Omnibus film Spaces Underlined hadirkan tiga cerita dalam satu layar
Penulis: Syahrul Wardana | Publikasi: 12 November 2023 - 17:23
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Omnibus film Spaces Underlined hadirkan tiga cerita dalam satu layar
Sesi diskusi dengan sutradara Vania Samayanti (kanan) saat pemutaran film. (Foto: Syahrul Wardana/Tutura.Id)

Layar SINETESA SMKN 2 Palu kembali menyuguhkan pemutaran film. Kali ini menayangkan film kolaborasi dari Ahera Films, Klub Penonton, dan Cinemora Picture pada Jumat sore (10/11/2023).

Tayang perdana di Kota Palu, film yang berjudul Spaces Underlined itu dihadiri oleh puluhan anak muda Kota Palu. Khususnya siswa jurusan perfilman.

Film omnibus ini merupakan garapan tiga sutradara, yakni Vania Qanita Damayanti, Syady Alif, dan Roufy Nasution.

Spaces Underlined hadir dengan durasi 1 jam 30 menit. Menyuguhkan cerita pertemanan, ambisi, dan cinta ke dalam sinema. 

Secara esensi film ini mengangkat cerita dengan tiga latar berbeda yang dikemas secara unik. Ada tiga kisah terpisah tentang pertemuan kembali teman lama, ambisi seorang pemuda, dan cinta yang bertemu dii tengah tragedi.

Ketiga kisah berbeda itu menyatu untuk mengeksplorasi tema-tema kompleks tentang persahabatan, ambisi, dan cinta. Setiap kisah memiliki jalinan hubungan yang menyentuh antara dua orang dalam setiap cerita. Film hadir dalam balutan genre fantasi, drama, dan komedi.

Film yang digarap di Bandung ini memakan waktu selama setahun dan berhasil rilis pada 16 Juli 2023. Roufi Nasution, yang merupakan salah satu sutradara, menjadi penggagas lahirnya film tersebut. Film ini hanya dikerjakan oleh 15 orang.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by ???????????????????????????????? ????????????????????????????????. (@cinemorapictures)

Seluruh adegan di kamar

Ketiga sutradara—Vania, Syady, dan Roufy—kompak meniadakan adegan luar ruangan. Seluruh adegan hanya berlangsung di dalam kamar.

Persamaan lainnya, tiap babakan film selalu diawali dengan membuka dan diakhiri dengan menutup pintu.

Alasan di balik keputusan kreatif tadi bukan lantaran ingin menghemat biaya produksi dan menyederhanakan kerja teknis di lapangan, namun ada pesan yang ingin mereka sampaikan. 

"Kami mau menyampaikan kamar itu bisa menjadi beragam peristiwa, beragam memori, beragam pandangan. Kamar bisa menjadi tempat kita senang, tempat kita sedih. Jadi sebuah tempat yang privat ataupun tempat bertemu dan melakukan interaksi dengan orang-orang sekitar," jelas Vania (22) kepada Tutura.Id usai pemutaran film.

Vania yang saat ini menempuh pendidikan perfilman di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, mengaku banyak belajar selama menggarap Spaces Underlined.

"Karena memang saya merasakan perbedaan atmosfer ketika kita berkolaborasi di Palu dan di luar kota. Perbedaan orangnya, proses kreatifnya, bahasanya, dan segala macamnya," tambah sineas yang telah memproduksi lima film pendek ini.

Salah satu adegan film pertama yang mengisahkan cerita pertemanan berlatarbelakang gempa 28 September 2018 (Foto: Instagram/@cinemorapictures)

Pertemanan yang terpisah tragedi

Dalam film pertama besutan Vania, penonton disuguhkan kisah persahabatan antara Marni (Indah Rahma Aulia) dan Lara (Jasmine Azizah Atmadja).

Marni dipertemukan kembali dengan ilusi Lara yang telah meninggal dunia akibat tragedi lindu yang terjadi di Palu pada 2018. Ini bukan tentang cerita horor, tapi ingatan dan ikatan pertemanan yang kuat.  

Penonton sempat terjebak dengan pembawaan Lara yang tampak kaku dan lupa ingatan. Mirna mencoba mengingatkan kembali kisah-kisah pertemanan mereka. Mulai dari menceritakan pengalaman yang dialami bersama hingga memainkan musik pianika kesukaan Lara.

Awalnya tampak normal, alur cerita seketika berubah menjadi sedih saat penonton menyadari bahwa Lara telah meninggal. Kehadiran Lara hanyalah ilusi yang dirasakan Mirna. 

