
Lima belas hari sebelum pergantian Tahun 2023 ke Tahun 2024, Balai Bahasa Sulawesi Tengah (Sulteng) merampungkan proyek pembuatan 32 buku dongeng cerita dwi bahasa untuk anak 4-6 tahun. Buku ini ditulis dengan menggunakan bahasa daerah yang ada di Sulteng dan Bahasa Indonesia.
Ada 32 buku dengan 32 cerita karangan 40 penulis lokal Sulteng yang direkrut melalui pengumuman terbuka di media sosial resmi Balai Bahasa Sulteng. Buku ini diluncurkan langsung pada 16 Desember 2023 di Sriti Convention Hall, Jalan Durian, Kamonji, Palu Barat.
Kepala Badan Balai Bahasa Sulawesi Tengah Dr. Asrif S.Pd., M.Hum. kepada Tutura.Id menjelaskan proyek pembuatan 32 buku cerita dwi-bahasa ini berangkat dari sebuah keresahan. Belum ada pengarsipan kearifan lokal dalam buku berbahasa lokal di Sulteng, khususnya bagi anak umur 4-6 tahun.
“Kita sama sekali tidak punya arsip buku dengan bahasa daerah. Jomplang sekali dengan daerah lain. Makanya kami kemudian mendorong penulis untuk bergabung dengan proyek ini, ” ujar Asrif yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis (29/12/2023).
Ia menambahkan proyek pembuatan 32 buku ini tidak hanya menyasar soal literasi anak, namun memiliki visi jauh ke depan. Asrif mengatakan kearifan lokal Sulteng harus diupayakan untuk diglobalkan. Buku cerita ini bisa jadi bahan promosi memperkenalkan Sulteng dari hal-hal yang sederhana seperti cerita rakyat yang biasa didengarkan sehari-hari.
Adapun 32 buku tersebut memuat bahasa Kaili (dialek rai, ledo, doi, dan unde) lalu bahasa Lauje, Buol, Banggai, Tajio, Dondo, Pamona, Mori, dan Saluan.

Proses produksi
Pembuatan buku karangan cerita berdasarkan kearifan lokal ini dimulai dengan menyeleksi penulis. Asrif menjamin bahwa para penulis merupakan profesional dan berkompeten. Apalagi mereka adalah anak daerah setempat.
Untuk memantapkan proses penulisan, 40 penulis lokal itu mendapat bimbingan selama 10 bulan. Periode waktu itu termasuk penulisan dan penyelesaian cerita. Asrif mengaku dirinya menuntut profesionalitas tinggi.
“Jadi untuk penulisnya kami lakukan seleksi ketat, kami berikan pelatihan langsung dari Balai Bahasa Nasional yang memang ahli di bidang penulisan dongeng. Agar mereka benar-benar bisa menulis buku yang dapat dipahami oleh anak-anak,” ungkapnya.
Selain dari aspek penulisan cerita dan kebahasaan, Asrif mengatakan pihaknya turut memikirkan ilustrasi buku. Pencipta gambar alias illustrator ditunjuk langsung oleh Balai Bahasa Nasional.
Alasannya, pihaknya ingin ahli yang mengerjakannya dan dikarenakan buku ini harus bisa menarik perhatian anak agar mau dibaca. Sehingga pengerjaannya ia lakukan dengan kehati-hatian dan penuh dengan banyak pertimbangan
“Proyek ini paket komplit yang sangat fenomenal. Peluncuran 32 buku dengan bahasa daerah ini pun juga melahirkan penulis yang diharapkan bisa menulis buku anak, karena memang kita sama sekali belum mempunyai penulis seperti itu di Sulteng,” ujar Asrif.
Menyoal akses terhadap buku, Asrif mengakui bila jumlah buku masih terbatas hanya bisa dibaca di perpustakaan yang ada di Kota Palu dan beberapa perpustakaan di kabupaten. Ad juga beberapa mitra komunitas yang diberikan buku.
“Buku ini bisa dibaca di perpustakaan. Ada juga yang kami bagikan dibeberapa mitra yang kami percayakan. Seperti Rubalang, beberapa sekolah yang memang peduli akan literasi berbahasa daerah. Karena kami tidak mau buku ini tidak bertemu dengan pembacanya,” ungkapnya.
