panen sendiri. Halaman rumah menjadi tempat timbunan karung garam untuk dijajakan yang tak jauh dari wilayah penggaraman Talise.
Untuk menyiasati hal itu, Arief memiliki pekerjaan lain. Dia bekerja sebagai buruh kerja di sebuah pergudangan yang terletak di seputaran Tondo.
Saat pulang kerja, pada sore hari, Arief akan mengurusi ladang garamnya. Ia mengaku akan tetap menjadi petani untuk mempertahankan warisan keluarganya yang sudah turun temurun.