Cerita mencapai klimaks saat Lara menunjukan bahwa sesungguhnya dirinya ingat semua kisah yang dialami mereka berdua. Termasuk saat dirinya tertimpa reruntuhan bangunan sekolah saat tragedi gempa yang merenggut nyawanya.

Mirna menyadari bahwa dirinya salah. Egoisme karena cinta membuatnya meninggalkan Lara saat tragedi itu terjadi. Bukan bersama Lara, Mirna justru bersama kekasihnya saat nahas terjadi. Mirna sadar telah mengingkari janjinya kepada Lara. Janji sebagai sahabat setia yang selalu bersama.

Kisah dua sahabat yang terjun dalam dunia sinema pada film kedua (Foto: Instagram/@cinemorapictures)

Antara sinema dan realita

Berikutnya hadir film dengan pengambilan gambar ala vlogger garapan Syadi Alif. Film ini mengisahkan ambisiusnya Rama (Michael Reinaldo) yang selalu mengabadikan kisah sehari-hari dalam sebuah rekaman.

Disebutnya sebagai cinema diary atau film keseharian, Rama akhirnya terobsesi dan tenggelam dalam kebiasaannya berada di balik layar. Kebiasaan itu hingga membuatnya lupa akan realita kehidupan sebenarnya.

Rama bahkan tak menyukai gaya Ndoy (Naml Belagama), temannya, saat mengedit video dengan memotong atau menyensor wajah. Menurutnya, itu mengubah realita dari sebuah kisah.

Ndoy menyadarkan Rama bahwa masih ada realita di balik realita yang selalu digemakannya. Film ini diakhiri dengan sadarnya Rama bahwa dirinya telah jauh terobsesi di balik sebuah sinema. Rama kemudian meletakkan kamera yang selalu ia pegang dan beranjak keluar pintu.

Alur cerita yang dikemas dengan humoris itu berhasil sesekali memancing tawa penonton dalam beberapa adegan. Meski berlatar dalam kamar, film itu berhasil menghasut penonton seakan berasa mengelilingi tempat berbeda sebab dengan gaya ilustrasinya yang kental.

Kisah tragis dua sejoli pada film ketiga (Foto: Instagram/@cinemorapictures)

Kematian yang hina akibat cinta yang gila

Pada film terakhir adalah karya Roufy Nasutio. Film ini pun menghadirkan kembali gaya surealis (ilusi, red).

Tokoh Willi (Harashta) dipertemukan dengan Gilda (Rai Ibanezty) yang ternyata telah meninggal akibat dibunuh dan diperkosa kekasihnya. Di kos Gilda, Willi hadir atas permintaan Gilda untuk memotret kenangannya di kos itu.

Awal belum menyadari, Willi memotret Gilda dengan beberapa pose yang aneh. Mimik dan gaya bicara yang kaku Gilda pun sudah tak seperti layaknya manusia pada umumnya.

Dalam film itu acap kali diselipkan adegan Willi yang mencium aroma busuk di dalam kamar. Hanya dengan spray pengharum ruangan Willi bisa meredam bau itu untuk beberapa saat.

Memasuki klimaks film, Gilda akhirnya mengaku kepada Willi bahwa dirinya telah meninggal akibat dibunuh dan diperkosa kekasihnya sendiri. Ilusi Gilda pun menunjukan jenazahnya yang berada di kolom tempat tidur kepada Willi.

Sejatinya film ini memuat topik penting soal isu kriminalitas berupa kekerasan seksual dan pembunuhan. Namun, Roufi mengemasnya dengan ringan dan sederhana, bahkan menyisipkan komedi, agar penonton tak perlu mengernyitkan dahi.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Sumbangsih genre horor dalam perfilman Indonesia
Sumbangsih genre horor dalam perfilman Indonesia
Jumlah penonton film Indonesia di bioskop sepanjang 2022 berhasil mencetak sejumlah rekor. Genre horor masih…
TUTURA.ID - Buaya berkalung prestasi dari kompetisi film pendek internasional
Buaya berkalung prestasi dari kompetisi film pendek internasional
Film Saya di Sini, Kau di Sana (A Tale of the Crocodile’s Twin) beroleh "Special Mention"…
TUTURA.ID - Program ''Jelajah Kota dan Sinema'' menyambangi Palu
Program ''Jelajah Kota dan Sinema'' menyambangi Palu
Kota Palu terpilih jadi persinggahan program "Sinema Keliling x Jelajah Kota dan Sinema". Berlangsung di…
TUTURA.ID - Festival Titik Temu jadi tempat bertemunya beragam keseruan
Festival Titik Temu jadi tempat bertemunya beragam keseruan
Kali kedua penyelenggaraan Festival Titik Temu berlangsung lebih meriah. Beragam suguhan baru dihadirkan.
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng