Melanjutkan spirit kepahlawanan Tombolotutu
Penulis: Grefi Marchella | Publikasi: 10 November 2022 - 12:07
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Melanjutkan spirit kepahlawanan Tombolotutu
Ilustrasi wajah Tombolotutu (Sumber: Arsip Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong)

Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan saban 10 November, Pemerintah Republik Indonesia seperti biasa menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh yang berkontribusi besar terhadap bangsa dan negara.

Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/TK/Tahun 2022 menyematkan gelar anumerta ini kepada Dr. dr. H. R. Soeharto dari Provinsi Jawa Tengah, KGPAA Paku Alam VIII dari Daerah Istimewa Yogyakarta, dr. R. Rubini Natawisastra dari Provinsi Kalimantan Barat, H. Salahuddin bin Talabuddin dari Provinsi Maluku Utara, dan K. H. Ahmad Sanusi dari Provinsi Jawa Barat.

Saat episode pemberian gelar serupa tahun lalu yang berlangsung di Istana Negara, Jokowi menyerahkan plakat pahlawan nasional kepada Tombolotutu yang diterima oleh Andi Mulhanan Tombolotutu selaku ahli waris.

Hingga saat ini Tombolotutu masih jadi tokoh pertama dan satu-satunya asal Sulawesi Tengah (Sulteng) yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Mayoritas anak zaman kiwari mungkin lebih familiar dengan sosok ini lantaran Tombolotutu dijadikan nama jalan di Kelurahan Talise yang menghubungkan antara Jalan Yos Sudarso dengan pertigaan Jl. Lagarutu, Jl. Soekarno-Hatta, dan Jl. Sisingamangaraja.

Ada satu buku yang bisa menjadi rujukan bagi siapa pun yang ingin mengetahui sepak terjang sosok bangsawan asal Kerajaan Moutong itu. Sebab masa lampau turut membentuk apa yang terjadi dan kita nikmati sekarang. Pun merupakan guru dan teladan bagi kehidupan manusia. Olehnya Bung Karno pernah berpesan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

Keberanian dan kegigihan Tombolotutu bersama para pasukannya melawan penjajah Belanda termaktub dalam buku berjudul Bara Perlawanan di Teluk Tomini: Perjuangan Melawan Belanda.

Buku setebal 256 halaman hasil cetakan penerbit Ombak pada 2017 ditulis oleh dosen sejarah di Universitas Tadulalo, Palu, Lukman Nadjamuddin, bersama Wilman D. Lumangino, Mohammad Sairin, Idrus A. Rore, Sunarto Amus, dan Fatma.

Lukman dan kawan-kawan berhasil menelusuri aneka sumber tertulis penting untuk merekonstruksi perlawanan Tombolotutu atau Pua Darawati dalam membebaskan rakyat Moutong dari ketidakadilan dan intervensi Belanda pada awal abad ke-20.

Sumber tertulis yang dimaksud antara lain dalam bentuk Besluit van Gouverneur (Keputusan Gubernur), Algemeen verslag van het Residentie Manado (Laporan Umum Kediaman Manado), koran, dan majalah yang terbit pada masa peristiwa tersebut terjadi.

Buku ini tak hanya mengulas tentang aksi heroik Tombolotutu dalam berbagai medan peperangan, mulai dari Lobu, Lebiti, Bolano, hingga berakhir di Toribulu, tapi juga menggambarkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi Kerajaan Moutong pada akhir abad ke-19. Kondisi yang kemudian membuat Tombolotutu bersama para pengikut setianya mengibarkan bendera perang melawan penjajah.

Cerita dalam buku ini diawali dengan potensi ekonomi yang terhampar di kawasan Teluk Tomini. Kerajaan Moutong, meski dengan permukaan bentang lahan yang tidak rata, dikenal sebagai wilayah dengan potensi kekayaan alam melimpah.

Perbukitan dengan batuan granit di wilayah tersebut memiliki kandungan logam mulia seperti emas, perak, dan platina yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini awalnya disadari oleh penduduk lokal yang tinggal di sepanjang aliran sungai ketika menemukan kandungan emas yang bercampur dengan butiran pasir.

Memasuki abad ke-19 bersamaan dengan terungkapnya potensi kekayaan alam terutama emas di kawasan Teluk Tomini, Belanda mulai mengarahkan perhatian ke daerah tersebut, khususnya di wilayah Moutong.

Syahwat ingin menguasai emas di Moutong tak hanya milik Belanda, melainkan juga pelaut-pelaut Bugis dan Mandar. Perebutan emas ini juga diikuti oleh penguasa lokal dari Gorontalo dan Palu.

Untuk memuluskan aksinya, Pemerintah Hindia Belanda pada 25 Februari 1899 menyodorkan kontrak pelengkap kepada Daeng Malino, yang kelak menjadi pewaris tahta Kerajaan Moutong.

