Selama dua dekade terakhir, antara 2001-2021, Sulawesi Tengah kehilangan 745 ribu hektare tutupan pohon. Laju kehilangan tutupan pohon di Sulteng itu mencapai 3,86 hektare per jam--setara dengan lima lapangan sepak bola saban jam berganti.
Angka 745 ribu hektare itu menempatkan Sulawesi Tengah berada di posisi sembilan nasional dalam perkara kehilangan tutupan pohon.
Pun tidak ada provinsi lain di Sulawesi yang kehilangan tutupan pohon seluas Sulteng. Paling dekat dengan peringkat Sulteng ialah Sulawesi Tenggara; berada di posisi 14 dan kehilangan 505 ribu hektare tutupan pohon.
Adapun tiga besar provinsi yang paling banyak kehilangan tutupan pohon ialah: Riau (4 juta hektare), Kalimantan Barat (3,69 juta hektare), dan Kalimantan Timur (3,55 juta hektare).
Rangkaian statistik tersebut disajikan oleh Global Forest Watch, sebuah layanan daring yang menyediakan data dan perangkat pemantauan hutan di seluruh dunia.
Melihat detil data khusus Sulteng, Morowali menyumbang kehilangan tutupan pohon paling luas. Setidaknya 149 ribu hektare tutupan pohon lenyap dari Morowali. Selanjutnya menyusul Banggai (111 ribu hektare) dan Tojo Una-Una (106 ribu hektare).
Sebagai catatan, tutupan pohon tak selalu tentang hutan. Global Forest Watch mengklasifikasikan tutupan pohon pada tiga kategori: Natural forest (hutan), plantations (perkebunan), dan area non-hutan.
Adapun di Sulteng, saat ini, 88 persen dari tutupan pohon bersumber dari hutan. Ihwal rimba, Sulteng patut berbangga; barangkali juga sekaligus waswas dengan ancaman pengrusakannya. Pasalnya, Sulteng masih punya 5,59 juta hektare hutan--posisi sembilan nasional tentang luasan hutan.
Global Forest Watch juga memberikan disklaimer (penafian) tentang kemungkinan perbedaan data dengan otoritas Indonesia. Ringkasnya, layanan itu mengakui ada perbedaan klasifikasi hutan primer dan sekunder dengan otoritas Indonesia.
Memahami tutupan pohon
Empat peneliti dari World Resources Institute (WRI), organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu lingkungan, menjelaskan bahwa kehilangan tutupan pohon punya karakter berbeda-beda.
Ada kalanya kehilangan tutupan pohon tak berkaitan dengan deforestasi (atau penggundulan hutan). Misalnya, aktivitas perladangan berpindah yang menghilangkan tutupan pohon, tetapi sifatnya sementara dan bisa tumbuh kembali secara alami. Hal itu membuatnya tak perlu terlampau dirisaukan pengambil kebijakan.
Di sisi lain, kehilangan tutupan pohon bisa merisaukan bila diakibatkan oleh aktivitas skala besar dan bersifat permanen, misalnya: pertambangan, produksi migas, perkebunan monokultur, dan permukiman.
Problemnya: pertambangan, migas, dan perkebunan monokultur (macam sawit) hampir selalu bersinonim dengan cuan. Capaian ekonomi Morowali merupakan contoh dari pengembangan sektor tambang.
Meski begitu kebaikan ekonomi jangka pendek tak boleh pula mengabaikan lingkungan--yang sifatnya jangka panjang. Sebagaimana yang sering diungkap oleh para ilmuwan, krisis iklim akan mengakibatkan lebih banyak bencana dan mengancam umat manusia.
The Guardian menulis bahwa menanam miliaran pohon di seluruh dunia adalah cara paling murah untuk mengatasi krisis iklim dan pemanasan global. “Saat pohon tumbuh, ia menyerap dan menyimpan emisi karbon dioksida yang mendorong pemanasan global,” demikian penjelasan ringkas ihwal manfaat pohon sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim dan pemanasan global.
Selain itu, bagi area perkotaan, pohon bisa menjamin kualitas udara yang lebih baik, memperbaiki kualitas kesehatan warga, dan meningkatkan nilai ekonomi properti.