Proyek fenomenal ini kata Asrif bisa saja mencetak lebih banyak buku bila kepala daerah atau kepala sekolah menyurat kepada Balai Bahasa Sulteng. Namun dengan kesepakatan dan syarat bahwa buku itu benar-benar dibaca.
“Ini aset daerah yang mahal dan berharga, jadi bagi daerah dan sekolah yang ingin mencetak ulang datang kepada kami, menyurat dan akan kami berikan. Tentunya dengan menggunakan dana masing-masing. Sebab memang di setiap daerah maupun sekolah kan pendanaannya sudah ada,” tutupnya.

Pandangan penulis
Ikerniaty A. T Sandili, salah satu penulis buku cerita berjudul Tina Tukon Baku (Ibu dan Ubi Banggai), bersedia membagikan kisahnya selama menggarap penulisan cerita. Melalui pesan WhatsApp yang terkirim Minggu (31/12), dia mengungkapkan beberapa fakta terkait proyek ini.
Iker, begitu dia akrab disapa, terpilih mewakili Kabupaten Banggai. Dia pun memilih cerita berkaitan dengan tanaman pangan khas Banggai berupa ubi.
Dia mengaku dalam proses penyusunan menemui beberapa kesulitan, salah satunya memilih padanan dalam kosa kata bahasa daerah Banggai. Sebab pengetahuannya tentang bahasa Banggai tidak begitu fasih.
Selain bahasa, materi yang ia kuasai terlampau sulit saat diterjemahkan dalam bahasa yang dapat dicerna oleh anak 4-6 tahun. Proses pembuatan naskah cerita walhasil membutuhkan tenaga ekstra.
“Walaupun menulis tentang Banggai, namun beberapa materinya itu lebih ke tulisan ilmiah. Jadi semuanya harus saya terjemahkan ke bahasa yang sederhana, pun pemilihan katanya harus sesuai dengan pemahaman anak-anak,” ungkapnya.
Kesulitan lainnya muncul saat fase penerjemahan. Bahasa daerah yang termaktub dalam draf tulisan harus menggunakan Bahasa Indonesia baku. Ketika diterjemahkan, maknanya jauh berbeda dengan yang dimaksudkan dalam buku.
Proses mengerjakan naskah buku, lanjut Iker, juga cukup lama karena harus melewati beberapa tahapan, mulai dari pelatihan, penetapan naskah dan pemilihan penulis, pembuatan story board, revisi, penyuntingan, hingga penerbitan.
Mengutip pernyataan Asrif saat proses peluncuran buku, ada buku yang biaya produksinya mencapai 10 juta rupiah per buah. Tentu jumlah tadi dialokasikan untuk honorarium penulis, ilustrator, dan editor. Anggaran tersebut, lanjutnya, demi menyediakan bahan bacaan anak yang berkualitas agar meningkatkan minat baca anak.
Perihal besaran honor yang diterimanya, Iker enggan mengungkap angka pasti. Namun, baginya honorarium yang diberikan sudah cukup dan tak terlalu mempermasalahkannya. Baginya ikut terlibat dalam proyek ini adalah sebuah pengalaman luar biasa.
Iker hanya menyayangkan perihal terbatasnya jumlah buku yang tercetak secara fisik. Apalagi buku milik negara ini tidak diperjualbelikan secara bebas di toko-toko buku. Menjadikan jangkauannya makin terbatas, terutama untuk menjangkau daerah-daerah terpencil.
Asrif mengungkapkan bahwa masing-masing judul buku dicetak hanya sebanyak 70 eksemplar. Pun demikian, setiap pemerintah daerah diizinkan untuk memperbanyak jumlah tersebut melalui kesepakatan bersama untuk memperbanyak bahan bacaan anak.
“Walaupun buku ini sedang diurus digitalnya, namun anak-anak di desa tentunya lebih nyaman membaca buku dengan bentuk fisik,” tutur Iker mengakhiri.
buku cerita buku cerita anak kearifan lokal Sulawesi Tengah Balai Bahasa Sulteng bahasa daerah Kaili Pamona Mori Saluan Lauje Tajio Dondo Buol Banggai
