Siapa bilang hanya anak muda yang punya energi besar? Nyatanya tak selalu begitu. Kelompok musik PARAPAPPA membuktikannya dengan suguhan pertunjukan impresif dalam perhelatan bertajuk "Survival" yang berlangsung di 168 House, Jalan Setia Budi, Besusu Tengah, Palu, Sabtu (27/4/2024) malam.
Jejak musikal para personelnya; Adi Tangkilisan (gitaris), Iwan Masruri (gitaris dan vokalis), dan Tommy Maranua (bassis) yang masuk kategori generasi X, buktinya tak kalah produktif dan atraktif dibandingkan generasi kiwari.
Energi yang sama terlihat dan terasakan oleh penonton yang hadir secara khusus menyaksikan pertunjukan dalam ruangan dengan kapasitas terbatas 120 orang. Sementara harga tiket dibanderol Rp100 ribu. Tampak semua kursi terisi penuh.
Para penonton yang hadir didominasi oleh para sesama gen X yang terbiasa dengan semangat musik rock. Mereka adalah sahabat, penggemar, dan orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari perjalanan musikal para personel PARAPAPPA.
Kehadiran mereka seolah mengumpulkan kembali gejolak masa muda yang penuh semangat. PARAPAPPA ingin menjadikan perhelatan ini sebagai tahap lanjutan untuk mengeksekusi gagasan-gagasan mereka menggeliatkan musik di Palu.
"Ada stigma kalau orang tua sudah boleh istirahat, tidak produktif, dan tidak ada yang mau nonton. Kami masih ada ambisi bermain (musik). Usia boleh tua, tapi cita-cita tidak boleh melunak," ujar Adi Tangkilisan usai tampil kepada Tutura.Id.
Adi selama ini populer bersama Plisit Band sejak era 90-an dan turut membidani hadirnya Culture Project. Iwan tetap garang bersama Traxtor yang kukuh membawakan lagu-lagu Metallica dengan raungan thrash metal. Sementara Tommy yang sempat menyinggahi Boomerang kini mengibarkan GerilyaONE bersama Farid Martin, mantan drummer Boomerang.
Benang merah triumvirat ini murni rock. Jejak dan pengalaman yang panjang menjadikan ketiganya tak sukar untuk menyatukan chemistry dalam bermusik. Satu-satunya kendala, sejauh karier band ini yang bermula sejak 2020, hanya soal mencari kecocokan jadwal antara ketiga personel.
Contohnya terlihat saat pementasan ini. Tommy yang bermukim di Surabaya absen di atas panggung. Posisinya digantikan Ithong, pencabik bass yang kerap mengikuti festival-festival band di Palu bersama Kabelota awal dekade 2000-an. Sementara Echa Masruri, yang notabene putra Iwan Masruri, duduk di belakang set drum.
PARAPAPPA mengawali set berdurasi sekitar 90 itu dengan membawakan lagu "My Sacrifice" milik Creed. Berikutnya tembang kelompuk Kunci berjudul "Hidup Hanya Sekali". Pemanasan yang terbukti cukup manjur memantik keriuhan penonton. Asap rokok perlahan mulai tampak mengisi ruangan yang biasanya jadi arena dugem itu.
Suasana yang mulai “panas” itu dimanfaatkan Adi dkk. untuk menggeber lagu-lagu ciptaan mereka. Berturut-turut hadir "Masih Sama", "Hanya Kita", "Lalai", dan "Not My Enemy".
Iwan dapat kesempatan mengistirahatkan pita suaranya karena set berikutnya dipenuhi kolaborasi. Para penonton yang hadir, selain kawan akrab para personel juga menyandang status musisi. Tak sulit membawa mereka ke atas panggung untuk menyumbang suara.
Saling menyapa dan memanggil nama rekan-rekan mereka dari atas panggung atau sebaliknya terselip di antara penampilan PARAPAPPA. Kritik dan baku tende juga ada.
"Supaya kita tidak cepat puas, karena kita harus biasakan hal begitu. Saya suka tadi ada yang kritik dan kasih solusi. Itu artinya peduli, bukan atas dasar benci," kata Adi yang juga Ketua DPD PAPPRI Sulteng.
Beberapa lagu cover yang mereka hadirkan malam itu, antara lain “Nak” (dari Iwan Fals), “Terlalu Manis” (Slank), "Ada Yang Hilang" (Ipang), dan "Creep" (Radiohead).
Sontak para penonton merespons set berisi lagu-lagu cover itu dengan ikut menyanyi bersama, tepuk tangan, dan tentu saja mengabadikannya menggunakan gawai masing-masing.
PARAPAPPA menyudahi repertoar dengan menyanyikan "Hey Bosku" dan “Searah”. "Walaupun kita sering tak sejalan. Pastikan kita searah." Demikian penggalan lirik lagu “Searah”. Mungkin bisa mencerminkan perjuangan Adi Tangkilisan dkk. menggagas pementasan “Survival”.
Bahwa tak masalah ada banyak usaha membikin acara pementasan musik dari beragam generasi, toh tujuannya sama; memajukan musik di Lembah Palu. Jika ada kolaborasi lintas generasi tentu akan lebih baik lagi.
"Kami menginisiasi program ini karena merasa perlu survive di Palu. Dan PARAPAPPA sebagai penampil awal. Harapannya ke depan ada band-band lain juga tiap bulannya. Konsepnya 55 persen harus menampilkan karya sendiri alias lebih dari setengah setlist," ungkap Adi.
Bagi Adi, penting untuk menghadirkan pertunjukan musik untuk band-band di kota ini secara rutin. Bisa membuat atmosfer industri pertunjukan makin semarak selain hadirnya pentas seni sekolah yang juga kerap mengundang band-band asal Jakarta. Pun beberapa inisiatif berupa acara-acara panggung kecil alias gigs yang sifatnya swadaya.
Waktu yang akan membuktikan, apakah panggung pertunjukan rutin bernama “Survive” ini bisa bertahan lama seperti namanya, atau malah langsung tutup buku.