Isinya memuat tentang kesediaan penguasa Moutong dan para bangsawan untuk mengakui dan bersedia menerima kehadiran perusahaan-perusahaan pertambangan asal Belanda sepanjang ada jaminan pemerintah bahwa penguasa dan bangsawan memperoleh bagian keuntungan yang menjadi haknya.

Kontrak itu diterima dan ditandatangani oleh Daeng Malino, yang pada 11 Juni 1989 ditahbiskan sebagai Raja Moutong menggantikan takhta Raja Pondatu.

Jika merujuk tradisi Suku Kaili yang lebih memprioritaskan kebangsawanan dari garis keturunan pihak ibu (matrilineal), Tombolotutu yang juga kemenakan Raja Pondatu sama seperti Daeng Malino seharusnya lebih berhak menjadi raja.

Campur tangan Belanda yang kemudian mengerek Daeng Malino menuju singgasana kepemimpinan karena dianggap lebih akomodatif. Sebuah keputusan yang mendapat kritik dari anggota parlemen Belanda karena mengakibatkan ongkos politik yang besar berupa perang.

Intervensi Belanda yang mengacaukan tatanan sosial politik di Kerajaan Moutong karena hendak menguasai sumber daya alam di wilayah tersebut menjadi awal perlawanan Tombolotutu.

Mengusung semboyan natuvu naberoka, namate maupa” yang berarti hidup penuh berkah, mati meninggalkan nama, Tombolotutu mulai bergerilya untuk menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kondisi baru yang terbentuk akibat intervensi kolonial.

Bagi Tombolotutu, sikap Daeng Malino yang menerima kontrak politik dan juga eksploitasi pertambangan oleh perusahaan Belanda menjadi simbol jatuhnya wibawa Kerajaan Moutong. Sebuah coreng yang tidak bisa dibiarkan dan harus secepatnya dihapuskan apa pun caranya, termasuk dengan mengobarkan peperangan.

Tombolotutu dengan didampingi para tadulako kepercayaannya lantas bersiasat melakukan gerilya berbekal sumpit, tombak, dan parang sebagai senjata. Sementara Pemerintah Kolonial Belanda mengerahkan Korps Marechaussee te Voet alias Marsose, pasukan berisi serdadu-serdadu terbaik yang terkenal sejak Perang Aceh. Persenjataan mereka lebih modern dan lengkap.

Selama mengobarkan peperangan, Tombolotutu yang kerap berpindah-pindah juga bertemu dan meminta bantuan para penguasa setempat untuk bersama melawan Belanda. Termasuk ketika sedang berada di Toribulu yang menjadi wilayah kekuasaan mertuanya Raja Sapewali. Di tempat inilah Tombolotutu mengembuskan napas terakhir setelah mengobarkan perangnya yang terakhir. Loliba’i, tadulako atau panglima perang kesayangan Tombolotutu, turut gugur dalam peristiwa tersebut.

Fragmen yang menamatkan perjuangan Tombolotutu bersama pasukannya itu diilustrasikan secara rinci dan penuh emosi dalam buku ini. Begitu juga dengan alur penceritaannya. Pembaca seolah hadir dalam setiap episode perjalanan sang pahlawan. Membuatnya jadi buku sejarah yang tidak membosankan.

Masa berganti, namun perjuangan yang dilakukan Tombolotutu bersama para pengikutnya masih terasa relevan. Mencuplik pernyataan Jefrianto dari Komunitas Historia Sulteng, semangat pantang menyerah, cinta tanah air, teguh dalam pendirian, antikorupsi, kolusi, dan nepotisme harus menjadi tulang punggung dalam membangun Sulteng hari ini.

Judul Buku : Bara Perlawanan di Teluk Tomini: Perjuangan Melawan Belanda

Pengarang : Lukman Nadjamuddin dkk.

Penerbit : Ombak (Anggota IKAPI), Yogyakarta

Tebal : xx + 256 hlm

Harga : Rp100.000

Rilis : 2017

Sampul buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta

 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
6
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Tabaro dange, panganan berbahan sagu khas Kaili
Tabaro dange, panganan berbahan sagu khas Kaili
Tabaro dange jenis kuliner khas nan unik dari Tanah Kaili. Ia bisa jadi makanan utama;…
TUTURA.ID - Ihwal semarak kembang api dalam perayaan malam tahun baru
Ihwal semarak kembang api dalam perayaan malam tahun baru
Merayakan malam tahun baru seolah tak afdal tanpa pendar kembang api. Sejak kapan kebiasaan ini…
TUTURA.ID - Memupuk militansi penutur Bahasa Kaili yang kian memudar
Memupuk militansi penutur Bahasa Kaili yang kian memudar
Kebanyakan to Kaili, terutama remaja, di Kota Palu merasa kurang bangga menggunakan Bahasa Kaili. Mereka…
TUTURA.ID - Mengembangkan tradisi lisan agar tak lekas punah
Mengembangkan tradisi lisan agar tak lekas punah
Komunitas Seni Tadulako—Yayasan Tadulakota menggelar acara "Merangkai Kearifan Lisan Bumi Tadulako" sebagai upaya agar seni…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng